PROLOG
PADA tahun 1958,
Beaufort, North Carolina, yang terletak di pesisir dekat Morehead City, sama
seperti kebanyakan kota kecil di daerah selatan lainnya. Tempat dengan
kelembapan udara yang begitu tinggi di musim panas sehingga berjalan ke luar
rumah untuk mengambil surat saja akan membuat seseorang merasa seakan perlu
mandi. Anak-anak berkeliaran sambil bertelanjang kaki mulai dari bulan April
sampai Oktober di bawah pohon-pohon oak yang dilapisi lumut Spanyol.
Orang-orang melambai dari mobil mereka setiap kali melihat seseorang di jalan,
kenal ataupun tidak. Udara menebarkan aroma pohon pinus, garam, dan laut yang
begitu unik bagi penduduk Carolina.
Bagi kebanyakan
orang, memancing ikan di Pamlico Sound atau menangkap kepiting di Sungai Neuse
adalah semacam gaya hidup, dan kapal-kapal dalam keadaan tertambat setiap kali
kau melihat Terusan Antarpantai. Hanya ada tiga stasiun televisi, meskipun
televisi bukanlah barang penting bagi kami yang dibesarkan di sini. Kehidupan
kami lebih terpusat pada gereja, yang di dalam kota saja jumlahnya ada delapan
belas. Di antaranya Fellowship Hall Christian Church, Church of the Forgiven
People, Church of Sunday Atonement, dan tentu saja beberapa gereja Baptis.
Ketika aku tumbuh dewasa, gereja inilah yang paling populer. Bisa dikatakan
bahwa hampir di setiap sudut kota berdiri sebuah gereja Baptis, meskipun
masing-masing beranggapan memiliki kelebihan daripada yang lain. Ada berbagai
macam gereja Baptis Freewill Baptis, Southern Baptists, Congregational
Baptists, Missionary Baptists, Independent Baptists… bisa kau bayangkan, kan?
Di masa itu,
peristiwa besar tahunan disponsori oleh gereja Baptis di pusat kota Southern
Baptists bekerja sama dengan SMU setempat. Setiap tahun diselenggarakan acara
drama Natal di Beaufort Playhouse, yang sebenarnya merupakan karya yang ditulis
oleh Hegbert Sullivan, pendeta yang telah mengabdi di gereja itu sejak Nabi
Musa membelah Laut Merah. Oke, mungkin ia tidak setua itu, namun cukup tua
sehingga kita nyaris dapat melihat sampai ke balik kulitnya. Kesannya seperti
dingin dan tembus cahaya anak-anak berani bersumpah bisa melihat darahnya
mengalir melalui pembuluh-pembuluh darahnya dan rambutnya seputih kelinci
seperti yang kaulihat di toko-toko hewan peliharaan sekitar hari Paskah.
Pokoknya, ia
menulis drama berjudul The Christmas Angel, karena ia tidak ingin
terus-menerus menampilkan karya klasik Charles Dickens, A Christmas Carol.
Dalam pandangannya, tokoh Scrooge adalah seorang kafir, yang mengalami
pertobatan hanya karena ia melihat hantu, bukan malaikat lagi pula, siapa
bilang hantu-hantu itu dikirim oleh Tuhan? Dan siapa yang bisa menjamin bahwa
ia tidak akan kembali ke cara lamanya yang tidak terpuji, karena hantu-hantu
itu tidak secara langsung dikirim oleh surga? Akhir kisah drama itu juga tidak
menyatakannya secara gamblang karena itu menyangkut soal iman sedangkan Hegbert
tidak mempercayai hantu yang tidak betul-betul dikirim oleh Tuhan, dan baginya
justru di sinilah permasalahannya. Beberapa tahun yang lalu ia telah mengubah
bagian akhirnya akhir berdasarkan versinya sendiri, lengkap dengan tokoh si
Scrooge tua yang kemudian menjadi pengkhotbah, yang melakukan ziarah ke
Jerusalem ke tempat Yesus pernah mengajar para ahli Taurat. Hasilnya ternyata
kurang meyakinkan bahkan di mata jemaatnya, yang duduk di antara penonton
dengan tercengang sementara koran-koran berkomentar, “Meskipun cukup menarik,
tetap saja bukan pertunjukan yang sudah kita kenal dan sukai…”
Karena itulah
Hegbert memutuskan untuk mencoba menulis dramanya sendiri. Ia telah menulis
khotbahnya sendiri selama ini. Harus kuakui bahwa beberapa di antaranya memang
menarik, terutama saat ia berbicara tentang “kemurkaan Tuhan yang akan menimpa
para pezina” dan berbagai topik bagus lainnya. Aku berani mengatakan bahwa
darahnya mendidih saat ia berbicara tentang para pezina. Topik itulah yang kami
jadikan bahan hiburan tentang dia. Ketika usiaku masih lebih muda, aku dan
teman-temanku biasa bersembunyi di belakang pohon-pohon dan berteriak, “Hegbert
tukang zina!” setiap kali kami melihatnya lewat di jalan, dan kami akan
cekikikan seperti orang tolol, seakan kami orang-orang paling lucu di muka bumi
ini.
Hegbert tua akan
berhenti melangkah dan daun telinganya akan berdiri tegak aku berani sumpah, telinganya
benar-benar bergerak kemudian wajahnya akan berubah jadi merah padam, seakan ia
baru minum bensin, dan urat-urat hijau di lehernya akan mulai bertonjolan
seperti Sungai Amazon dalam peta-peta majalah National Geographic. Ia
melirik ke sana kemari, matanya menyipit sambil mencari kami, dan setelah itu,
secara mendadak wajahnya menjadi pucat lagi, kembali licin seperti kulit ikan,
persis di hadapan kami. Wow, betul-betul sesuatu yang asyik untuk dilihat.
Kami bersembunyi
di belakang pohon sementara Hegbert (orangtua mana yang tega menamai anaknya
Hegbert?) berdiri di sana, menunggu kami menyerahkan diri, seakan ia mengira
bahwa kami akan sebegitu bodohnya. Kami membekap mulut dengan dua tangan untuk
menahan tawa, namun entah bagaimana caranya ia selalu dapat menemukan kami. Ia
akan menoleh ke sana kemari dan setelah itu memusatkan tatapannya yang tajam ke
arah kami, menembus batang pohon. “Aku tahu kau di sana. Landon Carter,” ia
akan berseru, “dan Tuhan juga tahu.” Hegbert membiarkan kata-katanya merasuk
sebentar dan akhirnya ia melanjutkan langkahnya. Pada khotbahnya di hari Minggu
berikutnya ia akan menatap kami dan mengatakan sesuatu seperti “Tuhan sangat
menyayangi anak-anak, tapi anak-anak seharusnya juga layak untuk disayangi.”
Dan kami duduk melorot di tempat duduk kami, bukan karena malu, tapi
menyembunyikan keinginan kami untuk cekikikan lagi. Sebenarnya aneh bila
Hegbert tidak bisa memahami kami, mengingat ia sendiri juga punya anak. Memang
sih anaknya seorang anak perempuan. Tapi mengenai ini akan kita bicarakan
nanti.
Pokoknya,
seperti yang sudah kukatakan, Hegbert menulis The Christmas Angel dan
memutuskan untuk menjadikannya sebagai drama Natal. Ceritanya sebetulnya tidak
jelek dan sempat mengejutkan semua orang ketika pertama kali dipentaskan. Inti
ceritanya tentang. Pria ini bernama Tom Thornton, dulunya sangat religius,
namun imannya goyah saat istrinya melahirkan seorang anak perempuan yang cantik
namun sayang ia cacat, Tom membenci anaknya, juga tidak perduli lagi dengan
istrinya sejak itulah keyakinannya menghilang, hingga suatu malam natal ia
berpas-pasan dengan seorang wanita aneh yang mengatakan akan mengikuti
kemauannya, ia meminta putrinya normal dan tak cacat. Wanita tersebut
membawanya ke kolam depan Danish international church, ia menunduk di dalam air
terlintas wajah puterinya yang tersenyum manis, ia menangis sementara wanita
tua tersebut menghilang ia berusaha mencarinya namun tak menemukannya. Dalam
perjalanan pulang ia terus merenungkan yang baru saja ia alami, dan membuka
kamar anaknya menyaksikan seorang gadis kecil tengah tertidur lelap, dan
ajaibnya keesokan hari ia terbangun seketika putrinya bisa berlari dari
kamarnya dan membangunkan ia dan istrinya untuk ke gereja mengikuti natal
bersama.
Tidak terlalu
buruk sebetulnya. Kenyataannya, banyak orang menangis bercucuran air mata
setiap kali mereka menontonnya. Karcisnya selalu habis terjual di setiap
pementasan. Karena demikian populernya, Hegbert akhirnya memindahkan
pertunjukannya dari gereja ke Beaufort Playhouse, yang menyediakan lebih banyak
tempat duduk. Pada saat aku kelas 3 SMU, pertunjukannya sudah diselenggarakan
dua kali dan tetap selalu ramai, yang merupakan suatu prestasi tersendiri,
mengingat siapa yang tampil dalam pertunjukan ini.
Hegbert ingin
anak-anak muda yang berperan dalam drama itu—para siswa SMU, bukan anggota grup
teater. Kurasa ia menganggap itu sebagai suatu pengalaman belajar yang baik
sebelum para siswa memasuki perguruan tinggi dan berhadapan langsung dengan
para pezina. Hegbert memang orang yang selalu berusaha melindungi kita dari
berbagai godaan. Ia ingin kita tahu bahwa Tuhan ada di atas sana mengawasi
kita, bahkan di saat kita sedang berada jauh dari rumah, dan jika kau percaya
pada Tuhan, akhirnya semua akan terselesaikan dengan baik. Suatu pelajaran yang
pada akhirnya kupelajari juga, meskipun bukan Hegbert yang mengajarkannya
padaku.
Seperti yang
sudah kuceritakan, Beaufort adalah kota yang berciri khas daerah selatan,
meskipun mempunyai kisah sejarah yang menarik. Blackbeard, si bajak laut,
pernah memiliki rumah di sini, dan kapalnya, Queen Anne’s Revenge,
katanya terkubur di suatu tempat dalam pasir tidak jauh dari pantai. Belum lama
ini beberapa ahli arkeologi atau kelautan atau entah siapa yang suka mencari
hal-hal seperti itu mengatakan bahwa mereka telah menemukan kapal itu. Tapi
sejauh ini tak seorang pun merasa betul-betul yakin, mengingat kapal itu sudah
karam lebih dari 250 tahun. Lagi pula, kita kan tidak bisa mengecek kapal itu
melalui STNK-nya. Kota Beaufort sudah ada sebelum tahun 1950-an, meskipun masih
belum bisa disebut kota metropolitan atau apalah namanya. Beaufort memang, dan
selalu akan, menjadi kota kecil. Tapi ketika aku tumbuh dewasa, Beaufort
ternyata mendapat tempat di peta. Untuk jelasnya, distrik wilayah kongres yang
mencakup kota Beaufort meliputi seluruh bagian timur negara bagian dengan luas
sekitar dua puluh lima ribu mil persegi dan hampir tidak ada sebuah kota pun
yang berpenduduk lebih daripada 25.000 jiwa. Bahkan dibandingkan dengan
kota-kota itu, Beaufort masih dianggap kecil. Seluruh bagian timur dari Raleigh
dan utara dari Wilmington, terus sampai ke perbatasan daerah Virginia,
merupakan distrik yang diwakili oleh ayahku.
Kurasa kau
pernah mendengar namanya. Ia memang tokoh legendaris, bahkan sampai sekarang.
Namanya Worth Carter, dan selama hampir tiga puluh tahun menduduki jabatan, sebagai
anggota kongres. Slogannya setiap dua tahun sekali selama musim kampanye adalah
“Worth Carter mewakili,” dan seseorang diharapkan mengisinya dengan nama kota
tempat ia tinggal. Aku masih ingat bagaimana aku dan Mom harus memperlihatkan
kepada orang-orang bahwa ayahku adalah pria yang mencintai keluarganya setiap
kali kami melakukan perjalanan. Kami akan melihat stiker-stiker itu di bumper
mobil, dengan isian nama-nama seperti Otway, Chocawinity, atau Seven Springs.
Di zaman sekarang hal-hal seperti itu dianggap basi, tapi dulu itu cara yang
cukup canggih untuk publisitas. Kurasa kalau ia mencoba melakukan itu sekarang,
pihak oposisinya akan menyelipkan segala macam ungkapan kotor di bagian yang
kosong itu, tapi kami tidak pernah melihat itu sekali pun. Oke, mungkin satu
kali. Seorang petani dari Duplin County pernah membubuhkan kata shit di
bagian kosong itu, dan ketika ibuku melihatnya, ia menutup mataku dan
mengucapkan sebuah doa pendek untuk memohon maaf bagi bajingan tidak terpelajar
yang malang itu. Ibuku tidak mengucapkan persis begitu, tapi intinya seperti
itu.
Jadi ayahku, Mr.
Congressman, adalah tokoh masyarakat, dan semua orang tahu itu, termasuk si tua
Hegbert. Nah, mereka berdua tidak merasa cocok satu sama lain, sama sekali
tidak. Meskipun ayahku selalu pergi ke gereja Hegbert setiap kali ia ada di
rumah, dan sejujurnya ayahku jarang sekali berada di rumah. Selain percaya
bahwa para pezina ditakdirkan untuk membersihkan WC di neraka, Hegbert juga
percaya bahwa komunisme merupakan “suatu penyakit yang menyeret umat manusia
menuju alam kebatilan”. Meskipun penggunaan kata itu kurang tepat—aku tidak
dapat menemukan padanannya di dalam kamus mana pun—jemaatnya toh mengerti apa
yang ia maksud. Mereka juga tahu bahwa Hegbert sedang mengarahkan kata-katanya
secara khusus pada ayahku, yang akan duduk dengan mata terpejam dan pura-pura
tidak mendengar. Ayahku merupakan salah satu anggota komite Parlemen yang
bertugas mengawasi infiltrasi “pengaruh Merah” ke dalam semua aspek kehidupan
bernegara, termasuk bidang pertahanan nasional, pendidikan tinggi, dan bahkan
dalam perkebunan tembakau. Kalau harus ingat bahwa kejadian ini berlangsung
selama masa perang dingin, ketegangan-ketegangan terasa semakin meningkat, dan
orang-orang di North Carolina membutuhkan sesuatu untuk meredakannya. Secara
konsisten ayahku terus mencari fakta, yang dianggap tidak relevan oleh
orang-orang seperti Hegbert.
Sesudahnya, setelah ayahku pulang
dari gereja, ia akan mengatakan sesuatu seperti “Pendeta Sullivan sedikit aneh
hari ini. Aku harap kalian menangkap bagian dari Alkitab tentang Yesus yang
berbicara mengenai kaum miskin…”
Ya, Dad…
Ayahku memang
berusaha meredakan berbagai situasi setiap kali ada kesempatan. Kurasa karena
itulah ia bisa bercokol begitu lama di Kongres. Ia bisa mencium bayi paling
jelek dalam sejarah umat manusia dan masih bisa menemukan sesuatu yang simpatik
untuk diucapkan. “Dia anak yang tenang sekali,” akan dikatakannya jika si bayi
mempunyai kepala yang besar, atau “Aku yakin dia gadis kecil yang paling manis
di dunia ini,” kalau si bayi memiliki tanda lahir yang menutupi hampir seluruh
wajahnya. Pernah seorang wanita muncul dengan seorang bocah di atas kursi roda.
Ayahku menoleh ke arah anak itu dan berkata, “Aku berani taruhan sepuluh lawan
satu bahwa kau anak yang paling pintar di kelasmu.” Dan nyatanya memang begitu!
Yeah, ayahku memang hebat sekali dalam hal-hal seperti itu. Ia selalu bisa
mengatasi situasinya dengan cara yang terbaik. Dan ia bukanlah orang jahat,
terutama kalau kau mempertimbangkan fakta bahwa ia tidak pernah memukulku atau
semacamnya.
Tapi ia tidak
menemaniku saat aku tumbuh dewasa. Aku tidak suka mengatakannya karena
belakangan ini orang-orang cenderung menyatakan hal-hal seperti itu bahkan di
saat orangtua mereka dulu ada di sana menemani mereka dan menggunakannya
sebagai alasan untuk perilaku, mereka. Ayahku… ia tidak mencintaiku… karena
itulah aku menjadi penari telanjang dan tampil dalam The Jerry Springer Show…
Aku tidak menjadikannya alasan yang menjadikanku pribadi seperti sekarang
ini, aku cuma menyatakannya sebagai suatu fakta. Ayahku biasa pergi selama
sembilan bulan dalam setahun, tinggal di apartemen di Washington, D.C., sekitar
lima ratus kilometer dari tempat kami. Ibuku tidak ikut bersamanya karena ayah
dan ibuku ingin aku dibesarkan “dengan cara yang sama seperti mereka”.
Tentu saja,
kakekku selalu mengajak ayahku berburu dan memancing, mengajarkannya main bola,
menghadiri pesta-pesta ulang tahun ayahku, semua hal kecil yang kalau
dikumpulkan menjadi berarti sebelum memasuki usia dewasa. Ayahku, di lain
pihak, adalah sosok yang asing, seseorang yang nyaris tidak kukenal. Sampai
umur lima tahun, aku mengira bahwa semua ayah tinggal di suatu tempat. Baru setelah
sahabatku, Eric Hunter, bertanya padaku sewaktu TK siapa pria yang muncul di
rumahku pada malam sebelumnya, aku menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres
mengenai keadaanku.
“Dia
ayahku,” sahutku bangga.
“Oh,”
ujar Eric sambil memeriksa isi kotak makan siangku untuk mencari cokelat Milky
Way-ku, “Aku tidak tahu kau punya ayah.”
Ucapan itu terasa seperti tamparan
telak di wajahku.
Jadi, aku dibesarkan oleh ibuku. Ia
wanita yang baik, manis, dan lembut, jenis ibu yang diimpikan oleh hampir setiap
orang. Namun ia bukan, dan tidak akan pernah bisa menjadi panutan pria dalam
hidupku. Kenyataan itu, ditambah dengan buyarnya ilusiku mengenai ayahku di
saat aku tumbuh dewasa, membuatku menjadi pemberontak, bahkan di usia yang
sangat muda. Sebaiknya aku ingatkan padamu bahwa kenakalanku tidak bersifat
jahat. Aku dan teman-temanku akan menyelinap keluar malam-malam dan
sekali-sekali menyabuni kaca-kaca mobil atau makan kacang rebus di taman
pemakaman di belakang gereja, tapi di tahun lima puluhan hal-hal seperti itulah
yang akan membuat para orangtua lain menggeleng-gelengkan kepala dan berbisik
kepada anak-anak mereka, “Kau jangan seperti si Carter. Sebentar lagi dia pasti
akan masuk penjara.”
Aku. Si
berandal. Hanya karena makan kacang rebus di taman pemakaman. Coba bayangkan.
Singkat cerita, ayahku dan Hegbert
tidak cocok satu sama lain, tapi bukan hanya karena pandangan politik mereka
yang berbeda. Tidak, sepertinya ayahku dan Hegbert sudah saling mengenal sejak
lama. Usia Hegbert sekitar dua puluh tahun lebih tua daripada ayahku, dan
sebelum ia menjadi pendeta, ia pernah bekerja untuk kakekku. Kakekku meskipun
ia menghabiskan banyak waktu bersama ayahku adalah seorang bajingan.
Omong-omong, dialah yang menjadikan keluarga kami kaya-raya, tapi aku tidak
ingin kau membayangkan dirinya sebagai orang yang banting tulang mati-matian
dalam bekerja, dan memupuk kekayaannya perlahan-lahan. Kakekku jauh lebih lihai
daripada itu. Caranya mengumpulkan uang amat sederhana ia memulai usahanya
sebagai penyelundup minuman keras, yang menimbun kekayaannya selama masa
berlakunya Undang-undang Larangan Perdagangan Minuman Keras dengan memasok rum
dari Kuba. Selanjutnya ia mulai membeli tanah dan menyewa buruh tani bagi
hasil untuk mengolahnya. Ia memungut sembilan puluh persen dari uang yang
dihasilkan oleh para petani untuk panen tembakau mereka, dan meminjamkan uang
di saat mereka membutuhkan dengan bunga yang amat tinggi. Tentu saja, ia tidak
pernah berniat menagih uangnya—hanya ia akan menyita tanah atau peralatan apa
pun yang kebetulan mereka miliki. Setelah itu, mengikuti apa yang ia sebut
sebagai “saat penuh inspirasinya”, ia membuka bank dengan nama Carter Banking
and Loan. Satu-satunya bank lain dalam radius dua county secara
misterius terbakar habis, dan tidak pernah dibuka kembali karena dampak
Depresi. Meskipun, semua orang tahu apa yang sesungguhnya terjadi, tak pernah
ada orang yang berkomentar karena takut akan akibatnya. Ketakutan yang ternyata
memang bukan tidak beralasan. Bank itu bukan satu-satunya bangunan yang
terbakar secara misterius.
Ia mengenakan
bunga pinjaman yang luar biasa besar. Perlahan-lahan ia mulai menguasai lebih
banyak tanah dan properti lain saat semakin banyak orang tidak bisa membayar
utang. Saat Depresi mencapai puncaknya, ia menyita puluhan kegiatan usaha di
seluruh pelosok daerah dengan tetap mempertahankan si pemilik usaha untuk
melanjutkan usahanya dengan gaji ala kadarnya, karena para pengusaha itu juga
sudah tidak bisa ke mana-mana lagi. Ia menjanjikan pada mereka bahwa begitu situasi
ekonomi membaik, ia akan menjual bisnis mereka kembali pada mereka, dan
orang-orang biasanya selalu mempercayai ucapannya.
Namun, tak
pernah sekali pun ia memegang janjinya. Pada akhirnya ia menguasai kegiatan
perekonomian di wilayah itu, dan menyalahgunakan kekuasaannya dengan segala
cara.
Sebetulnya aku ingin mengatakan
bahwa pada akhirnya ia menemui ajalnya dengan cara yang mengenaskan, namun
kenyataannya tidak demikian. Ia meninggal di usia tua selagi tidur bersama
wanita simpanannya di atas kapal pesiarnya di perairan Kepulauan Cayman. Ia
hidup lebih lama daripada kedua istri dan putra tunggalnya. Suatu akhir yang
luar biasa bagi orang seperti dia, bukan? Berdasarkan pengalaman aku tahu hidup
ini memang tidak pernah adil. Pelajaran di sekolah berbeda dengan pelajaran
dalam kehidupan nyata.
Tapi kembali ke
cerita kita… Begitu Hegbert menyadari bahwa kakekku seorang bajingan, ia
berhenti bekerja dan masuk sekolah teologi. Setelah itu ia kembali ke Beaufort
dan mulai menjadi pendeta di gereja yang selalu kami datangi. Ia melewatkan
tahun-tahun pertamanya dengan menyempurnakan khotbah bulanannya yang berapi-api
mengenai dampak keserakahan, yang menyita hampir seluruh waktunya untuk hal-hal
yang lain. Ia berusia empat puluh tiga tahun ketika menikah, dan berusia lima
puluh lima tahun ketika putrinya, Jamie Sullivan, lahir. Istrinya, yang
bertubuh mungil dan lebih muda dua puluh tahun daripada Hegbert, mengalami enam
kali keguguran sebelum Jamie lahir dan akhirnya meninggal dalam persalinan,
membuat Hegbert terpaksa membesarkan putrinya seorang diri.
Begitulah latar
belakang di balik kisah drama itu.
Orang-orang mengenal ceritanya
bahkan sebelum drama itu dipentaskan untuk pertama kali. Cerita itu merupakan
salah satu cerita yang biasa dibicarakan orang setiap kali Hegbert akan
membaptis seorang bayi atau memimpin suatu upacara pemakaman. Semua tahu
ceritanya, dan kurasa karena itulah begitu banyak orang terharu saat
menyaksikan drama Natal itu. Mereka tahu kisah itu berdasarkan kisah nyata,
sehingga memberi arti khusus di dalamnya.
Jamie Sullivan duduk di kelas 3
SMU, sama seperti aku, dan ia sudah terpilih untuk berperan sebagai malaikat orang
lain jelas tak punya peluang untuk peran itu. Tentu saja, hal ini menjadikan
drama kali ini menjadi ekstra spesial tahun itu. Sesuatu yang sangat akbar,
mungkin paling akbar setidaknya dalam pandangan Miss Garber. Sebagai guru
drama, ia sudah amat antusias menanggapi berbagai kemungkinan sejak pertama
kali aku duduk di kelasnya.
Aku sama sekali
tidak berencana untuk mengambil pelajaran drama tahun itu. Sungguh! Tapi
pilihannya cuma itu atau kimia II. Tadinya kukira ini kelas yang enteng,
terutama dibandingkan dengan pilihanku yang lain. Tidak ada makalah, tidak ada
ujian, tidak ada tabel di mana aku harus menghafalkan proton dan neutron serta
mengombinasikan unsur dalam berbagai rumus… mana mungkin ada pilihan yang lebih
baik bagi seorang siswa SMU? Sepertinya asyik sekali, dan ketika mendaftarkan
diri, aku membayangkan diriku akan tidur sepanjang pelajaran itu, yang
mengingat kegiatan makan kacang malam-malamku, menjadi amat relevan.
Pada hari pertama aku menjadi salah satu yang terakhir masuk kelas,
persis hanya beberapa detik sebelum bel berbunyi, dan langsung duduk di deretan
belakang. Miss Garber sedang memunggungi kelas, sibuk menulis namanya dalam
huruf-huruf yang besar dan melingkar, seakan kami tidak tahu siapa dia. Semua
tahu siapa dia rasanya tidak mungkin tidak. Postur tubuhnya besar, tingginya
paling tidak 180 cm, dengan rambut merah menyala dan kulit pucat yang
menampakkan bintik-bintik di usianya yang menjelang empat puluh itu. Ia juga
kelebihan berat mungkin beratnya lebih dari seratus kilo dan ia senang memakai
gaun-gaun longgar bercorak bunga. Ia mengenakan kaca mata tebal, berbingkai
tanduk berwarna gelap, dan ia menyapa semua orang dengan, “Haloooooo,” sambil
seperti melantunkan suku kata yang terakhir. Miss Garber memang unik, itu
pasti, dan ia masih lajang, yang menjadikan situasinya semakin mengenaskan.
Seorang pria, berapa pun usianya, mau tidak mau akan merasa kasihan pada wanita
seperti dia.
Di bawah namanya
ia menulis beberapa tujuan yang ingin dicapainya untuk tahun itu. Nomor satu
adalah “Percaya diri”, disusul “Sadar diri” dan yang ketiga, “Kepuasan diri”.
Miss Garber memang ahli dalam soal yang menyangkut “diri”, yang menurut teori
psikoterapi membuatnya berada di luar lingkup, meskipun ia mungkin tidak
menyadarinya pada waktu itu. Miss Garber memang seorang perintis dalam bidang
itu. Mungkin itu berhubungan dengan penampilannya, mungkin ia cuma berusaha
untuk merasa lebih baik mengenai dirinya sendiri.
Tapi aku tidak yakin.
Baru setelah
pelajaran dimulai aku menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh. Meskipun Beaufort
High School tidak besar, aku tahu bahwa perbandingan antara siswa laki-laki dan
perempuan adalah lima puluh banding lima puluh. Karena itulah aku terkejut
bahwa murid di kelas ini sedikitnya sembilan puluh persen perempuan. Hanya ada
satu siswa laki-laki lain di kelas itu, yang menurutku adalah hal positif, dan
untuk sesaat perasaan “bersiap-siaplah, ini aku datang” melanda diriku. Cewek,
cewek, cewek… pikirku. Cewek di mana-mana dan tidak ada ujian.
Oke, jadi aku bukan orang yang
berpikir jauh ke depan.
Miss Garber
mulai berbicara tentang drama Natal dan mengatakan pada semua siswa bahwa Jamie
Sullivan akan menjadi malaikat tahun itu. Miss Garber mulai bertepuk tangan ia
juga anggota gereja dan banyak yang berpendapat bahwa ia sedang naksir Hegbert.
Saat pertama kali mendengar gosip itu, yang terlintas dalam benakku adalah
untuk mereka sudah terlalu tua untuk punya anak, seandainya saja mereka sampai
menikah. Bayangkan transparan dengan bintik-bintik? Pemikiran tentang hal itu
saja sudah cukup untuk membuat orang mendiring, tapi tentu saja tak seorang pun
mengatakan apa-apa tentang itu, setidaknya dalam batas pendengaran Miss Garber
dan Hegbert. Gosip adalah satu hal, tapi gosip yang menyakitkan adalah hal yang
sangat berbeda, bahkan di SMU pun kami tidak sekejam itu.
Miss Garber masih
bertepuk tangan, sendirian selama beberapa saat, sampai kami semua akhirnya
ikut bertepuk tangan, karena jelas itulah yang diinginkannya. “Berdirilah,
Jamie,” ujarnya. Jamie berdiri dan menoleh ke sana kemari, dan Miss Garber
mulai bertepuk tangan dengan lebih bersemangat, seakan ia sedang berdiri
menyambut kehadiran seorang bintang film ternama.
Jamie Sullivan
memang gadis yang baik. Ia memang benar-benar baik. Beaufort kota kecil,
sehingga hanya memiliki sebuah sekolah dasar. Karena itulah kami duduk di
kelas-kelas yang sama seumur hidup kami, dan aku akan berbohong kalau
mengatakan bahwa aku tidak pernah berbicara dengannya. Sekali, di kelas dua, ia
duduk di sampingku selama setahun penuh, dan kami kadang-kadang mengobrol,
meskipun itu tidak berarti bahwa aku menghabiskan banyak waktu bersamanya dalam
waktu senggangku. Dengan siapa aku bergaul di sekolah merupakan satu hal;
dengan siapa aku bergaul setelah sekolah benar-benar berbeda, dan nama
Jamie tidak pernah tercantum di dalam agenda pergaulanku.
Itu tidak berarti
bahwa Jamie tidak menarik jangan salah sangka. Ia sama sekali tidak jelek atau
semacamnya. Untungnya ia mewarisi penampilan ibunya, yang lumayan cantik
berdasarkan foto-foto yang pernah aku lihat, terutama mengingat siapa yang
dinikahinya. Namun Jamie juga tidak bisa kuanggap menarik. Selain kenyataan
bahwa ia bertubuh kurus, dengan rambut pirang madu, dan mata biru lembut,
sering kali ia kelihatan… sederhana, itu pun kalau kau secara kebetulan
memperhatikannya. Jamie tidak begitu peduli mengenai penampilan luar, karena ia
selalu mencari hal-hal seperti “kecantikan yang terpancar dari dalam”, dan
kurasa karena itulah ia tampak apa adanya. Selama aku mengenalnya dan ingat,
aku mengenalnya sudah sejak lama sekali rambutnya selalu disanggul ke atas,
mirip perawan tua, tanpa sedikit pun makeup di wajahnya. Ditambah dengan
cardigan cokelat dan rok kotak-kotak, ia selalu tampak seakan sedang
melamar pekerjaan sebagai pustakawan. Kami dulu menganggap itu hanya suatu
fase, dan pada akhirnya Jamie akan melewatinya, namun kenyataannya tidak
begitu. Bahakn selama tiga tahun pertama kami di SMU, ia tidak berubah sama
sekali. Satu-satunya yang berubah hanyalah ukuran pakaiannya.
Bukan hanya penampilan Jamie yang
membuatnya berbeda; tapi juga caranya bersikap. Jamie tidak pernah melewatkan
waktunya dengan nongkrong di Cecil’s Diner atau pergi berpesta menginap bersama
gadis-gadis lain, dan setahuku ia tidak pernah punya pacar seumur hidupnya. Si
tua Hegbert mungkin akan mendapat serangan jantung kalau Jamie sampai punya
pacar. Namun jika entah ada angin apa yang menyebabkan Hegbert mengizinkan
putrinya punya pacar, hal itu tetap tidak ada bedanya. Jamie selalu membawa
Alkitab ke mana pun ia pergi, dan jika bukan penampilannya atau Hegbert yang
membuat anak laki-laki menjauh, penyebabnya pastilah Alkitab itu. Oke, aku
menyukai Alkitab seperti kebanyakan anak lelaki remaja pada umumnya, namun
Jamie sepertinya menikmatinya dengan cara yang sama sekali asing bagiku. Ia
tidak hanya mengikuti pendalaman Alkitab selama masa liburan bulan Agustus,
tapi juga membaca Alkitab selama istirahat makan siang di sekolah. Menurut
pendapatku ini tidak normal, bahkan untuk putri seorang pendeta sekalipun. Di
lihat dari sudut mana pun, membaca Surat Paulus kepada Jemaat di Efesus tidak
mungkin lebih menyenangkan daripada merayu cewek, kalau kau mengerti maksudku.
Namun keanehan
Jamie tidak sampai di situ saja. Berkat kebiasaannya membaca Alkitab, atau
mungkin karena pengaruh Hegbert, Jamie meyakini pentingnya menolong orang lain,
dan itulah yang dilakukannya. Aku tahu ia menjadi relawan di panti asuhan di
Morehead City, tapi untuk Jamie itu saja tidak cukup. Ia selalu ikut serta
dalam kegiatan pengumpulan dana, membantu semua orang mulai dari kegiatan
Pramuka sampai pemilihan Putri Indian. Aku juga tahu ketika Jamie berusia empat
belas tahun, ia melewatkan sebagian liburan musim panasnya dengan mengecat
bagian luar rumah seorang tetangga yang sudah tua.
Jamie adalah gadis yang akan
mencabuti ilalang di kebun seseorang tanpa diminta atau membantu anak-anak
menyeberangi jalan. Ia akan menabung uang sakunya untuk membeli sebuah bola
basket baru untuk anak-anak yatim piatu, atau memasukkan uangnya ke dalam
keranjang kolekte gereja pada hari Minggu.
Dengan kata
lain, ia adalah tipe gadis yang akan membuat kami semua tampak buruk. Setiap
kali ia melirik ke arahku, mau tidak mau aku akan merasa bersalah, bahkan di
saat aku tidak melakukan kesalahan apa-apa.
Jamie juga tidak
hanya membatasi perbuatan baiknya kepada manusia. Seandainya ia berpapasan
dengan seekor binatang yang terluka, ia juga akan berusaha menolong. Cerpelai,
tupai, anjing, kucing, katak… baginya tidak ada bedanya. Dr. Rawlings, si
dokter hewan, akan langsung mengenalinya dan menggeleng-gelengkan kepalanya
begitu melihat Jamie berjalan menuju ruang prakteknya sambil membawa sebuah
kardus yang berisi seekor binatang. Ia akan melepaskan kaca matanya dan
membersihkannya dengan sapu tangan, sementara Jamie menjelaskan bagaimana cara
ia menemukan makhluk malang itu dan apa yang telah menimpanya. “Ia ditabrak
mobil, Dr. Rawlings. Kurasa sudah merupakan rencana Tuhan agar aku menemukannya
dan berusaha untuk menyelamatkannya. Anda mau membantuku, kan?”
Dengan Jamie,
segalanya merupakan rencana Tuhan. Itu merupakan suatu hal lagi. Ia selalu
menyebut rencana Tuhan setiap kali kau berbicara dengannya, tidak peduli apa
pun topiknya. Pertandingan baseball batal karena turun hujan? Tentunya
sudah rencana Tuhan untuk mencegah terjadinya sesuatu yang lebih buruk lagi.
Ulangan mendadak trigonometri sehingga seluruh kelas mendapat nilai jelek?
Tentunya rencana Tuhan untuk memberikan tantangan pada kita. Kau mengerti
maksudku, kan?
Kemudian, tentu
saja, masih ada kendala lain berupa Hegbert, yang tidak membantunya sama
sekali. Posisinya sebagai putri seorang pendeta bukan hal yang mudah, namun ia
membuatnya menjadi sesuatu yang sangat wajar dalam hidup ini, dan ia merasa
amat beruntung diberkati dengan cara itu. Jamie biasa berkata, “Aku begitu
beruntung memiliki ayah seperti ayahku.” Setiap kali ia mengatakan itu, kami
semua hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala. Dalam hati kami bertanya dari
planet manakah ia sebetulnya berasal.
Namun, di
samping semua ini, hal yang paling membuatku kesal mengenai dirinya adalah
kenyataan bahwa ia selalu tampak begitu ceria, tidak peduli apa pun yang
terjadi di sekitarnya. Aku berani bersumpah, gadis itu tidak pernah mengucapkan
sesuatu yang buruk mengenai apa pun atau siapa pun, bahkan kepada kami yang
tidak selalu begitu baik padanya. Ia akan bersenandung sendiri saat berjalan,
melambai ke arah orang-orang yang tidak dikenalnya yang kebetulan lewat dengan
mobil mereka. Kadang-kadang ibu-ibu akan lari ke luar rumah untuk menawarkan
roti buah padanya setelah mereka memanggangnya seharian atau limun di saat matahari
bersinar terik. Sepertinya semua orang dewasa di kota ini menyayanginya. “Ia
gadis yang begitu manis,” puji mereka setiap kali nama Jamie muncul dalam
percakapan. “Dunia ini akan jadi tempat yang lebih baik kalau ada lebih banyak
orang seperti dia.”
Namun aku dan
teman-temanku tidak melihatnya seperti itu. Dalam pandangan kami, seorang Jamie
Sullivan sudah cukup banyak.
Aku sedang memikirkan semua ini
sementara Jamie berdiri di hadapan kami pada hari pertama di kelas drama itu,
dan kuakui bahwa aku tidak merasa begitu tertarik untuk melihatnya. Namun
anehnya, ketika Jamie berbalik ke arah kami, aku langsung terkejut, seakan aku
duduk di atas kabel listrik yang terbuka atau semacamnya. Ia memakai rok
kotak-kotak dengan blus putih di balik cardigan cokelat yang sama
seperti yang biasa kulihat jutaan kali, namun ada dua buah gundukan baru di
dadanya yang tidak bisa disembunyikan oleh cardigannya. Aku berani
sumpah gundukan itu tidak ada di sana sekitar tiga bulan sebelumnya. Ia tidak
pernah memakai makeup dan masih tidak memakainya, namun kulitnya tampak
segar, mungkin setelah mengikuti pendalaman Alkitab, dan untuk pertama kalinya
ia tampak—hampir cantik. Tentu saja, aku langsung menyisihkan pikiran itu dari
kepalaku. Namun saat ia melayangkan pandangan ke sekelilingnya, ia berhenti
sebentar dan tersenyum padaku, jelas-jelas senang melihatku ada di kelas itu.
Lama setelah itu aku baru tahu apa alasannya.
BAB 1
SETELAH lulus
SMU aku berencana untuk kuliah di University of North Carolina di Chapel Hill.
Ayahku ingin aku kuliah di Harvard atau Princeton seperti beberapa putra
anggota kongres lain, namun nilai-nilaiku tidak memungkinkan. Bukan berarti aku
siswa yang bodoh. Aku cuma tidak memusatkan perhatian pada pelajaran, sehingga
nilai-nilaiku tidak cukup bagus untuk bisa masuk Ivy League. Semasa SMU hampir
bisa dipastikan aku akan diterima di UNC, yang merupakan almamater ayahku,
tempat ia bisa menggunakan pengaruhnya. Selama salah satu akhir minggunya di
rumah, ayahku menyinggung soal rencana untuk mendaftarkanku lebih dulu. Aku
baru saja melewati minggu pertamaku di sekolah dan kami sedang duduk bersama
untuk makan malam. Ayahku sedang di rumah selama tiga hari dalam rangka Hari
Buruh.
“Kurasa
sebaiknya kau mencalonkan diri untuk menjadi ketua organisasi siswa,” usulnya,
“Kau
akan lulus bulan Juni, dan menurutku itu bagus untuk catatanmu. Omong-omong,
ibumu juga berpendapat sama.”
Ibuku mengangguk sambil mengunyah
sesendok kacang polong. Biasanya ia tidak berkata banyak saat ayahku sedang
bicara, meskipun ia mengedipkan matanya ke arahku. Kadang-kadang aku merasa
ibuku senang melihat hatiku meringis, meskipun ia seorang ibu yang manis.
“Rasanya
aku tidak punya peluang untuk menang,” ujarku.
Meskipun aku mungkin anak terkaya
di sekolah, aku sama sekali bukan yang paling populer. Kehormatan itu milik
Eric Hunter, sahabatku. Ia dapat melempar bola baseball dengan kecepatan
sekitar 140 km per jam, dan sebagai gelandang ia membawa tim football kami
ke peringkat nasional. Ia memang hebat. Bahkan namanya kedengaran keren.
“Tentu
saja kau bisa menang,” tukas ayahku. “Keluarga Carter selalu menang.”
Itu salah satu alasan lain mengapa
aku begitu enggan melewatkan waktu bersama ayahku. Selama beberapa kesempatan
yang teramat langka ia berada di rumah, aku merasa ia ingin membentukku menjadi
versi miniatur dari dirinya sendiri. Mengingat bahwa aku tumbuh dewasa lebih
banyak tanpa kehadirannya, aku jadi kesal saat ia sedang ada di rumah. Ini
merupakan perbincangan pertama kami setelah sekian minggu. Ia jarang sekali
berbicara denganku lewat telepon.
“Tapi
bagaimana kalau aku tidak mau?”
Ayahku meletakkan garpunya,
sepotong daging masih menempel di bagian ujungnya. Ia menatapku dengan marah,
memancarkan peringatan. Ayahku mengenakan setelan jas meskipun suhu di dalam
rumah lebih dari tiga puluh derajat Celcius, dan itu membuat penampilannya
semakin menakutkan. Omong-omong, ayahku selalu memakai setelan jas.
“Menurutku,”
ujarnya perlahan, “itu merupakan ide yang bagus.”
Aku tahu jika ia berbicara seperti
itu berarti masalahnya sudah selesai. Memang begitulah situasinya di dalam
keluargaku. Ucapan ayahku adalah hukum. Namun kenyataannya, bahkan setelah aku
menyetujuinya, aku tidak ingin melakukannya. Aku tidak ingin menyia-nyiakan
waktuku dengan menghadiri pertemuan-pertemuan dengan para guru setelah jam
sekolah! setiap minggu selama seluruh sisa tahun itu, memikirkan tema-tema
untuk acara dansa sekolah atau mencoba memutuskan warna-warna yang akan dipakai
dalam kegiatan parade. Memang hanya itulah yang biasanya dilakukan oleh para
ketua organisasi sekolah, setidaknya di zaman aku duduk di SMU. Bukan berarti
bahwa para siswa memiliki mandat untuk benar-benar mengambil keputusan mengenai
sesuatu yang berarti.
Tapi sekali
lagi, aku tahu bahwa ayahku benar. Kalau aku ingin diterima di UNC, aku harus
melakukan sesuatu. Aku tidak bermain football atau basket, aku tidak
menguasai alat musik, aku bukan anggota dalam klub catur atau klub boling atau
klub lainnya. Aku tidak menonjol dalam pelajaran—sialan, aku tidak menonjol
dalam bidang apa pun. Dengan putus asa, aku mulai menuliskan apa yang dapat
kulakukan, tapi terus terang, ternyata tidak banyak. Aku bisa mengikat delapan
buah simpul yang berbeda, aku bisa berjalan tanpa alas kaki di atas aspal panas
lebih jauh dari siapa pun yang kukenal, aku bisa mengimbang sebatang pensil
secara vertikal di atas jariku selama tiga puluh detik… namun kurasa hal-hal
seperti itu tidak akan dianggap relevan dalam formulir pendaftaran masuk
perguruan tinggi. Jadi aku berbaring di tempat tidur sepanjang malam, sementara
perlahan-lahan menyadari bahwa aku adalah pecundang. Trims, Dad.
Keesokan paginya
aku pergi ke kantor kepala sekolah untuk mendaftarkan namaku sebagai kandidat.
Ada dua orang lain yang juga mencalonkan diri. John Foreman dan Maggie Brown.
Aku langsung tahu John tidak memiliki banyak peluang. Ia tipe orang yang akan
menjumput benang dari pakaianmu saat berbicara, tapi John siswa yang baik. Ia
duduk di barisan paling depan dan mengangkat tangannya setiap kali guru
mengajukan pertanyaan. Kalau ia mendapat kesempatan untuk menjawab, ia hampir
selalu memberikan jawaban yang benar, dan setelah itu ia akan menggerakkan
kepalanya ke sana kemari dengan ekspresi sombong di wajahnya, seakan telah
membuktikan betapa ia lebih cerdas dibandingkan dengan siswa-siswa lain di
kelas itu. Eric dan aku biasanya melemparkan bola-bola kertas ke arahnya di
saat guru sedang memunggungi kami.
Lain halnya
dengan Maggie Brown. Ia juga murid yang baik. Ia duduk di dalam organisasi
siswa selama tiga tahun pertamanya dan pernah menjadi wakil ketua pada tahun
sebelumnya. Satu-satunya penghalang baginya adalah fakta bahwa penampilannya
tidak begitu menarik, dan bobotnya naik sepuluh kilogram musim panas itu. Aku
tahu bahwa tak seorang cowok pun akan bersedia memberikan suaranya pada Maggie.
Setelah melihat
situasinya, aku merasa bahwa aku mungkin memiliki peluang. Seluruh masa depanku
menjadi taruhannya sekarang, karena itulah aku mulai menyusun strategi. Eric
adalah orang pertama yang mendukungku.
“Oke,
aku akan mengupayakan agar semua anggota timku memberikan suaranya padamu, itu
bukan masalah. Kalau itu memang yang kauinginkan.”
“Bagaimana
dengan pacar-pacar mereka?” tanyaku.
Bisa dibilang itulah inti
kampanyeku. Tentu saja, aku menghadiri acara debat yang memang menjadi
keharusan dan membagi-bagi selebaran berisi “Apa yang akan kulakukan kalau aku
terpilih” tapi akhirnya Eric Hunter-lah yang sepertinya menempatkan aku dalam
posisi yang kuinginkan. Beaufort High School hanya memiliki sekitar empat ratus
siswa, sehingga memperoleh suara dari para atlet ternyata amat menentukan, dan
kebanyakan dari mereka tidak peduli sebetulnya siapa yang mereka pilih.
Akhirnya semua berjalan persis seperti yang kurencanakan.
Aku terpilih
sebagai ketua organisasi siswa berdasarkan pengumpulan suara terbanyak. Tak
terbayangkan olehku masalah apa yang kemudian harus aku hadapi.
* * *
Ketika di kelas
1 SMU aku pernah dekat dengan seorang gadis bernama Angela Clark. Ia menjadi
pacar pertamaku, meskipun hanya untuk beberapa bulan. Tepat sebelum liburan
musim panas, ia mencampakkanku demi cowok bernama Lew yang berusia dua puluh
tahun dan bekerja sebagai montir di bengkel ayahnya sendiri. Menurut
pendapatku, keunggulan Lew adalah ia memiliki mobil yang betul-betul keren. Ia
selalu memakai kaus putih dengan sebungkus rokok Camel di lipatan lengan
kausnya, dan ia akan bersandar di kap mobil Thunderbird-nya, sambil melirik ke
sana kemari, dan melontarkan ucapan semacam “Halo, Cantik” setiap kali seorang
gadis lewat. Ia memang seorang penakluk, kalau kau mengerti maksudku.
Singkat cerita,
pesta dansa homecoming hampir tiba, dan aku belum punya kencan gara-gara
situasiku dengan Angela. Semua yang punya jabatan dalam organisasi sekolah
harus hadir itu suatu keharusan. Aku harus membantu menghias ruang olahraga dan
membersihkannya pada hari berikutnya lagi pula, biasanya acara seperti itu amat
menyenangkan. Aku menelepon beberapa gadis yang kukenal, tapi mereka sudah
punya kencan, jadi aku menelepon beberapa gadis lagi. Menjelang minggu terakhir
pilihan menjadi semakin sedikit. Sisanya tinggal gadis yang berkaca mata tebal
atau yang bicaranya gagap.
Beaufort memang tidak pernah jadi
sarang gadis-gadis cantik, tapi aku harus pergi dengan seseorang. Aku tidak
ingin pergi ke pesta itu tanpa teman kencan, apa kata orang nanti? Aku akan
jadi satu-satunya ketua organisasi siswa yang pernah hadir dalam pesta dansa homecoming
sendirian. Akhirnya aku akan jadi cowok yang menyendoki minuman punch atau
membersihkan muntahan di kamar mandi sepanjang malam. Itu yang biasanya
dilakukan oleh mereka yang tidak punya kencan.
Aku semakin
panik, dan mengeluarkan buku tahunan sekolah tahun sebelumnya lalu mulai
membalik halaman-halamannya satu per satu, mencari entah siapa yang mungkin
masih belum punya kencan. Mula-mula aku memeriksa halaman yang memuat nama-nama
siswa kelas 3. Meskipun kebanyakan sudah masuk perguruan tinggi, sebagian masih
tinggal di kota. Meskipun aku merasa peluangku tidak terlalu besar, aku tetal
menelepon mereka. Benar saja, apa yang kukhawatirkan jadi kenyataan. Aku tidak
dapat menemukan seorang pun, setidaknya seseorang yang mau pergi denganku. Aku
mulai jadi ahli dalam mengatasi penolakan, meskipun itu bukan sesuatu yang
membanggakan untuk diceritakan kepada cucu-cucuku kelak. Ibuku tahu apa yang
sedang kualami, dan akhirnya ia datang ke kamarku dan duduk di sampingku di
atas tempat tidur.
“Kalau
kau tidak punya kencan, aku bersedia menemanimu,” usulnya.
“Trims,
Mom,” ujarku sedih.
Ketika ibuku meninggalkan kamarku,
aku merasa lebih tidak keruan daripada sebelumnya. Bahkan ibuku merasa aku
tidak bisa mengajak seorang pun. Jika aku datang dengan ibuku? Wah, lebih baik
aku bunuh diri saja.
Sebenarnya masih
ada orang lain yang juga senasib denganku. Carey Dennison telah terpilih
menjadi bendahara, dan ia juga masih belum punya kencan. Carey termasuk cowok
yang membuat tak seorang pun ingin menghabiskan waktu dengannya, dan
satu-satunya alasan sampai ia terpilih hanya karena ia tidak punya saingan.
Tanpa saingan pun ia terpilih dengan suara pas-pasan. Ia bermain tuba dalam marching
band, dan tubuhnya sama sekali tidak proporsional. Seakan pertumbuhannya
terhenti di tengah jalan saat melewati masa pubernya. Ia memiliki perut yang
besar, serta tangan dan kaki yang krus, seperti makhluk Hoo dalam Hooville, kau
mengerti maksudku, kan? Ia juga berbicara dalam nada tinggi—kurasa ini yang
membuatnya begitu andal dalam memainkan tuba—dan ia tidak pernah berhenti
memberondong orang dengan pertanyaan-pertanyaannya. “Kau pergi ke mana akhir
pekan kemarin? Menyenangkan, ya? Kau sempat berkenalan dengan cewek?” Ia bahkan
tidak akan memberikan kesempatan padamu untuk menjawab, sementara ia akan terus
bergerak sehingga kau terpaksa mengikutinya. Aku berani sumpah bahwa ia mungkin
orang paling menyebalkan yang pernah kukenal. Kalau aku tidak punya kencan, ia
akan berdiri di dekatku sepanjang malam, memberondongku dengan berbagai
pertanyaan seperti jaksa penuntut menanyai terdakwa.
Jadi aku terus
membalik-balik halaman yang membuat foto siswa kelas 1, sampai aku melihat foto
Jamie Sullivan. Aku berhenti sebentar, kemudian membalik halaman itu, sambil
mengutuk diriku sendiri karena berani mempertimbangkannya. Aku melewatkan satu
jam berikutnya dengan mencari seseorang yang bertampang lumayan, namun
perlahan-lahan aku menyadari bahwa tidak ada siapa-siapa lagi di situ. Akhirnya
aku membalik halaman itu dan kembali mengamati foto Jamie sekali lagi. Ia tidak
jelek, kataku dalam hati, bahkan termasuk manis. Mungkin ia akan mengatakan ya,
pikirku….
Aku menutup buku
tahunan itu. Jamie Sullivan? Putri Hegbert? Tidak bisa. Tidak mungkin.
Teman-temanku akan memanggangku hidup-hidup.
Tapi dibandingkan dengan mengencani
ibumu sendiri atau membersihkan muntahan atau bahkan, amit-amit… Carey
Dennison?
Aku menghabiskan siswa malam itu
dengan memperdebatkan pro dan kontra dilema yang kuhadapi. Percayalah, aku
sudah mempertimbangkannya bolak-balik, dan pada akhirnya pilihanku jelas. Aku
harus mengajak Jamie ke pesta dansa itu, dan aku mulai mondar-mandir di
kamarku, memikirkan cara terbaik untuk mengajaknya.
Pada saat itulah
terlintas sesuatu yang amat mencemaskan, sesuatu yang betul-betul menakutkan.
Tiba-tiba aku sadar, Carey Dennison mungkin sedang melakukan apa yang sedang
kulakukan sekarang. Mungkin ia juga sedang melihat-lihat isi buku tahunan!
Carey memang aneh, tapi ia juga bukan orang yang suka membersihkan muntahan.
Kalau kau pernah melihat ibunya, kau akan mengerti bahwa pilihannya bahkan
lebih mengenaskan daripada pilihanku. Bagaimana kalau ia mengajak Jamie duluan?
Jamie tidak akan menolaknya, dan secara realistis gadis itu merupakan
satu-satunya peluang yang masih ia miliki. Tak seorang pun selain Jamie yang
rela terperangkap bersamanya. Jamie selalu mau membantu semua manusia—ia memang
semacam dewi yang memperlakukan semua orang sederajat. Ia mungkin mau
mendengarkan suara melengking Carey, melihat kebaikan yang terpancar dari dalam
hati cowok itu dan menerima semua kekurangannya.
Jadi aku duduk
di dalam kamarku, cemas membayangkan kemungkinan bahwa Jamie bisa saja tidak
bisa pergi bersamaku ke pesta dansa itu. Aku hampir tidak tidur semalaman, yang
harus kuakui merupakan hal teraneh yang pernah kualami. Kurasa tak seorang pun
pernah merasa begitu cemas karena ingin mengajak Jamie pergi sebelumnya.
Aku memutuskan
untuk mengajaknya pada kesempatan pertama yang kumiliki pagi itu, mumpung aku
masih punya keberanian, namun Jamie ternyata tidak ada di sekolah. Kurasa ia
sedang bersama para anak yatim piatu di Morehead City, sebagaimana yang biasa
dilakukannya tiap bulan. Beberapa di antara kami pernah mencoba membolos dengan
menggunakan alasan itu, namun Jamie satu-satunya yang mendapat izin untuk itu.
Kepala Sekolah tahu bahwa Jamie akan membacakan cerita untuk anak-anak itu,
melakukan pekerjaan tangan, atau sekadar bermain dengan mereka. Ia tidak akan
menyelinap ke pantai atau nongkrong di Cecil’s Diner atau entah apalah. Membayangkannya
saja sudah tidak masuk di akal.
“Kau sudah punya kencan?” tanya Eric padaku sewaktu
pergantian mata pelajaran. Padahal ia tahu aku belum punya kencan. Meskipun
Eric sahabat terbaikku, kadang-kadang ia masih suka mengejekku.
“Belum,”
sahutku, “tapi aku sedang berusaha.”
Di ujung lorong,
Carey Dennison sedang mengambil sesuatu dari dalam locker-nya. Aku
berani sumpah ia melirik tajam ke arahku di saat ia mengira aku tidak melihat.
Begitulah situasinya hari itu.
Menit demi menit berlalu dengan
lambat selama mata pelajaran terakhir. Aku punya rencana—kalau Carey dan aku
keluar pada waktu yang sama, aku akan bisa sampai di rumah Jamie duluan,
mengingat kaki-kaki Carey yang kurus. Aku mulai membesarkan hatiku, dan begitu
bel berbunyi, aku segera berlari secepat-cepatnya meninggalkan sekolah. Aku
mulai lelah setelah berlari sekitar seratus meter, dan rasanya ada bagian
tubuhku yang kejang. Tak lama kemudian aku hanya bisa berjalan, namun kejang
itu semakin terasa, sehingga aku terpaksa membungkuk dan memegangi pinggangku
sambil terus berjalan. Aku tampak seperti si Bongkok dari Notre Dame yang
menyusuri jalan di Beaufort dengan terengah-engah.
Aku bahkan
merasa mendengar lengkingan tinggi suara tawa Carey di belakangku. Aku menoleh
sambil mencengkeram ulu hatiku untuk menahan sakit, namun aku tidak dapat
melihatnya. Mungkin ia memotong jalan lewat kebun belakang seseorang! Carey
memang bajingan licik. Kau tidak bisa mempercayainya bahkan untuk sesaat.
Dengan
terhuyung-huyung aku mempercepat langkahku, dan tak lama kemudian aku tiba di
jalan tempat tinggal Jamie. Pada saat itu aku sudah bermandi keringat—kemejaku
basah kuyup—dan aku masih terengah-engah kehabisan napas. Aku sampai di depan
pintu rumah Jamie, berhenti sebentar untuk mengatur napas, dan akhirnya
mengetuk pintu. Meskipun aku sudah bergegas ke rumahnya, sisi pesimis dari
diriku membuatku berasumsi bahwa Carey-lah yang akan membukakan pintu itu. Aku
mulai membayangkan Carey tersenyum padaku dengan wajah penuh kemenangan, yang
seakan berkata, “Sori, Bung, kau terlambat.”
Tapi ternyata
bukan Carey yang membuka pintu, melainkan Jamie, dan untuk pertama kalinya
dalam hidupku aku melihat gadis itu tampak seperti orang biasa. Jamie
mengenakan celana jins dan blus berwarna merah. Meskipun rambutnya masih
disanggul ke atas, tampangnya lebih santai daripada biasanya. Aku sadar bahwa
sebetulnya Jamie bisa tampak lebih manis kalau ia mau.
“Landon,”
sapanya sambil membiarkan pintu dalam keadaan terbuka, “ini kejutan!” Jamie
memang selalu senang melihat siapa pun, termasuk aku, meskipun aku merasa bahwa
kehadiranku membuatnya tercengang. “Sepertinya kau baru selesai berolahraga,”
katanya.
“Tidak
juga,” ujarku berbohong sambil menghapus keringat di alisku. Untung kejangnya sudah
mulai berkurang.
“Kemejamu
basah kuyup.”
“Oh,
ini?” Aku memperhatikan kemejaku. “Tidak apa-apa. Kadang-kadang keringatku
berlebihan.”
“Mungkin
kau harus memeriksakan diri ke dokter.”
“Aku
tidak apa-apa, aku yakin.”
“Aku
tetap akan mendoakanmu,” ujarnya sambil tersenyum. Jamie selalu berdoa untuk
seseorang. Tidak ada salahnya kalau aku menjadi salah satu di antaranya.
“Trims,”
sahutku.
Ia melihat ke bawah dan menggerakkan kakinya sebentar. “Sebenarnya aku
ingin mengajakmu masuk, tapi ayahku sedang tidak ada di rumah, dan ia tidak
mengizinkan anak laki-laki masuk ke rumah kalau ia tidak ada.”
“Oh,”
sahutku dengan suara sedih, “tidak apa-apa. Kita bisa berbicara di sini.” Kalau
bisa memilih, aku lebih suka melakukannya di dalam.
“Kau
mau minum limun sementara kita duduk-duduk?” tanyanya. “Aku baru saja
membuatnya.”
“Aku
suka limun,” ujarku.
“Aku
akan segera kembali.” Ia masuk ke dalam rumah, tapi tetap embiarkan pintunya
terbuka, dan aku melihat isi rumahnya sekilas. Rumahnya kecil tapi rapi, dengan
piano di satu sisi dan sofa di sisi lainnya. Sebuah kipas angin kecil
diletakkan di pojok. Di atas meja terdapat beberapa buku dengan judul-judul
seperti Listening to Jesus dan Faith is the Answer. Alkitab-nya
juga ada di situ, dan terbuka pada bagian Lukas.
Beberapa saat
kemudian Jamie muncul dengan membawa limun, dan kami lalu duduk di dua buah
kursi yang terletak di pojok teras. Aku tahu Jamie dan ayahnya sering
duduk-duduk di teras ini pada malam hari karena kadang-kadang aku melewati
rumah mereka. Begitu kami duduk, aku melihat Mrs. Hastings, tetangga Jamie yang
tinggal di seberang jalan, melambai-lambaikan tangannya ke arah kami. Jamie
membalas lambaiannya sementara aku menggeser kursiku sedemikian rupa agar Mrs.
Hastings tidak dapat melihat wajahku. Meskipun aku akan mengajak Jamie pergi ke
pesta dansa homecoming itu, aku tidak mau seorang pun—bahkan Mrs.
Hastings—melihatku di situ apalagi kalau Jamie sudah menerima ajakan Carey.
Pergi ke pesta dengan Jamie tidak sama dengan ditolak oleh Jamie karena ia
sudah menerima ajakan cowok seperti Carey.
“Apa
yang sedang kaulakukan?” tanya Jamie. “Kau memindahkan kursimu ke bagian yang
kena sinar matahari.”
“Aku
suka matahari,” sahutku. Tapi apa yang dikatakan Jamie memang benar. Seketika
aku bisa merasakan sengatan sinar matahari menembus kemejaku dan membuatku
berkeringat lagi.
“Kalau
itu yang kau inginkan,” ujarnya sambil tersenyum. “Oke, apa yang ingin
kaubicarakan denganku?”
Jamie mengangkat tangannya dan
mulai membenahi rambutnya. Menurutku, tidak ada perubahan pada rambutnya. Aku
menarik napas dalam-dalam, mencoba memantapkan diri, namun tidak berhasil
memaksa diriku untuk segera memulainya.
Aku mulai berkata, “Ehm, kau pergi
ke panti asuhan hari ini?”
Jamie menatapku dengan heran.
“Tidak. Aku dan ayahku tadi ke dokter.”
“Ayahmu
sehat?”
Jamie tersenyum. “Sehat.”
Aku mengangguk
dan melayangkan pandanganku ke seberang jalan. Mrs. Hastings sudah masuk ke
rumah, dan aku tidak melihat seorang pun di sekitar tempat itu. Situasi
akhirnya aman, namun aku masih belum merasa siap.
“Hari
yang indah sekali,” kataku, mengulur waktu.
“Ya,
betul.”
“Dan
hangat.”
“Itu
karena kau duduk di tempat yang panas.”
Aku melihat sekelilingku, merasa
semakin tertekan. “Aku berani taruhan tidak ada segumpal awan pun di langit.”
Kali ini Jamie tidak menjawab, dan
kami duduk dalam keheningan selama beberapa saat.
“Landon,” kata Jamie akhirnya, “kau tidak datang
kemari untuk bicara tentang cuaca, kan?”
“Sebetulnya
tidak.”
“Lalu
kenapa kau kemari?”
Saat untuk bicara jujur akhirnya
tiba, lalu aku berdeham, “Begini… aku ingin tahu apakah kau akan pergi ke pesta
dansa homecoming nanti.”
“Oh,”
jawab Jamie. Nadanya meninggalkan kesan seakan ia tidak menyadari bahwa hal-hal
seperti itu mungkin bisa terjadi. Aku mengubah posisi dudukku dan menantikan
jawabannya.
“Sebenarnya
aku tidak berencana untuk pergi,” kata Jamie akhirnya.
“Tapi
kalau ada yang mengajakmu pergi, kau mau?”
Jamie terdiam beberapa saat sebelum
menjawab.
“Aku
belum tahu,” sahutnya, setelah berpikir beberapa saat. “Kurasa aku mungkin akan
pergi, kalau kesempatan itu ada. Aku belum pernah pergi ke pesta dansa homecoming.”
“Acaranya
menyenangkan,” ujarku cepat. “Tidak terlalu menyenangkan, tapi
menyenangkan.” Terutama dibandingkan dengan pilihanku yang lain, tambahku dalam
hati.
Ia tersenyum mendengar jawabanku.
“Aku tentu harus membicarakannya dengan ayahku lebih dulu. Kalau ia
mengizinkan, kurasa aku bisa pergi.”
Seekor burung yang bertengger di
pohon dekat teras itu mulai berkicau ramai, seakan ia tahu tidak seharusnya aku
berada di situ. Aku memusatkan seluruh perhatianku pada suara burung itu,
sambil mencoba menenangkan kegelisahanku. Dua hari yang lalu sama sekali tidak
akan terbayang olehku untuk mengajak Jamie, bahkan mempertimbangkannya
sekalipun. Tapi tiba-tiba aku sudah di sini, mendengar suaraku sendiri
sementara aku mengucapkan kata-kata ajaib itu.
“Ehm,
maukah kau pergi ke pesta dansa itu bersamaku?”
Aku bisa melihat
Jamie terkejut. Kurasa Jamie mengira basa-basiku sebelum ini mungkin ada
hubungannya dengan orang lain yang ingin mengajak dirinya. Kadang-kadang
seorang anak remaja mengirim temannya untuk “menjajaki situasi”, begitulah
istilahnya, untuk menghindari kemungkinan terjadinya penolakan. Meskipun Jamie
tidak seperti kebanyakan anak-anak remaja lain, aku yakin Jamie memahami konsep
itu, setidaknya secara teori.
Naun bukannya langsung memberikan
jawaban, Jamie malah berpaling ke arah lain selama beberapa saat. Hatiku terasa
menciut karena aku merasa ia akan mengatakan tidak. Bayangan ibuku,
membersihkan muntahan, dan Carey melintas di benakku, dan tiba-tiba aku
menyesali caraku memperlakukan Jamie selama ini. Aku teringat saat-saat aku
mengejeknya atau mengatai ayahnya seorang pezina atau sekadar menertawakannya
di belakang punggungnya. Pada saat aku mulai merasa amat bersalah mengenai
semua itu dan membayangkan bagaimana cara aku bisa menghindari Carey selama
lima jam, Jamie menoleh dan menatapku kembali. Di wajahnya tampak seulas
senyum.
“Aku
mau pergi denganmu,” kata Jamie akhirnya, “dengan satu syarat.”
Aku menguatkan diri, sambil
berharap syaratnya tidak terlalu berat.
“Ya?”
“Kau
harus berjanji bahwa kau tidak akan jatuh cinta padaku.”
Aku tahu Jamie cuma bercanda dari
caranya tertawa, dan mau tidak mau aku kemudian menghela napas lega.
Kadang-kadang harus aku akui, Jamie memiliki rasa humor yang tinggi.
Aku tersenyum dan memberikan
janjiku padanya.
BAB 3
SEBAGAI
peraturan umum, anggota gereja Southern Baptists tidak berdansa. Namun di
Beaufort, peraturan itu tidak secara ketat diterapkan. Pendeta sebelum
Hegbert—jangan tanya padaku siapa namanya—memberikan semacam kelonggaran
mengenai pesta dansa sekolah selama acara itu masih diawasi orangtua atau guru.
Hal ini kemudian menjadi semacam tradisi. Sewaktu Hegbert menjadi pendeta,sudah
terlambat untuk melakukan perubahan lagi. Bisa dibilang Jamie adalah
satu-satunya yang belum pernah pergi ke pesta dansa sekolah, dan sejujurnya aku
tidak tahu apakah Jamie bahkan tahu bagaimana caranya berdansa.
Harus kuakui
bahwa aku juga sempat waswas mengenai pakaian yang akan dikenakannya, meskipun
itu bukan sesuatu yang bisa kukatakan padanya. Kalau Jamie pergi ke
gereja—mengikuti dorongan Hegbert—ia biasanya mengenakan sweter tua dan rok
kotak-kotak yang selalu kami lihat di sekolah setiap hari, namun acara dansa homecoming
seharusnya menjadi kesempatan yang istimewa. Hampir semua anak perempuan
membeli gaun baru dan anak laki-laki mengenakan setelan jas, dan tahun ini kami
akan mengundang fotografer untuk memotret kami. Aku tahu Jamie tidak akan
membeli gaun baru karena ia bukan dari keluarga berada. Pendeta bukanlah
profesi yang menghasilkan banyak uang, tapi mencari uang tentu saja bukan
tujuan para pendeta. Sasaran mereka adalah mencapai sesuatu yang lebih luhur.
Namun aku juga tidak ingin Jamie
mengenakan sesuatu yang biasa ia kenakan ke sekolah setiap hari. Bukan untuk
aku pribadi sebetulnya—aku tidak sekejam itu kok—tapi lebih untuk menanggapi apa
yang mungkin dikatakan orang lain. Aku tidak ingin orang-orang mengejeknya atau
menertawakannya.
Berita baiknya,
kalaupun ada berita baik, adalah Eric tidak terlalu mengejekku mengenai Jamie
karena ia sendiri sedang sibuk memikirkan teman kencannya. Ia akan mengajak
Margaret Hays, yang merupakan ketua pemandu sorak di sekolah kami. Margaret
bukan termasuk gadis cerdas, tapi ia punya kelebihan dalam caranya sendiri.
Kelebihan yang kumaksud adalah kakinya yang indah. Eric mengusulkan agar kami
kencan berempat, namun aku menolak karena aku tidak mau mengambil risiko Eric
meledek Jamie atau semacamnya. Eric memang teman yang baik, meskipun
kadang-kadang suka jail, terutama setelah ia habis menenggak beberapa gelas bourbon.
Hari pesta dansa
itu diselenggarakan ternyata amat menyibukkan bagiku. Aku melewatkan hampir
seluruh sore itu dengan membantu menghias ruang olahraga, dan aku harus ke
rumah Jamie sekitar setengah jam lebih awal karena ayahnya ingin berbicara
denganku, meskipun aku tidak tahu untuk apa. Jamie telah menyampaikan pesan
ayahnya padaku kemarin, dan aku tidak bisa mengatakan bahwa aku merasa antusias
menantikan pertemuan itu.
Kurasa Hegbert
akan berbicara tentang godaan serta jalan iblis yang dapat membawa kita ke
sana. Namun, kalau ia menyinggung soal perzinaan, aku yakin aku akan langsung
pingsan tepat di hadapannya. Sepanjang hari aku berdoa dengan harapan agar
menemukan cara untuk mengelak pertemuan ini, namun aku tidak yakin Tuhan akan
mengabulkan permohonanku ini, mengingat kelakuanku di masa lalu. Aku
benar-benar cemas memikirkan apa yang bakal terjadi.
Setelah mandi
aku mengenakan setelan jas terbaikku, mampir di toko bunga untuk mengambil
korsase Jamie, kemudian menuju rumahnya. Ibuku telah mengizinkanku untuk
memakai mobilnya, dan aku memarkirnya persis di jalan depan rumah Jamie. Malam
belum tiba, karena itu suasananya masih terang saat aku sampai di sana, dan aku
mulai melangkah menyusuri jalan setapak menuju pintu rumahnya. Aku mengetuk
pintu dan menunggu sebentar, kemudian mengetuk lagi. Dari balik pintu aku
mendengar Hegbert berseru, “Iya, sebentar.” Meskipun sebetulnya Hegbert tidak
buru-buru melakukan itu.
Aku pasti
berdiri di sana selama dua menit atau lebih, mengawasi pintu, lekuk-lekuknya,
retak-retak kecil di kusen jendelanya. Di sampingku terlihat kursi-kursi yang
diduduki Jamie dan aku beberapa hari yang lalu. Kursi yang dulu kududuki masih
menghadap ke arah yang berlawanan. Tampaknya mereka belum duduk di sana dalam
beberapa hari terakhir ini.
Akhirnya pintu
itu perlahan-lahan terbuka. Cahaya yang berasal dari lampu di dalam rumah
membuat wajah Hegbert tampak sedikit lebih gelap. Sinarnya membias memantul di
rambutnya. Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, Hegbert memang sudah tua.
Tujuh puluh dua tahun menurut perhitunganku. Baru kali inilah aku melihatnya
dari dekat, dan aku bisa melihat semua kerutan yang ada di wajahnya. Kulitnya
memang transparan, malah lebih daripada yang kubayangkan.
“Halo,
Pendeta,” sapaku, sambil berusaha mengusir kegelisahanku. “Aku kemari untuk
mengajak Jamie ke pesta dansa homecoming.”
“Tentu
saja,” ujarnya. “Tapi sebelumnya, aku ingin berbicara denganmu.”
“Baik,
Sir, karena itulah aku datang lebih awal.”
“Masuklah.”
Di gereja Hegbert selalu berpakaian
amat rapi, namun sekarang ia tampak seperti petani, dengan kaus dan overall.
Ia mempersilakanku duduk di kursi kayu yang ia bawa dari dapur. “Maafkan aku
karena tidak langsung membuka pintu. Aku sedang menyusun khotbah untuk besok,”
ujarnya.
Aku duduk.
“Tak apa-apa,
Sir.” Aku tidak tahu kenapa, tapi sepertinya kau memang harus memanggilnya
“Sir”. Pembawaannya membuat Hegbert layak menyandang sebutan itu.
“Oke,
kalau begitu, sekarang coba ceritakan sesuatu mengenai dirimu.”
Aku merasa permintaannya cukup
aneh, mengingat bahwa ia sudah mengenal aku dan keluargaku sejak lama. Selain
itu, ia juga yang membaptisku, dan ia selalu melihatku di gereja setiap hari
Minggu, sejak aku masih bayi.
“Well,
Sir,” aku mulai bicara, tanpa tahu apa sesungguhnya yang akan kukatakan. “Aku
menjadi ketua organisasi sekolah. Aku tidak tahu apakah Jamie sudah
menceritakannya kepada Anda.”
Ia mengangguk. “Jamie sudah
menceritakannya. Teruskan.”
“Dan… ehm,
kuharap aku bisa masuk University of North Carolina musim gugur yang akan
datang. Aku sudah menerima formulir pendaftarannya.”
Hegbert mengangguk lagi. “Masih ada
lagi?”
Aku harus
mengakui bahwa aku sudah kehabisan bahan setelah itu. Sebagian dari diriku
ingin meraih sebatang pensil yang terletak di ujung meja dan mengimbangkannya
di atas jariku, untuk memberikan peragaan selama tiga puluh detik padanya,
namun Hegbert tidak termasuk orang yang akan menghargai hal semacam itu.
“Kurasa tidak ada lagi, Sir.”
“Apakah
kau keberatan kalau aku mengajukan pertanyaan padamu?”
“Tidak,
Sir.”
Ia menatapku sejenak, seakan sedang
mempertimbangkannya kembali.
“Kenapa
kau mengajak putriku ke pesta dansa?” tanya Hegbert akhirnya.
Aku tercengang, dan aku tahu
ekspresiku menunjukkannya dengan jelas.
“Aku
tidak mengerti maksud Anda, Sir.”
“Kau
tidak merencanakan sesuatu untuk… mempermalukannya, kan?”
“Tidak,
Sir,” sahutku cepat. Aku terkejut menanggapi tuduhan itu. “Sama sekali tidak.
Aku membutuhkan seseorang untuk menemaniku, dan aku mengajaknya. Sesederhana
itu.”
“Kau
tidak berencana untuk berbuat jail?”
“Tidak,
Sir. Aku tidak punya niat untuk berbuat itu padanya…”
Tanya-jawab ini
masih terus berlangsung selama beberapa menit—interogasinya mengenai tujuanku
yang sebenarnya—tapi untungnya Jamie muncul, dan kami semua menoleh ke arah
Jamie pada waktu yang bersamaan. Akhirnya Hegbert menyudahi percakapan itu, dan
aku menghela napas lega. Jamie mengenakan rok biru dan blus putih yang tidak
pernah kulihat sebelumnya. Untungnya ia menyimpan sweternya di dalam lemari.
Harus kuakui bahwa penampilannya tidak buruk, meskipun aku tahu bahwa
penampilannya masih terlalu sederhana dibandingkan dengan gadis-gadis lain di
pesta itu. Seperti biasa, rambutnya disanggul ke atas. Kupikir akan lebih baik
jika ia membiarkan rambutnya tergerai, namun aku tidak akan mengatakan hal itu
padanya. Jamie tampak seperti… ehm, Jamie tampak seperti biasanya, tapi
setidaknya ia tidak berencana untuk membawa Alkitab-nya. Keterlaluan kiranya
kalau itu sampai terjadi.
“Kau
sedang menyiksa Landon, ya?” kata Jamie riang pada ayahnya.
“Kami
cuma mengobrol,” kataku dengan cepat sebelum Hegbert sempat menanggapi. Entah
mengapa aku merasa bahwa ia belum memberitahu Jamie orang seperti apa aku ini
menurut penilaiannya, dan kurasa sekarang bukanlah waktu yang tepat.
“Mungkin
kita sebaiknya berangkat sekarang,” ujar Jamie selang beberapa saat. Sepertinya
ia merasakan ketegangan dalam ruangan itu. Jamie menghampiri ayahnya dan
mencium pipinya. “Jangan bekerja sampai larut malam, ya?”
“Ya,”
sahut Hegbert. Bahkan dengan aku berada di ruangan itu, aku dapat merasakan
bahwa Hegbert sungguh-sungguh mencintai putrinya dan tidak segan untuk
memperlihatkan perasaannya. Masalahnya adalah bagaimana perasaannya terhadapku.
Kami pamit, dan aku menyerahkan
korsase pada Jamie saat berjalan menuju mobil, dan kukatakan padanya bahwa aku
akan menunjukkan cara memasang korsase itu sesudah berada di dalam mobil. Aku
membukakan pintu baginya, mengitari mobil dan melangkah masuk. Dalam waktu yang
singkat, Jamie sudah menyematkan bunganya.
“Aku
tidak setolol itu, tahu. Aku tahu bagaimana caranya memasang korsase.”
Aku menghidupkan mesin mobil dan
langsung meluncur ke sekolah, sementara percakapanku dengan Hegbert tadi
terlintas dalam benakku.
“Ayahku
tidak terlalu menyukaimu,” ujarnya seakan dapat membaca isi pikiranku.
Aku mengangguk tanpa mengatakan
apa-apa.
“Ia
menganggapmu tidak bertanggung jawab.”
Aku mengangguk lagi.
“Ia
juga tidak menyukai ayahmu.”
“Aku
mengangguk sekali lagi.
“Dan keluargamu.”
Aku mengerti maksudnya.
“Kau
tahu apa yang kupikirkan?” tanya Jamie tiba-tiba.
“Tidak juga.”
Aku sudah merasa tertekan pada saat itu.
“Menurutku
semua ini merupakan bagian dari rencana Tuhan. Menurutmu apa pesan yang hendak
disampaikan-Nya?”
Wah, mulai lagi
nih, kataku dalam hati.
Jika kau mau tahu yang sebenarnya,
aku tidak yakin apakah malam itu bisa jadi lebih buruk lagi. Hampir semua
temanku berusaha menjaga jarak, dan Jamie tidak punya banyak teman. Karena itu
kami melewatkan hampir sepanjang waktu berdua. Yang lebih menyedihkan lagi
adalah kenyataan bahwa kehadiranku bukanlah keharusan. Mereka sudah mengubah
peraturan demi Carey yang tidak punya teman kencan, dan itu membuatku merasa
semakin tidak keruan begitu mengetahuinya. Tapi karena apa yang sudah dikatakan
ayah Jamie kepadaku, agak sulit bagiku sekarang untuk mengantarnya pulang lebih
awal, bukan?
Lagi pula,
kelihatannya Jamie menikmati pesta dansa ini, bahkan aku dapat melihatnya
dengan jelas. Ia menyukai dekorasi yang kupasang, ia menyukai musiknya, ia
menyukai segala yang berhubungan dengan pesta dansa itu. Ia terus mengatakan
padaku betapa menyenangkan segalanya. Ia juga bertanya apakah aku kelak
bersedia membantunya menghias gereja untuk salah satu acara pertemuan mereka.
Aku cuma bisa bergumam bahwa ia bisa meneleponku untuk itu. Meskipun aku
mengatakannya tanpa rasa antusias, Jamie tetap mengucapkan terima kasih atas
perhatianku. Sejujurnya, aku merasa putus asa selama satu jam pertama, meskipun
Jamie tampak tidak menyadarinya.
Jamie harus pulang sebelum pukul
sebelas, satu jam sebelum pesta dansa itu berakhir, yang membuat situasinya
menjadi lebih mudah bagiku untuk diatasi. Begitu musik mulai mengalun, kami
turun ke lantai dansa, dan ternyata Jamie lumayan bisa berdansa, meskipun baru
kali inilah ia berdansa.
Jamie mengikuti
langkah-langkahku dengan cukup andal selama sekitar beberapa lagu. Setelah itu
kami duduk dan mulai mengobrol. Tentu saja, Jamie melontarkan kata-kata seperti
“iman” dan “kebahagiaan” bahkan “penebusan dosa”. Ia juga bercerita tentang
membantu para anak yatim-piatu dan menolong makhluk-makhluk malang yang terluka
di jalan, tapi nadanya begitu ceria, sehingga sulit rasanya untuk tetap merasa
sedih.
Sebenarnya keadaanku tidak terlalu
buruk pada awalnya, dan tidak seburuk bayanganku. Baru setelah Lew dan Angela
muncul segalanya benar-benar mulai kacau.
Mereka datang
beberapa menit setelah kami duduk. Lew mengenakan kaus konyolnya, sebungkus
rokok Camel yang diselipkan di lipatan lengannya, dan memakai gel rambut
hingga berkilat. Angela bergelayut pada Lew sejak awal, dan tidak diperlukan
seorang jenius untuk tahu bahwa Angela sudah minum beberapa gelas minuman keras
sebelum tiba di situ. Gaunnya benar-benar gemerlap—ibunya bekerja di salon dan
selalu mengikuti perkembangan mode—dan aku melihat bahwa Angela telah memulai
kebiasaan yang sedang tren di antara wanita muda waktu itu, yaitu mengunyah
permen karet. Ia tampak giat sekali, nyaris seperti seekor sapi yang sedang
memamah biak.
Si Lew menuang minuman beralkohol
ke wadah minuman punch, sehingga beberapa orang mulai mabuk. Begitu para
guru tahu, punch bercampur alkohol itu sudah hampir habis dan mata
sebagian orang mulai berkabut.
Ketika Angela menenggak habis isi gelasnya yang kedua, aku tahu bahwa
sebaiknya aku mengawasi gadis itu. Meskipun ia sudah memutuskan hubungan kami,
aku tidak ingin sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi atas dirinya. Angela
adalah gadis pertama yang pernah kucium secara french kiss.
Meskipun gigi kami berbenturan
sangat keras ketika pertama kali kami berciuman, sampai mataku berkunang-kunang
dan aku harus minum aspirin begitu sampai di rumah, aku tetap masih punya
perasaan terhadapnya.
Jadi aku sedang duduk bersama
Jamie, nyaris tidak mendengar saat ia menceritakan hikmah dari pendalaman
Alkitab, sewaktu Lew memergokiku mengawasi Angela melalui sudut mataku. Dalam
suatu gerakan cepat ia merangkul pinggang Angela dan menariknya ke arah meja
kami, sambil memandangku dengan tatapan mengancam. Kau tentu mengerti apa yang
kumaksud.
“Kau
sedang memandangi gadisku?” gertaknya.
“Tidak.”
“Iya,
memang,” ujar Angela, dalam nada yang tidak jelas. “Dari tadi ia memandangiku.
Ini mantan pacarku, yang pernah kuceritakan padamu.”
Mata Lew menyipit, persis seperti
yang biasa dilakukan Hegbert. Rupanya seperti itulah pengaruhku terhadap banyak
orang.
“Jadi
kau orangnya,” ujarnya sambil menyeringai.
Aku memang bukan tukang berkelahi.
Sekali-kalinya aku terlibat dalam suatu perkelahian adalah ketika aku duduk di
kelas tiga SD, aku langsung menangis bahkan sebelum lawanku memukul. Biasanya
aku tidak menemui banyak kesulitan dalam menghindari konflik seperti ini karena
sifatku yang cenderung pasif. Selain itu, tak seorang pun akan mencari
gara-gara denganku di saat aku sedang bersama Eric. Tapi Eric sedang berada
entah di mana bersama Margaret, mungkin sedang berduaan di satu tempat.
“Aku
tidak memandanginya,” kataku akhirnya, “dan aku tidak tahu apa yang sudah ia
katakan padamu, tapi aku tidak yakin itu betul.”
Mata Lew semakin menyipit. “Kau
menyebut Angela tukang bohong?” bentaknya.
Ups.
Kurasa Lew sudah berniat memukulku
saat itu juga, namun tiba-tiba Jamie muncul untuk menengahi situasi.
“Apakah
aku mengenalmu?” tanya Jamie dalam nada ceria, sambil menatap langsung mata
Lew. Kadang-kadang Jamie sepertinya tidak memperhatikan situasi yang sebenarnya
terjadi di sekelilingnya. “Tunggu dulu—ya, aku tahu siapa kau. Kau bekerja di
bengkel di pusat kota. Nama ayahmu Joe, dan nenekmu tinggal di Foster Road,
dekat persimpangan rel kereta api.”
Wajah Lew tampak bingung, seakan ia
sedang berusaha menyelesaikan permainan puzzle yang terdiri atas terlalu
banyak kepingan.
“Dari
mana kau tahu semua itu? Apakah ia juga menceritakan semua itu padamu?”
“Tidak,”
sahut Jamie, “yang benar saja.” Ia tertawa sendiri. Hanya Jamie yang bisa
melihat kelucuan di saat seperti ini. “Aku pernah melihat fotomu di rumah
nenekmu. Aku sedang lewat, dan ia membutuhkan bantuan untuk membawa masuk
belanjaannya. Fotomu dipajang di atas perapian.”
Lew menatap Jamie seakan melihat
ada tangkai jagung yang tumbuh keluar dari telinganya.
Sementara itu
Jamie mengipasi dirinya dengan tangan. “Kami sedang duduk untuk mengambil napas
setelah berdansa tadi. Memang panas sekali, ya. Kalian mau bergabung dengan
kami? Ada kursi kosong. Aku akan senang mendengar tentang keadaan nenekmu.”
Nadanya terkesan begitu ceria, sehingga Lew tidak tahu apa yang harus
dilakukannya. Tidak seperti kami yang sudah terbiasa akan hal-hal seperti ini,
Lew belum pernah berhadapan langsung dengan orang seperti Jamie. Untuk sesaat
ia hanya diam terpaku, sambil mencoba memutuskan apakah akan menghajar cowok
dengan teman kencan yang sudah pernah membantu neneknya ini. Kalau ini sudah
terdengar membingungkan bagimu, bayangkan bagaimana efeknya terhadap otak si
Lew yang sudah terpolusi bensin.
Akhirnya ia mengeluyur pergi tanpa
menjawab, sambil membawa Angela bersamanya. Sepertinya Angela sudah lupa
bagaimana semua ini berawal, akibat terlalu banyak minuman yang ditenggaknya.
Jamie dan aku mengawasi kepergiannya, dan setelah mereka berada dalam jarak
yang cukup jauh, aku mengembuskan napasku. Sebelumnya aku bahkan tidak
menyadari bahwa selama ini aku menahan napasku.
“Terima
kasih,” gumamku malu-malu, begitu menyadari bahwa Jamie—Jamie!—yang telah
menyelamatkanku agar tidak dipukuli habis-habisan.
Jamie menatapku heran. “Untuk apa?”
tanyanya, dan ketika aku tidak merinci secara khusus duduk perkaranya, ia
langsung melanjutkan kembali uraiannya mengenai kelas pendalaman Alkitab itu,
seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Namun kali ini aku mendengarkan ceritanya,
setidaknya dengan satu telinga. Paling tidak itulah yang bisa kulakukan setelah
ia menyelamatkanku.
Ternyata tadi
bukanlah pertemuan kami yang terakhir dengan Lew maupun Angela untuk malam itu.
Dua gelas punch yang diminum Angela tadi akhirnya membuatnya muntah di
kamar kecil. Lew, yang cuma banyak lagak, segera pergi begitu mendengar suara
muntah-muntahnya, dengan menyelinap keluar melalui jalan masuk yang dilaluinya
tadi, dan setelah itu aku tidak melihatnya lagi. Seperti sudah ditakdirkan,
Jamie-lah yang menemukan Angela di kamar kecil, dan jelas keadaan Angela tidak
begitu baik ketika itu. Satu-satunya pilihan adalah membersihkannya dan
mengantarnya pulang sebelum guru-guru memergokinya. Mabuk merupakan pelanggaran
serius ketika itu, dan Angela bisa diskors atau bahkan dikeluarkan, kalau
sampai ketahuan.
Sama seperti
aku, Jamie juga tidak ingin itu sampai terjadi, meskipun aku mungkin akan
berpikiran lain kalau kautanyakan itu padaku sebelumnya, karena Angela masih di
bawah umur dan melakukan pelanggaran hukum. Selain itu Angela juga telah
melanggar salah satu norma perilaku ajaran Hegbert. Hegbert akan mengerutkan
alisnya melihat pelanggaran hukum dan mabuk-mabukan. Meskipun itu belum
separah perzinaan, kami semua tahu bahwa ia akan menganggap itu pelanggaran
serius, dan kami yakin Jamie juga memiliki pandangan yang sama. Mungkin memang
begitu, namun nalurinya untuk menolong ternyata lebih dominan. Mungkin saat
melihat Angela, ia langsung teringat pada “makhluk malang yang terluka” atau
semacamnya dan langsung turun tangan.
Aku pergi dan
menemukan Eric di bawah bangku penonton di ruang olahraga, dan ia bersedia
berjaga di dekat pintu kamar kecil sementara Jamie dan aku masuk untuk
membersihkan di dalam. Angela memang luar biasa. Muntahannya tercecer di
mana-mana, kecuali di dalam kloset. Di tembok, di lantai, di wastafel—bahkan di
langit-langit, tapi jangan tanya padaku bagaimana ia melakukannya. Jadi aku berada
di dalam kamar kecil, merangkak di lantai, membersihkan muntahan di pesta dansa
homecoming dalam setelan jas biruku yang terbaik, situasi yang justru
sebenarnya ingin kuhindari. Dan Jamie, teman kencanku, juga sedang merangkak,
melakukan hal yang sama.
Aku nyaris bisa
mendengar lengkingan suara tawa Carey yang menyebalkan di kejauhan.
Akhirnya kami keluar dengan menyelinap melalui pintu belakang ruang
olahraga, sambil memastikan Angela tetap tegak dengan berjalan dipapah oleh
kami di kedua sisinya. Ia terus bertanya di mana Lew, tapi Jamie mengatakan
padanya agar tidak usah khawatir. Jamie memiliki kemampuan untuk menenangkan
Angela saat berbicara dengannya, meskipun Angela sudah setengah sadar. Aku
bahkan tidak yakin ia tahu siapa yang sedang berbicara padanya. Kami
mendudukkan Angela di kursi belakang mobilku, dan langsung tak sadarkan diri di
sana. Sialnya Angela masih sempat muntah sekali lagi di lantai mobil sebelum
pingsan. Baunya begitu menyengat sehingga kami terpaksa membuka jendela mobil agar
tidak mual, sementara perjalanan menuju rumah Angela jadi terasa ekstra lama.
Ibunya membuka pintu, menatap putrinya sekilas, kemudian membawanya masuk tanpa
mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan tidak ada ucapan terima kasih. Kurasa ia
malu, dan selain itu tidak ada yang perlu kami sampaikan padanya. Situasinya
sudah cukup jelas.
Sudah pukul
22.45 saat kami selesai mengantar Angela pulang, dan aku langsung meluncur ke
rumah Jamie. Aku betul-betul cemas begitu sampai di sana karena penampilan dan
bau Jamie yang tidak keruan, dan diam-diam aku berdoa semoga Hegbert sudah
tidur. Aku tidak ingin terpaksa harus menjelaskan semua ini padanya. Oh,
Hegbert mungkin mau mendengarkan Jamie kalau ia yang menjelaskan pada ayahnya,
namun hati kecilku mengatakan bahwa Hegbert pasti akan menemukan cara untuk
menyalahkanku.
Aku mengantar
Jamie sampai ke depan pintu rumahnya, dan kami berdiri di luar di bawah
penerangan lampu teras. Jamie bersedekap dan tersenyum, ekspresi wajahnya
seakan menunjukkan bahwa ia baru pulang dari berjalan-jalan dan menikmati
keindahan suasana malam.
“Kumohon
jangan kauceritakan ini pada ayahmu,” kataku.
“Tidak
akan,” sahutnya. Ia masih tersenyum dan akhirnya menoleh ke arahku. “Aku senang
sekali malam ini. Terima kasih telah mengajakku ke pesta dansa itu.”
Jamie berdiri di hadapanku,
berlumuran muntahan, dan mengucapkan terima kasih yang tulus padaku atas malam
ini. Kadang-kadang Jamie Sullivan bisa membuat orang tidak habis pikir
terhadapnya.
BAB 4
DUA minggu
setelah pesta dansa homecoming itu, kehidupanku boleh dibilang mulai
kembali normal. Ayahku telah kembali ke Washington, D.C., yang menjadikan
keadaan di rumah jauh lebih menyenangkan, terutama karena aku bisa menyelinap
keluar lewat jendela lagi dan menyusup ke pemakaman. Aku tidak tahu mengapa
tempat itu sangat menarik bagi kami. Mungkin ada hubungannya dengan nisan,
mungkin karena sejauh ini batu nisan merupakan tempat yang nyaman untuk
diduduki.
Kami biasa duduk di kapling kecil
tempat keluarga Preston dimakamkan sekiar seratus tahun lalu. Ada delapan batu
nisan di sana, semua disusun dalam suatu lingkaran, sehingga memudahkan
pengoperan kacang rebus di antara kami. Pernah suatu kali aku dan teman-temanku
memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang keluarga Preston, dan kami
pergi ke perpustakaan untuk mencari tahu apakah ada sesuatu yang pernah ditulis
mengenai mereka. Maksudku, jika kau akan menduduki batu nisan seseorang, ada
baiknya kau tahu sesuatu mengenai orang itu, kan?
Ternyata kisah
tentang keluarga itu tidak ada dalam catatan sejarah, meskipun kami menemukan
sedikit informasi yang lumayan menarik. Percaya tidak? Henry Preston, si ayah,
adalah penebang pohon berlengan satu. Kabarnya ia bisa merobohkan sebatang
pohon secepat orang yang memiliki dua lengan. Ide penebang pohon berlengan satu
itu cukup sensasional, karena itu kami sering membicarakannya. Kami sering
bertanya-tanya apa lagi yang bisa dilakukannya hanya dengan sebuah lengan, dan
kami akan mendiskusikan selama berjam-jam seberapa cepatnya ia bisa melempar
bola baseball atau apakah ia mampu berenang melintasi Terusan
Antarpantai. Aku tahu obrolan kami memang tidak berbobot, namun aku
menikmatinya.
Eric dan aku di
sana pada suatu malam Sabtu bersama beberapa teman lain, menikmati kacang rebus
sambil mengobrol tentang Henry Preston, ketika Eric menanyakan padaku tentang
“kencanku” dengan Jamie Sullivan. Eric dan aku memang jarang bertemu sejak
pesta dansa homecoming itu karena musim pertandingan football sudah
dimulai. Selama beberapa akhir pekan belakangan ini Eric sering ke luar kota
bersama timnya.
“Biasa
saja,” sahutku, sambil mengangkat bahu, dan berusaha sebaik-baiknya untuk
bersikap tidak peduli.
Eric menyikut rusukku dengan maksud
untuk bergurau, namun aku menggerutu kesakitan. Eric setidaknya lebih berat 15
kilogram daripada aku.
“Apakah
kau menciumnya saat pamitan?”
“Tidak.”
Ia meminum langsung dari kaleng
Budweisernya saat aku menjawab. Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi Eric
tidak pernah sulit membeli bir, padahal itu aneh, karena semua orang di kota
tahu berapa usia Eric yang sesungguhnya.
Ia menyeka
bibirnya dengan punggung tangannya, sambil melirik ke arahku.
“Tadinya kukira setelah ia membantumu membersihkan
kamar kecil, paling tidak kau akan menciumnya saat pamitan.”
“Ya,
tapi aku tidak melakukannya.”
“Kau
tidak mencobanya?”
“Tidak.”
“Kenapa
tidak?”
“Jamie
bukan gadis seperti itu,” sahutku. Meskipun kami semua tahu bahwa itu benar,
kesannya seakan aku sedang membelanya.
Eric masih belum puas.
“Menurutku
kau menyukainya,” ujarnya.
“Ngawur,”
sahutku, dan Eric menepuk punggungku, cukup keras untuk membuatku kesakitan.
Menghabiskan waktu bersama Eric biasanya berarti tubuhku akan memar-memar pada
keesokan harinya.
“Yeah,
mungkin saja aku ngawur,” ujar Eric sambil mengedipkan matanya ke arahku, “tapi
kau yang sedang jatuh cinta pada Jamie Sullivan.”
Aku tahu kami sedang memasuki
wilayah yang berbahaya.
“Aku
cuma memanfaatkannya untuk membuat Margaret terkesan,” sahutku. “Mengingat
surat-surat cinta yang dikirimnya padaku belakangan ini, kurasa upayaku tidak
sia-sia.”
Eric tertawa terbahak-bahak, sambil
menepuk punggungku dengan keras sekali lagi.
“Kau
dan Margaret—wah itu baru lucu…”
Aku tahu
akhirnya aku berhasil menghindar, dan segera menarik napas lega saat percakapan
beralih ke topik lain. Aku ikut nimbrung sekali-kali, tapi tidak
sungguh-sungguh mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Dalam benakku
berkecamuk kata-kata yang baru saja diucapkan Eric.
Jamie mungkin teman kencan terbaik
yang bisa kuperoleh malam itu, terutama mengingat bagaimana malam itu berakhir.
Tidak banyak teman kencan—oke, tidak banyak orang, titik—yang mau melakukan apa
yang telah dilakukannya. Namun kenyataan bahwa Jamie adalah teman kencan yang
baik bukan berarti aku suka padanya. Aku tidak pernah berbicara dengan Jamie
lagi sejak pesta dansa itu, kecuali saat aku bertemu dengannya di kelas drama,
tapi itu pun hanya sebatas beberapa patah kata saja. Kalau aku memang
menyukainya, aku pasti ingin mengobrol dengannya. Kalau aku menyukainya, aku
akan menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Kalau aku menyukainya, aku
pasti ingin mengajaknya ke Cecil’s Diner untuk menikmati sekeranjang hushpuppy
dan RC Cola. Tapi aku tidak ingin melakukan semua itu. Benar-benar tidak
ingin melakukannya. Menurutku, aku sudah menjalani hukumanku.
Esok harinya,
hari Minggu, aku sedang berada di kamarku, mengisi formulir pendaftaran UNC.
Selain hasil raporku selama di SMU dan beberapa informasi pribadi, mereka juga
meminta lima esai. Kalau kau bisa bertemu dengan seorang tokoh dalam sejarah,
siapakah yang akan kaupilih dan apa alasanmu? Sebutkan orang yang kauanggap
paling berpengaruh dalam hidupmu dan mengapa kau merasa begitu? Apa yang
kaulihat dalam diri sosok idola dan apa alasanmu? Pertanyaan-pertanyaan yang
mudah ditebak—guru bahsa Inggris kami sudah memberitahu apa kira-kira
pertanyaan yang diajukan—dan aku sudah menyelesaikan PR sebagai jawaban atas
beberapa variasi pertanyaan semacam itu di kelas bahasa Inggris.
Bahasa Inggris
mungkin mata pelajaran yang paling kukuasai. Aku tidak pernah mendapat nilai
yang lebih rendah daripada A sejak pertama kali sekolah, dan aku merasa
bersyukur bahwa dalam proses pendaftaran itu mereka menaruh perhatian khusus
pada penulisan esai. Kalau mereka menekankan pada pelajaran matematika, aku
mungkin berada dalam kesulitan. Apalagi jika dalam pelajaran aljabar ada
pertanyaan tentang dua kereta api yang berangkat berselang satu jam,
masing-masing dari arah yang berlawanan dengan kecepatan tujuh puluh kilometer
per jam dan seterusnya. Bukan berarti aku payah dalam pelajaran
matematika—biasanya paling tidak aku mendapat nilai C—tapi nilai itu juga tidak
kuperoleh dengan mudah.
Aku sedang
mengerjakan salah satu esaiku ketika telepon berdering. Satu-satunya pesawat
telepon yang kami miliki terletak di dapur, dan aku harus lari ke bawah untuk
menerimanya. Napasku terengah-engah sehingga aku tidak langsung dapat mengenali
suara itu, meskipun kedengarannya seperti suara Angela. Aku langsung tersenyum
sendiri. Meskipun ia sempat membuat berantakan seluruh tempat dan aku terpaksa
membersihkannya, namun Angela cukup menyenangkan saat kami bersama-sama. Dan
gaunnya benar-benar bagus, setidaknya selama satu jam pertama. Kupikir ia menelepon
mungkin untuk mengucapkan terima kasih kepadaku dan mengajakku menikmati
barbekyu dan hushpuppy atau semacamnya.
“Landon?”
“Oh,
hai,” sahutku, pura-pura tidak peduli, “ada apa?”
Untuk sesaat tidak ada suara dari
seberang sana.
“Apa
kabar?”
Baru pada saat
itulah aku tiba-tiba menyadari bahwa aku tidak sedang berbicara dengan Angela.
Ternyata Jamie yang menelepon, dan aku nyaris menjatuhkan gagang telepon. Aku
tidak bisa mengatakan bahwa aku senang mendengar suaranya, dan untuk sesaat aku
penasaran siapa yang telah memberikan nomor teleponku padanya sebelum aku
menyadari bahwa nomor teleponku tentu ada di catatan gereja.
“Landon?”
“Aku
baik-baik saja,” akhirnya aku menjawab, masih dalam keadaan bingung.
“Kau
sibuk?” tanyanya.
“Ya,
begitulah.”
“Oh…,”
kata Jamie, dalam nada kurang yakin. Ia terdiam lagi.
“Kenapa
kau meneleponku?” tanyaku.
Ia membutuhkan beberapa waktu untuk
menyatakan maksudnya.
“Ehm…
aku cuma ingin tahu apakah kau bisa mampir sebentar nanti sore.”
“Mampir?”
“Ke
rumahku.”
“Rumahmu?”
Aku bahkan tidak mencoba untuk menyembunyikan keterkejutan dalam suaraku. Jamie
berusaha mengabaikan dan melanjutkan.
“Ada
sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu. Aku tidak akan meminta kalau tidak
betul-betul penting.”
“Kau
tidak bisa mengatakannya lewat telepon?”
“Sebaiknya
tidak.”
“Ehm,
aku sedang mengerjakan esai untuk pendaftaran masuk perguruan tinggi sore ini,”
kataku, berusaha untuk menghindar.
“Oh…
oke… seperti yang kukatakan tadi, ini penting, tapi kurasa aku bisa
membicarakannya denganmu pada hari Senin di sekolah…”
Saat itu aku
tiba-tiba menyadari bahwa Jamie tidak akan membiarkanku lolos begitu saja, dan
pada akhirnya entah bagaimana kami harus berbicara. Otakku segera memikirkan
berbagai skenario yang mungkin terjadi sambil menjajaki skenario mana yang
sebaiknya kupilih—
berbicara
dengannya di tempat yang bisa dilihat teman-temanku atau berbicara di rumahnya.
Meskipun dua pilihan itu tidak ada yang bagus, sesuatu di dalam diriku
mengingatkanku bahwa ia telah membantuku di saat aku benar-benar
membutuhkannya. Paling tidak aku bisa mendengarkan apa yang ingin
disampaikannya. Aku mungkin tidak bertanggung jawab, tapi aku orang baik yang
tidak bertanggung jawab, kataku dalam hati.
Tentu saja, itu tidak berarti semua
orang harus tahu mengenai hal ini.
“Jangan,”
sahutku, “hari ini juga boleh…”
Kami berjanji
untuk bertemu pada pukul lima, dan waktu berjalan sangat lambat sepanjang sisa
sore itu hingga rasanya semakin menyiksa. Aku meninggalkan rumahku 20 menit
lebih awal, agar aku punya banyak waktu untuk sampai di sana. Aku tinggal di
dekat pelabuhan yang juga termasuk wilayah historis kota ini, cuma berjarak
beberapa rumah dari tempat yang pernah dihuni Blackbeard, menghadap ke arah
Terusan Antarpantai. Jamie tinggal di sisi kota yang lain, di seberang rel
kereta api, sehingga aku membutuhkan waktu kurang lebih 20 menit untuk sampai
di sana.
Saat itu bulan
November, dan udara mulai dingin. Satu hal lain yang kusukai mengenai Beaufort
adalah fakta bahwa musim semi dan musim gugurnya berlangsung hampir sepanjang
waktu. Memang mungkin bisa panas sekali di musim panas atau turun salju sekali
dalam setiap enam tahun, dan cuaca mungkin bisa sangat dingin selama seminggu
atau lebih di bulan Januari. Tapi sering kali kau hanya membutuhkan jaket tipis
untuk musim dingin. Hari ini merupakan salah satu di antara hari-hari yang
sempurna itu—sekitar 24 derajat Celcius tanpa segumpal awan pun di langit.
Aku sampai di
rumah Jamie tepat waktu, dan langsung mengetuk pintunya. Jamie yang membuka pintu,
dan aku mengintip sekilas ke dalam sehingga tahu bahwa hegbert sedang tidak ada
di rumah. Cuaca tidak cukup hangat untuk minum the manis atau limun, jadi kami
cuma duduk di kursi teras itu lagi tanpa minum apa-apa. Matahari mulai
terbenam, dan tidak ada seorang pun di jalan. Kali ini aku tidak perlu
menggeser kursiku, yang ternyata masih belum dipindahkan sejak terakhir kali
aku kemari.
“Terima
kasih sudah mau datang, Landon,” ujarnya. “Aku tahu kau sibuk, tapi aku
menghargai kau mau meluangkan waktumu untuk melakukan ini.”
“Apa
sih yang sebegitu pentingnya?” tanyaku, ingin ini selesai secepat mungkin.
Untuk pertama kali sejak aku
mengenalnya, Jamie benar-benar tampak gelisah saat duduk bersamaku. Ia terus
meremas-remas tangannya.
“Aku
ingin meminta tolong padamu,” katanya dalam nada serius.
“Minta
tolong?”
Jamie mengangguk.
Tadinya aku
mengira Jamie akan meminta bantuanku untuk menghias gereja, seperti yang
disinggungnya di pesta dansa. Mungkin ia membutuhkanku agar bisa meminjam mobil
ibuku untuk mengangkut sesuatu ke panti asuhan. Jamie belum memiliki SIM, dan
Hegbert membutuhkan mobil mereka, karena selalu ada upacara pemakaman atau
entah apa yang harus dihadirinya. Namun Jamie masih butuh waktu untuk bisa
mengucapkan permintaannya.
Jamie menghela napas, menangkupkan
kedua tangannya.
“Aku
ingin menanyakan padamu apakah kau mau memerankan tokoh Tom Thornton dalam
drama sekolah,” katanya.
Tom Thornton,
seperti yang sudah kuceritakan sebelumnya, adalah pria yang mencari kotak musik
untuk putrinya, yang kemudian bertemu dengan malaikat. Ia memegang peran
terpenting, selain tokoh malaikat.
“Ehm… aku tidak tahu,” ujarku bingung. “Kupikir Eddie
Jones yang akan menjadi Tom. Itu kan yang dikatakan oleh Miss Garber kepada
kita.”
Eddie Jones amat mirip Carey
Dennison. Tubuhnya kurus, dengan jerawat di seluruh wajahnya, dan tidak pernah
menatap lawan bicaranya. Ia mudah gelisah, dan mengedip-ngedipkan matanya
setiap kali ia merasa gelisah, dan itu terjadi sepanjang waktu. Eddie mungkin
akan mengacaukan kalimat-kalimat yang semestinya diucapkan di pentas, di
hadapan orang banyak. Yang lebih gawat lagi, Eddie juga gagap, dan perlu waktu
lama baginya untuk bisa berbicara. Miss Garber telah memberikan peran itu
kepadanya karena hanya Eddie yang menawarkan diri, namun jelas bahwa Miss
Garber juga tidak ingin Eddie berperan sebagai Tom. Guru kan manusia juga, tapi
ia memang tidak punya pilihan lain, karena tidak seorang pun mau mengajukan
diri untuk peran itu.
“Miss
Garber tidak bilang begitu sebetulnya. Miss Garber mengatakan bahwa Eddie bisa
mendapat peran itu kalau tidak ada orang lain yang mau.”
“Apa
tidak ada orang lain yang bisa memerankannya?”
Tapi sebenarnya
memang tidak ada orang lain lagi, dan aku tahu itu. Syarat Hegbert agar hanya
siswa kelas tiga yang boleh tampil membuat drama itu menjadi agak sulit
dipentaskan tahun ini. Ada sekitar lima puluh siswa laki-laki di kelas tiga,
dua puluh dua di antaranya bergabung dalam tim football. Karena mereka
sedang bertanding untuk merebut gelar juara negara bagian, tak seorang pun di
antara mereka punya waktu untuk berlatih drama. Dari sekitar tiga puluhan siswa
yang tersisa, lebih dari separonya bergabung dalam band dan mereka juga
harus latihan setiap pulang sekolah. Setelah dihitung, hanya ada sekitar
beberapa belas orang lagi yang mungkin bisa berperan dalam drama itu.
Aku memang tidak ingin mendapat
peran dalam drama itu, dan alasannya bukan hanya karena kelas drama merupakan
kelas yang amat membosankan. Aku sudah mengajak Jamie ke pesta dansa homecoming,
dan dengan perannya sebagai malaikat, berat rasanya bagiku untuk membayangkan
bahwa aku harus melewatkan setiap soreku bersamanya selama sebulan atau mungkin
lebih. Terlihat bersamanya sekali sudah cukup menghebohkan… tapi kalau setiap
hari terlihat bersamanya? Apa yang akan dikatakan teman-temanku nanti?
Tetapi kenyataan
bahwa ia meminta tolong padaku membuatku bisa melihat betapa penting hal ini
untuknya. Jamie tidak pernah minta tolong pada siapa pun. Kurasa jauh di lubuk
hatinya ia menganggap bahwa tak seorang pun mau melakukan sesuatu untuknya
hanya karena siapa dirinya. Dan kenyataan itu membuatku sedih.
“Bagaimana dengan Jeff Bangert?
Mungkin ia mau memerankannya,” usulku.
Jamie menggeleng. “Ia tidak bisa.
Ayahnya sedang sakit, dan ia harus bekerja di toko sepulang sekolah sampai
kondisi ayahnya pulih kembali.”
“Bagaimana
dengan Darren Woods?”
“Lengannya
patah minggu lalu ketika terpeleset di kapalnya. Lengannya sekarang digips.”
“Oh
ya? Aku tidak tahu tentang itu,” kataku, sambil berusaha mengalihkan
percakapan, tapi Jamie tahu apa yang sedang kulakukan.
“Aku
sudah berdoa untuk itu, Landon,” ujarnya, kemudian ia menghela napas untuk
kedua kalinya. “Aku betul-betul ingin drama ini istimewa pada tahun ini, bukan
untukku sendiri, tapi untuk ayahku. Aku ingin menjadikannya sebagai pertunjukan
yang paling berkesan. Aku tahu betapa besar artinya bagi ayahku untuk melihatku
sebagai tokoh malaikatnya, karena drama ini mengingatkannya pada ibuku…” Ia
terdiam sebentar, “Akan amat menyedihkan kalau drama ini gagal tahun ini,
apalagi aku akan terlibat di dalamnya.”
Jamie terdiam lagi sebelum
melanjutkan, suaranya menjadi lebih emosional setelah itu.
“Aku tahu Eddie akan berusaha sebaik-baiknya. Aku
tidak malu bermain bersamanya dalam drama itu, sungguh. Sebetulnya Eddie baik
sekali, namun ia sudah mengatakan padaku bahwa ia sedang mempertimbangkan
kembali apakah ia masih mau melakukannya. Kadang-kadang teman-teman di sekolah
bisa sangat… sangat… kejam, dan aku tidak mau Eddie disakiti. Tapi…” Ia menarik
napasnya dalam-dalam. “Alasan sebenarnya aku meminta ini padamu adalah karena
ayahku. Ia orang baik, Landon. Kalau orang-orang menertawakan
kenangannya terhadap ibuku selagi aku berperan dalam drama itu… well,
itu akan menghancurkan hatiku. Dengan Eddie dan aku… kau tahu apa yang akan
dikatakan orang-orang nanti.”
Aku mengangguk,
bibirku terkatup rapat, sadar bahwa aku akan menjadi salah satu di antara
mereka yang ia maksud. Nyatanya, sejauh ini memang begitu. Jamie dan Eddie,
pasangan yang penuh semangat, adalah julukan yang kami berikan kepada mereka
saat Miss Garber mengumumkan bahwa mereka yang mendapat peran utama itu.
Kenyataan bahwa akulah yang memulai ejekan itu membuatku merasa betul-betul
tidak enak, hingga nyaris mual.
Ia duduk tegak di kursinya dan
menatapku dengan sedih, seakan ia sudah tahu bahwa aku akan mengatakan tidak.
Kurasa Jamie tidak tahu bagaimana perasaanku saat itu.
“Aku
tahu tantangan selalu menjadi bagian dari rencana Tuhan, namun aku tidak ingin
percaya bahwa Tuhan itu kejam, terutama pada seseorang seperti ayahku. Ia
mengabdikan hidupnya untuk Tuhan dan melayani masyarakat. Ia telah kehilangan
istrinya dan terpaksa membesarkan aku sendirian. Dan aku amat mencintai ayahku
untuk itu…”
Jamie memalingkan wajahnya, namun
aku bisa melihat air matanya. Baru pertama kali itulah aku melihatnya menangis.
Kurasa sebagian dari diriku juga ingin ikut menangis.
“Aku
tidak memintamu untuk melakukan ini demi aku,” ujarnya pelan. “Sungguh!
Seandainya kau menolak, aku masih tetap akan mendoakanmu. Aku berjanji. Tapi
jika kau bisa melakukan perbuatan baik untuk seorang pria luar biasa yang amat
berarti bagiku… Maukah kau mempertimbangkannya?”
Matanya menatapku seperti seekor
anjing cocker spaniel berwajah sayu yang baru saja mengotori karpet. Aku
mengalihkan pandanganku ke bawah.
“Aku
tidak perlu mempertimbangkannya lagi,” kataku akhirnya. “Aku akan
melakukannya.”
Aku memang tidak punya pilihan
lain, bukan?
BAB 5
KEESOKAN harinya
aku berbicara dengan Miss Garber, mengikuti audisi, dan mendapatkan peran itu.
Omong-omong, Eddie sama sekali tidak kecewa. Malah aku bisa melihat ia merasa
amat lega dengan situasinya sekarang. Ketika Miss Garber bertanya padanya
apakah ia tidak keberatan kalau aku yang berperan sebagai Tom Thornton,
seketika wajahnya langsung tenang dan matanya melebar. “T-t-tidak, s-sama
sekali tidak,” ujarnya tergagap. “A-a-aku m-mengerti.” Ia butuh waktu sepuluh
detik untuk mengucapkan kata-kata itu.
Berkat kemurahan hatinya, Miss
Garber memberinya peran sebagai si gelandangan, dan kami semua tahu bahwa ia
mampu memerankannya dengan cukup baik. Tokoh gelandangan dalam drama itu bisu,
namun si malaikat selalu tahu persis apa yang ada dalam pikirannya. Dalam satu
adegan malaikat itu harus mengatakan kepada si gelandangan bisu bahwa Tuhan
akan selalu menjaganya karena Tuhan menyayangi mereka yang miskin dan
terlupakan. Itu merupakan salah satu petunjuk untuk para penonton bahwa
malaikat itu memang dikirim dari surga. Seperti kuceritakan sebelumnya, Hegbert
ingin betul-betul menekankan siapa yang menawarkan keselamatan dan penebusan
dosa, dan itu sudah pasti bukan berasal dari hantu-hantu yang tidak jelas dari
mana asalnya.
Latihan akan
dimulai minggu depan, dan kami berlatih di ruang kelas, karena Playhouse tidak
boleh digunakan sebelum kami dapat mengatasi semua “kecanggungan” kami.
Kecanggungan di sini maksudnya kecenderungan kami untuk secara tidak sengaja
merusak properti panggung. Properti itu dibuat sekitar lima belas tahun yang
lalu oleh Toby Bush, ketika drama itu pertama kali dipentaskan. Seorang pekerja
serabutan yang tidak punya pekerjaan tetap dan sudah pernah mengerjakan
beberapa proyek untuk Playhouse sebelumnya. Ia tidak punya pekerjaan tetap
karena ia terus minum bir sepanjang hari selama bekerja, dan sekitar pukul dua
siang ia sudah dalam keadaan mabuk. Kurasa ia tidak dapat melihat dengan baik,
karena ia sering secara tidak sengaja memukul jarinya sendiri dengan palu
sedikitnya sekali dalam sehari. Setiap kali itu terjadi, ia akan melempar
palunya dan melompat-lompat, sambil memegangi jarinya dan menyumpahi semua
orang mulai dari ibunya sampai iblis. Setelah lebih tenang, ia akan mengambil
bir lagi untuk meredakan rasa sakitnya sebelum kembali bekerja. Buku-buku
jarinya sebesar buah kenari, selalu dalam keadaan bengkak karena sekian tahun
kena palu, dan tak seorang pun mau menyewa tenaganya sebagai seorang pegawai
tetap. Satu-satunya alasan Hegbert mempekerjakannya adalah karena Toby mau
dibayar murah.
Namun Hegbert
tidak mengizinkan kebiasaan minum-minum atau sumpah serapahnya, sedangkan Toby
betul-betul tidak tahu bagaimana caranya berkerja dalam suatu lingkungan yang
menerapkan peraturan ketat. Akibatnya, hasil pekerjaannya cuma asal jadi,
meskipun itu tidak terlalu kelihatan. Setelah beberapa tahun berbagai properti
panggung itu mulai rontok, dan Hegbert yang berusaha memperbaikinya sendiri.
Hegbert memang ahli dalam membalik-balik halaman Alkitab, tapi ia tidak cukup
mahir memalu paku. Properti-properti itu penuh dengan paku bengkok dan berkarat
yang menonjol ke luar dari mana-mana, menembus permukaan kayu di begitu banyak
tempat sehingga kami harus waspada dalam melangkah. Kalau kami menyenggolnya di
tempat yang salah, kami bisa terluka atau properti itu akan ambruk, dan membuat
lubang-lubang paku kecil di seluruh permukaan lantai panggung.
Setelah beberapa tahun panggung
Playhouse terpaksa dipugar. Meskipun mereka tidak bisa secara tegas menutup
pintu untuk Hegbert, mereka meminta padanya untuk lebih berhati-hati di masa
mendatang. Itu berarti kami harus berlatih di ruang kelas sampai bisa mengatasi
kecanggungan-kecanggungan kami.
Untungnya
Hegbert tidak terlibat secara langsung dalam penyutradaraan drama itu, karena
kesibukannya sebagai pendeta. Tugas itu jatuh ke tangan Miss Garber, dan hal
pertama yang diperintahkannya kepada kami adalah menghafal dialog secepat
mungkin. Kami memang tidak punya banyak waktu untuk latihan sebagaimana
biasanya karena Thanksgiving jatuh pada hari-hari terakhir di bulan November,
dan Hegbert tidak ingin drama itu dipentaskan terlalu dekat dengan Hari Natal,
agar tidak mempengaruhi makna sesungguhnya. Akibatnya kami hanya punya waktu
tiga minggu untuk mempersiapkan pementasannya sebaik mungkin, yang berarti
seminggu lebih cepat daripada biasanya.
Latihan dimulai
pada pukul tiga, dan Jamie ternyata sudah hafal dialognya sendiri sejak hari
pertama, yang jelas bukan hal yang mengejutkan. Namun yang membuatku terkejut
adalah ia juga hafal semua dialogku, dan dialog para pemain lainnya. Di saat
kami berlatih satu adegan, ia akan memerankan bagiannya tanpa naskah, sedangkan
aku sibuk dengan setumpuk kertas, sambil berusaha menemukan yang mana kalimatku
berikutnya. Setiap kali aku mengangkat kepala, aku melihat wajahnya yang penuh
antusias, seakan sedang menantikan suatu keajaiban atau entah apa. Satu-satunya
dialog yang kukuasai pada hari pertama adalah dialog si gelandangan bisu, dan
tiba-tiba aku merasa iri pada Eddie, setidaknya dalam hal itu. Hal ini
membutuhkan banyak kerja keras, bukan sesuatu yang kuharapkan saat mendaftarkan
diri untuk mengikuti kelas ini.
Perasaan mulia mengenai
partisipasiku dalam drama itu meluntur pada latihan hari kedua. Meskipun aku
tahu bahwa aku sedang melakukan “sesuatu yang benar”, teman-temanku tidak mau
mengerti, dan mereka terus mengejekku sejak mereka tahu.
“Apa
yang kaulakukan?” tanya Eric begitu mendengar berita itu. “Kau akan main drama
bersama Jamie Sullivan? Kau sudah sinting atau memang bodoh?” Aku menggumamkan
jawaban bahwa aku punya alasan yang baik, namun Eric belum puas, dan ia
mengatakan kepada semua orang bahwa aku jatuh cinta pada Jamie.
Tentu saja aku
menyangkalnya, yang justru membuat mereka berasumsi bahwa itu benar, dan mereka
tertawa semakin keras dan menceritakannya lagi pada orang berikut yang mereka
temui. Ceritanya berkembang menjadi semakin ngawur—menjelang istirahat makan
siang aku mendengar dari Sally bahwa aku sedang mempertimbangkan untuk
bertunangan. Aku sebetulnya merasa Sally cemburu. Sudah bertahun-tahun ia
naksir aku, dan perasaan itu mungkin bisa timbal-balik kecuali oleh fakta bahwa
ia memiliki bola mata yang seperti kaca. Hal itu merupakan sesuatu yang sulit
kuabaikan. Matanya mengingatkanku pada mata yang dipasang pada mata boneka
burung hantu yang biasa dijual di toko antik, dan sejujurnya itu membuatku
sedikit merinding.
Kurasa sejak
itulah aku kesal lagi pada Jamie. Aku tahu itu bukan salahnya, namun akulah
yang harus menerima serangan-serangan yang sebenarnya ditujukan pada Hegbert.
Padahal Hegbert masih belum bisa membuatku merasa diterima sejak malam pesta
dansa homecoming itu. Aku mulai tergagap-gagap membawakan dialogku di
dalam kelas selama beberapa hari berikutnya. Aku tidak sungguh-sungguh berusaha
menghafalkannya, dan sekali-sekali aku membuat lelucon yang membuat semua
tertawa, kecuali Jamie dan Miss Garber. Setelah latihan selesai aku langsung
pulang untuk segera melupakannya, dan aku bahkan tidak peduli untuk membaca
kembali naskahnya. Malah aku menceritakan kepada teman-temanku tentang
kekonyolan-kekonyolan yang dilakukan oleh Jamie dan bagaimana Miss Garber
berhasil memaksaku ikut dalam drama ini.
Namun Jamie rupanya tidak berniat
melepaskanku begitu saja. Tidak, ia membalasku di tempat yang paling
menyakitkan, tepat melukai egoku.
Aku sedang pergi
bersama Eric pada hari Sabtu malam setelah pertandingan kejuaraan football reguler
di Beaufort, sekitar seminggu setelah latihan drama itu dimulai. Kami sedang
berkumpul di tepian perairan di luar Cecil’s Diner, menikmati hushpuppy sambil
melihat orang-orang lalu-lalang berkendaraan. Saat itulah aku melihat Jamie
sedang berjalan di sepanjang jalan itu. Ia masih berada dalam jarak seratus
meter, mengenakan sweter tuanya lagi, menoleh ke sana kemari sementara
tangannya membawa Alkitab. Saat itu sudah pukul sembilan, yang berarti sudah
larut baginya untuk keluar, dan yang lebih aneh lagi adalah melihatnya berada
di bagian kota ini. Aku langsung berbalik memunggunginya dan menaikkan kerah
jaketku, namun Margaret—yang biasanya telat mikir—ternyata cukup cerdas untuk
tahu siapa yang sedang dicari Jamie.
“Landon,
pacarmu datang.”
“Dia
bukan pacarku,” sahutku. “Aku tidak punya pacar.”
“Tunanganmu,
kalau begitu.”
Kurasa ia juga sempat berbicara
dengan Sally.
“Aku
belum bertunangan,” sahutku. “Sudah, ah.”
Aku menoleh ke belakang untuk
memastikan apakah Jamie telah melihatku, dan rupanya sudah. Ia sedang berjalan
ke arah kami. Aku pura-pura tidak tahu.
“Nah,
ia kemari,” ujar Margaret, yang lalu cekikikan.
“Aku
tahu,” sahutku.
Dua puluh detik kemudian ia
mengatakannya lagi.
“Ia
masih menuju kemari.” Jamie memang sigap.
“Aku
tahu,” desisku. Kalau bukan karena bentuk kakinya, Margaret bisa membuatmu
gila, sama seperti yang dilakukan Jamie.
Aku menoleh ke belakang lagi. Kali
ini Jamie tahu aku sudah melihatnya dan ia tersenyum serta melambai ke arahku.
Aku membuang muka, dan tak lama setelah itu ia sudah berdiri persis di
sebelahku.
“Halo,
Landon,” sapanya, tanpa memedulikan wajah kesalku. “Halo, Eric, Margaret…” Ia
menegur semua orang satu per satu. Semua menggumamkan “halo” sambil berusaha
tidak melihat ke arah Alkitab-nya.
Eric sedang
menggenggam sekaleng bir, dan ia menyembunyikannya ke belakang punggungnya agar
Jamie tidak melihatnya. Jamie bahkan bisa membuat Eric merasa bersalah saat ia
berada cukup dekat dengannya. Mereka dulu bertetangga, dan Eric pernah jadi
tempat Jamie menumpahkan semua pendapatnya. Di belakangnya Eric menjuluki Jamie
“si penyelamat”, yang jelas-jelas ia kaitkan dengan organisasi Bala
Keselamatan—Salvation Army. “Jabatannya seharusnya Brigjen,” seloroh Eric. Tapi
begitu Jamie berdiri persis di hadapannya, ceritanya langsung lain. Dalam benak
Eric, Jamie memiliki hubungan khusus dengan Tuhan, dan ia tidak ingin
menampilkan kesan yang kurang baik pada Jamie.
“Apa
kabar, Eric? Aku jarang melihatmu belakangan ini.” Ia mengatakannya seakan
masih sering berbicara dengan Eric.
Eric
mengubah posisi berdirinya dan menunduk, dengan ekspresi yang memperlihatkan
rasa bersalah.
“Ya,
aku memang jarang ke gereja akhir-akhir ini,” sahutnya.
Jamie tersenyum ramah. “Kurasa itu
tidak apa-apa, asal jangan jadi kebiasaan.”
“Tidak
akan.”
Aku pernah mendengar tentang
pengakuan dosa—yang dilakukan oleh umat Katolik dengan duduk di bilik bersekat
dan mengungkapkan semua dosa mereka pada seorang pastor—dan seperti itulah Eric
saat ia berada di dekat Jamie. Untuk sesaat aku merasa Eric akan memanggilnya
dengan sebutan “ma’am”.
“Kau
mau bir?” tanya Margaret. Kurasa ia sedang mencoba melucu, namun tidak ada yang
tertawa.
Jamie mengangkat
tangannya untuk menyentuh rambutnya. “Oh… tidak, tidak usah… tapi, terima
kasih.”
Ia menatapku lekat-lekat dengan
mata yang bersinar ramah, dan aku langsung tahu bahwa aku dalam kesulitan.
Tadinya kukira Jamie akan memintaku berbicara empat mata atau semacamnya, yang
sejujurnya kurasa akan lebih baik, namun ternyata bukan itu rencananya.
“Kau
benar-benar tampil bagus dalam latihan minggu ini,” katanya padaku, “Aku tahu
kau harus mengingat banyak dialog, tapi aku yakin kau akan segera menghafalnya.
Aku cuma ingin mengucapkan terima kasih karena mau menawarkan diri waktu itu.
Kau memang pria sejati.”
“Trims,”
sahutku, perutku mulai mulas. Aku mencoba untuk tetap bersikap tenang, tapi
semua temanku sedang menatapku, tiba-tiba mempertanyakan apakah aku telah
mengatakan yang sebenarnya pada mereka tentang Miss Garber yang memaksaku dan
entah apa lagi.
“Teman-temanmu
seharusnya bangga,” lanjut Jamie.
“Oh,
tentu saja,” sahut Eric antusias. “Bangga sekali. Landon ini memang orang baik,
sampai rela menawarkan diri.”
Gawat.
Jamie tersenyum pada Eric, kemudian
berpaling kembali padaku, wajahnya riang seperti biasa. “Aku juga ingin
mengatakan jika kau perlu bantuan, kau boleh datang kapan saja. Kita bisa duduk
di teras seperti waktu itu dan berlatih dengan dialog-dialog yang kaurasa
perlu.”
Aku melihat mulut Eric membentuk
kata-kata “seperti waktu itu” ke arah Margaret. Situasinya semakin gawat.
Perutku terasa semakin mual.
“Oke,” gumamku,
sambil bertanya-tanya bagaimana aku bisa melepaskan diri dari semua ini. “Aku
bisa menghafalnya di rumah.”
“Landon,
kadang-kadang membantu lho jika ada teman berlatih,” usul Eric.
Sudah kubilang Eric suka
menggodaku, meskipun ia sahabatku.
“Tidak
usah, sungguh,” kataku pada Eric. “Aku akan menghafalnya sendiri.”
“Mungkin,”
ujar Eric sambil tersenyum, “ada baiknya kalau kalian berdua latihan di depan
anak-anak panti asuhan saat kalian sudah menguasainya dengan lebih baik.
Semacam geladi resik, kan? Aku yakin mereka akan menikmatinya.”
Boleh dibilang
kau bisa melihat cara otak Jamie bekerja begitu kata panti asuhan itu
disebut. Semua tahu bahwa itu adalah obsesinya. “Menurutmu begitu?” tanya
Jamie.
Eric mengangguk serius. “Aku yakin.
Landon sebetulnya yang pertama kali punya ide itu, tapi aku tahu kalau aku
seorang anak yatim piatu, aku akan menyukainya, meskipun itu cuma pertunjukan
drama.”
“Aku
juga,” timpal Margaret.
Saat mereka
membicarakannya, satu-satunya yang terlintas dalam benakku adalah adegan dalam Julius
Caesar saat Brutus menikam Caesar dari belakang. Kau juga, Eric?
“Jadi
itu ide Landon?” tanya Jamie, sambil mengangkat alisnya. Jamie menatapku, dan
aku langsung tahu bahwa ia sedang mempertimbangkan kebenarannya.
Namun Eric tidak
berniat melepaskanku begitu saja. Setelah berhasil membuatku terpojok seperti
ini, ia bisa menghabisiku dengan mudah. “Kau mau melakukannya, Landon?” tanya
Jamie. “Memberikan hiburan pada anak-anak di panti asuhan itu, maksudku.”
Itu sesuatu yang sulit untuk
ditolak, kan?
“Kurasa
begitu,” kataku tak berdaya sambil memelototi sahabatku. Bila dilatih, Eric
bisa jadi pemain catur yang hebat.
“Bagus,
kalau begitu semuanya sependapat. Itu kalau kau setuju tentunya, Jamie.”
Senyuman Eric begitu manis, sehingga cukup untuk memberi rasa manis pada separo
RC Cola yang beredar di seluruh negeri.
“Ehm…
oke, kurasa aku bisa membicarakannya dengan Miss Garber dan pimpinan panti
asuhan. Jika mereka setuju, kurasa itu ide yang bagus sekali.”
Dan nyatanya, jelas terlihat bahwa
Jamie sangat menyukai ide itu.
Sekak Mat.
Hari berikutnya,
aku menghabiskan empat belas jam untuk menghafal dialogku, menyumpahi
teman-temanku, dan mempertanyakan bagaimana hidupku bisa lepas kendali seperti
ini. Tahun terakhirku di SMU jelas tidak akan seperti yang kubayangkan pada
awalnya. Tapi kalau aku harus tampil di hadapan sekelompok anak yatim piatu,
jelas aku tidak ingin kelihatan seperti orang tolol.
BAB 6
KAMI segera
menyampaikan rencana untuk anak-anak panti asuhan itu pada Miss Garber, dan ia
menganggapnya sebagai ide yang luar biasa. Omong-omong, itu memang ungkapan
favoritnya—luar biasa—setelah ia menyapamu dengan “Haloooo”. Pada hari
Senin, saat ia tahu aku sudah menguasai dialogku, ia berkata, “Luar biasa!” dan
mengucapkan kata itu selama dua jam berikutnya setiap kali aku selesai
melakukan suatu adegan. Menjelang akhir latihan, aku sudah mendengarnya sekitar
jutaan kali.
Miss Garber
ternyata mengembangkan ide kami dengan lebih baik lagi. Ia menyampaikan rencana
kami kepada seisi kelas, dan menanyakan apakah ada pemain lain yang juga
bersedia tampil, sehingga anak-anak panti asuhan bisa betul-betul menikmati
seluruh pertunjukan itu. Caranya meminta menunjukkan bahwa mereka sebetulnya
tidak punya pilihan lain, dan ia melayangkan pandangannya ke seisi kelas,
seakan menanti seseorang untuk menganggur agar ia bisa menganggapnya sebagai
suatu keputusan. Tak seorang pun bergerak, kecuali Eddie. Entah bagaimana
seekor serangga bisa masuk ke dalam lubang hidungnya di saat yang tepat,
sehingga ia harus bersin keras-keras. Serangga itu melesat keluar dari
hidungnya, melintasi mejanya, dan mendarat di lantai dekat kaki Norma Jean.
Cewek itu meloncat bangkit dari kursinya sambil menjerit dengan suara nyaring,
dan mereka yang berada di sekitarnya mulai berteriak, “Iiih… jorok!”
Siswa-siswa lain menoleh ke sana kemari dan menjulurkan leher mereka, mencoba
melihat apa yang terjadi, dan selama sepuluh detik berikutnya suasana kelas
riuh rendah. Bagi Miss Garber, itulah jawaban yang dibutuhkannya.
“Luar
biasa,” ujarnya, sambil mengakhiri diskusi itu.
Sementara itu Jamie benar-benar
antusias mengenai pertunjukan untuk anak-anak panti asuhan itu. Sewaktu
istirahat di antara latihan ia menarikku ke samping dan mengucapkan terima
kasih padaku karena mau memikirkan anak-anak panti asuhan. “Kau tentu tidak
bisa membayangkan,” ujarnya dalam nada nyaris penuh rahasia, “tapi selama ini
aku bertanya-tanya apa yang bisa kulakukan untuk anak-anak itu tahun ini. Sudah
berbulan-bulan aku berdoa untuk itu, karena aku ingin Natal ini menjadi yang
paling istimewa.”
“Kenapa
Natal ini begitu penting?” tanyaku padanya, dan Jamie tersenyum sabar, seakan
aku baru saja mengajukan pertanyaan yang tidak begitu penting.
“Karena
memang istimewa,” sahutnya.
Langkah berikutnya adalah
membicarakan ide itu dengan Mr. Jenkins, pimpinan panti asuhan. Aku tidak
pernah bertemu dengan Mr. Jenkins, karena panti asuhan itu terletak di Morehead
City, di seberang jembatan Beaufort, dan aku tidak pernah punya alasan untuk ke
sana.
Ketika Jamie
mengejutkanku keesokan harinya dengan kabar bahwa kami bisa bertemu dengan Mr.
Jenkins malam itu, aku khawatir pakaianku tidak cukup pantas. Aku tahu bahwa
kami akan ke panti asuhan, tapi aku ingin memberikan kesan yang baik. Meskipun
aku tidak seantusias Jamie mengenai hal itu (tak seorang pun akan merasa
seantusias Jamie), aku tidak ingin dianggap sebagai si Grinch yang merusak
suasana Natal untuk anak-anak yatim piatu.
Sebelum
berangkat ke panti asuhan, kami harus berjalan kaki ke rumahku dulu untuk
meminjam mobil ibuku. Sementara kami di sana, aku berencana untuk berganti
pakaian yang lebih baik. Perjalanan itu menghabiskan waktu sekitar sepuluh
menit, dan Jamie tidak bicara banyak sepanjang perjalanan, setidaknya sampai
kami berada di kawasan tempat tinggalku. Rumah-rumah di sekitar rumahku
berukuran besar dan terpelihara dengan baik. Jamie menanyakan padaku siapa saja
yang tinggal di sana dan sudah berapa tahun umur rumah-rumah itu. Aku menjawab
pertanyaan-pertanyaannya tanpa berpikir panjang. Tapi saat aku membuka pintu
depan rumahku, tiba-tiba aku menyadari betapa berbedanya rumahku dibandingkan
dengan rumahnya. Ekspresi tercengang membayang di wajahnya saat ia melayangkan
pandangannya ke ruang tamu rumahku.
Aku yakin inilah rumah paling mewah
yang pernah dimasukinya. Beberapa saat kemudian aku melihat matanya menjelajahi
lukisan-lukisan yang tergantung di dinding. Lukisan-lukisan nenek moyangku.
Seperti kebanyakan keluarga di daerah Selatan, seluruh garis silsilahku bisa
ditelusuri mengikuti puluhan lukisan wajah yang berderet di dinding-dinding
rumah. Ia memandangi lukisan-lukisan itu seakan sedang mencari kemiripannya,
kemudian ia mengalihkan perhatiannya ke perabotan, yang boleh dibilang masih
tampak baru, bahkan setelah dua puluh tahun. Berbagai perabotan itu merupakan
hasil kerajinan tangan yang dibuat atau diukir dari kayu mahoni dan cherry,
dan didesain secara khusus untuk setiap ruangan. Memang bagus, harus kuakui,
tapi tak pernah kuperhatikan secara serius. Bagiku, ini hanya sebuah rumah.
Bagian favoritku adalah jendela di kamarku yang mengarah ke bagian atas teras.
Saranaku untuk kabur.
Namun, aku
mengajaknya berkeliling untuk melihat-lihat ruang duduk, perpustakaan, ruang
baca, dan ruang keluarga. Mata Jamie semakin melebar setiap memasuki ruangan
baru. Ibuku sedang berada di teras, menikmati segelas mint julep sambil
membaca, dan ia mendengar suara kami. Ibuku masuk ke rumah untuk menyapa kami.
Rasanya sudah
kukatakan bahwa semua orang dewasa di kota ini menyayangi Jamie, dan itu
termasuk ibuku. Meskipun Hegbert selalu memberikan khotbah yang entah dengan
cara bagaimana menyinggung nama keluarga kami, ibuku tidak pernah menaruh
dendam pada Jamie, karena ia begitu manis. Mereka mengobrol sementara aku di
atas, mengaduk-aduk isi lemari untuk mencari kemeja bersih dan dasi. Di masa
itu anak laki-laki sering memakai dasi, terutama saat mereka akan bertemu
dengan orang yang memiliki kedudukan. Sewaktu aku kembali ke bawah dengan
pakaian lengkap, Jamie sudah menceritakan pada ibuku tentang rencana kami.
“Ide
yang bagus sekali,” ujar Jamie, sambil menatapku dengan wajah gembira. “Landon
benar-benar berhati mulia.”
Ibuku—setelah memastikan bahwa ia
tidak salah dengar—memandangku dengan alis terangkat. Ia menatapku seakan aku
makhluk asing.
“Jadi
ini idemu?” tanya ibuku. Seperti yang diketahui semua penduduk kota ia tahu
Jamie tidak pernah bohong.
Aku berdeham,
membayangkan Eric dan apa yang masih ingin kulakukan terhadapnya. Mungkin
perbuatan Eric bisa dibalas dengan melumuri gula sirop dan semut merah ke
tubuhnya.
“Bisa
dibilang begitu,” sahutku.
“Bukan
main.” Hanya itu yang bisa diucapkan ibuku. Ia memang tidak mengetahui
detailnya, tapi ibuku tahu aku pasti disudutkan sedemikian rupa hingga mau
melakukan hal seperti ini. Kaum ibu selalu mengetahui hal-hal semacam ini, dan
aku bisa melihat bahwa ia sedang mengamatiku sambil mencoba membayangkan
situasinya. Untuk menghindari tatapannya, aku melihat arlojiku, menunjukkan
wajah terkejut, kemudian mengingatkan Jamie secara sambil lalu bahwa sebaiknya
kami segera berangkat. Ibuku mengeluarkan kunci mobil dari dalam tasnya dan
menyerahkannya kepadaku, masih sambil mengawasiku saat kami melangkah ke arah
pintu. Aku menghela napas lega, dengan anggapan bahwa aku berhasil lolos. Namun
saat aku berjalan bersama Jamie menuju mobil, aku mendengar suara ibuku lagi.
“Mampirlah
kapan-kapan, Jamie!” seru ibuku. “Pintu selalu terbuka bagimu di rumah ini.”
Bahkan seorang ibu bisa menikammu
dari belakang.
Aku masih menggelengkan kepala saat
masuk ke dalam mobil.
“Ibumu
wanita yang luar biasa,” ujar Jamie.
Aku menyalakan mesin mobil. “Ya,”
sahutku. “Kurasa begitu.”
“Dan
rumah bagus sekali.”
“He-eh.”
“Kau
seharusnya bersyukur.”
“Oh,”
ujarku, “Tentu. Bisa dibilang aku orang paling beruntung di muka bumi ini.”
Entah mengapa
Jamie tidak menangkap nada sarkastis dalam suaraku.
Kami tiba di panti asuhan persis
menjelang gelap. Kami kepagian beberapa menit, dan kepala panti asuhan itu
masih berbicara di telepon. Ia sedang melakukan pembicaraan penting, sehingga
tidak dapat langsung menemui kami. Jadi kami harus duduk menunggunya dulu. Kami
sedang menunggu di bangku di lorong depan ruang kerjanya, ketika Jamie
berpaling ke arahku. Alkitab-nya berada di atas pangkuan. Kurasa ia membutuhkan
Alkitab untuk mendapatkan pegangan, tapi mungkin itu cuma kebiasaan.
“Kau
benar-benar hebat hari ini,” ujarnya. “Dengan dialogmu, maksudku.”
“Trims,”
sahutku, merasa bangga dan sedih pada waktu yang bersamaan. “Tapi aku belum
dapat menjiwainya,” tambahku. Tidak mungkin bagi kami untuk berlatih di teras,
dan aku berharap Jamie tidak akan mengusulkannya.
“Kau
akan bisa. Tidak akan sulit setelah kau hafal semua dialognya.”
“Kuharap
begitu.”
Jamie tersenyum, dan beberapa saat
kemudian ia mengubah topik pembicaraan sehingga membuatku bingung. “Kau pernah
memikirkan masa depan, Landon?” tanyanya.
Aku tercengang mendengar
pertanyaannya karena kedengarannya begitu… biasa.
“Ya,
tentu saja. Kurasa begitu,” sahutku dalam nada waswas.
“Apa
yang ingin kaulakukan dengan hidupmu?”
Aku mengangkat
bahu, sedikit cemas memikirkan ke mana arah pembicaraannya kali ini. “Aku belum
tahu. Aku belum pernah memikirkannya sejauh ini. Aku akan ke UNC musim gugur yang
akan datang, setidaknya kuharap begitu. Aku masih harus diterima dulu.”
“Kau
akan diterima,” ujarnya.
“Dari
mana kau tahu?”
“Karena
aku juga mendoakannya.”
Ketika Jamie mengatakannya, aku
mengira kami akan segera terlibat dalam diskusi mengenai kekuatan doa dan iman,
namun Jamie justru memberikan kejutan lain padaku.
“Bagaimana
setelah kau lulus perguruan tinggi? Apa yang akan kaulakukan setelah itu?”
“Aku
tidak tahu,” sahutku, sambil mengangkat bahu. “Mungkin aku akan jadi penebang
kayu berlengan satu.”
Ia tidak menganggap itu lucu.
“Kurasa sebaiknya kau menjadi pendeta,” ujarnya dalam
nada yang serius. “Menurutku kau pandai menghadapi orang, dan mereka
menghormati perkataanmu.”
Meskipun konsepnya betul-betul
tidak masuk akal, aku tahu Jamie mengatakannya dengan tulus dan dimaksudkan
sebagai pujian.
“Terima
kasih,” kataku. “Aku tidak tahu apakah aku mau jadi pendeta, tapi aku yakin aku
akan menemukan sesuatu.” Setelah beberapa saat aku baru menyadari bahwa
percakapan kami terhenti dan sekarang giliranku untuk bertanya.
“Bagaimana denganmu? Apa yang ingin
kaulakukan nanti?”
Jamie mengalihkan pandangannya,
tatapannya menerawang sejenak, membuatku bertanya-tanya apa yang sedang
dipikirkannya.
“Aku
ingin menikah,” ujarnya perlahan. “Dan di saat aku menikah, aku ingin ayahku
berjalan mendampingiku menuju altar dan aku ingin semua orang yang kukenal ada
di sana. Aku ingin gereja penuh sesak dengan para tamu.”
“Itu
saja?” Meskipun aku tidak meremehkan ideuntuk menikah, rasanya konyol
mengharapkan hal itu sebagai tujuan utama dalam hidupmu.
“Ya,”
sahutnya. “Hanya itu yang kuinginkan.”
Caranya menjawab membuatku merasa
ia menganggap nasibnya akan sama seperti Miss Garber. Aku berusaha membuat
dirinya merasa lebih baik, meskipun aku menganggapnya konyol.
“Kau
akan menikah kelak. Kau akan bertemu dengan seseorang dan kalian berdua akan
cocok, dan ia akan memintamu untuk menikahinya. Aku yakin ayahmu akan senang
sekali mendampingimu menuju altar.”
Aku tidak menyinggung tentang
banyaknya tamu yang datang ke gereja nanti. Kurasa itu bagian yang sulit
kubayangkan.
Jamie mencerna jawabanku,
memikirkan caraku menjawabnya, meskipun aku tidak mengerti alasannya.
“Kuharap
begitu,” kata Jamie akhirnya.
Aku tahu Jamie tidak ingin
membicarakan hal itu lebih lanjut—jangan tanya padaku bagaimana aku bisa
mengetahuinya—karena itulah aku mengalihkan topik pembicaraan.
“Sudah
berapa lama kau mendatangi panti asuhan ini?” tanyaku berbasa-basi.
“Sudah
tujuh tahun. Aku baru berumur sepuluh tahun ketika pertama kali datang kemari.
Aku lebih muda dari kebanyakan anak-anak di sini waktu itu.”
“Apakah
kau menikmatinya, atau itu justru membuatmu sedih?”
“Dua-duanya.
Sebagian anak-anak di sini berasal dari situasi yang betul-betul mengenaskan.
Mendengar kisah mereka bisa membuatmu terharu. Tapi saat mereka melihatmu
muncul dengan membawa beberapa buah buku dari perpustakaan atau mainan baru,
senyum mereka akan segera menghapus semua kesedihan. Rasanya tak ada yang bisa menandingi
perasaan itu.”
Wajah Jamie
tampak bersinar saat mengucapkan kata-kata itu. Meskipun ia tidak mengatakannya
untuk membuatku merasa bersalah, tetap saja itulah yang kurasakan. Itulah salah
satu alasan mengapa sulit bagiku untuk menghadapinya, tapi pada saat itu aku
mulai terbiasa dengannya. Aku menyadari bahwa Jamie bisa membuatmu merasakan
banyak hal, kecuali merasa normal.
Pada saat itu
Mr. Jenkins membuka pintu dan mengundang kami masuk. Ruang kerjanya nyaris
tampak seperti kamar rumah sakit, lantai berubin hitam-putih, dinding dan
langit-langit putih, dan lemari besi di dinding. Di tempat yang biasanya
diletakkan tempat tidur, terdapat meja besi yang seakan belum selesai dirakit.
Ruangan ini nyaris tidak menunjukkan sesuatu yang bersifat pribadi. Tak ada
foto atau semacamnya.
Jamie
memperkenalkanku, dan aku menjabat tangan Mr. Jenkins. Setelah kami duduk,
Jamie-lah yang banyak berbicara. Mereka sudah lama berteman, kau bisa langsung
melihatnya, dan Mr. Jenkins memeluk Jamie dengan hangat saat masuk tadi.
Setelah merapikan roknya, Jamie menjelaskan rencana kami. Mr. Jenkins sudah
pernah menonton drama itu beberapa tahun yang lalu, dan ia tahu persis apa yang
sedang dibicarakan Jamie. Meskipun Mr. Jenkins sangat menyukai Jamie dan tahu
bahwa maksudnya baik, ia tidak menganggap usulnya itu sebagai ide yang bagus.
“Kurasa
itu bukan ide yang bagus,” ujarnya.
Dari situlah aku tahu apa yang ada
dalam benak Mr. Jenkins.
“Kenapa
tidak?” tanya Jamie, alisnya terangkat. Ia tampak benar-benar tidak memahami
sikap kurang antusias Mr. Jenkins.
Mr. Jenkins meraih sebatang pensil
dan mulai mengetuk-ngetuknya di atas meja, jelas memikirkan cara untuk
menjelaskan alasannya. Kemudian ia meletakkan pensilnya dan menghela napas.
“Meskipun itu
usul yang bagus dan aku tahu kau ingin melakukan sesuatu yang istimewa, drama
itu tentang seorang ayah yang pada akhirnya menyadari betapa ia mencintai
putrinya.” Ia memberi kesempatan kepada kami untuk meresapi ucapannya sambil
mengambil pensilnya kembali. “Natal sudah terasa berat di sini tanpa
mengingatkan anak-anak itu akan apa yang tidak mereka miliki. Kurasa jika
anak-anak menonton pertunjukan seperti itu…”
Ia bahkan tidak perlu menyelesaikan
kalimatnya. Jamie membekap mulutnya dengan tangan. “Ya, Tuhan,” ujarnya, “Anda
benar. Aku tidak memikirkan itu sama sekali.”
Sejujurnya, aku juga tidak berpikir
sampai sejauh itu. Tapi tidak perlu diragukan lagi bahwa apa yang dikatakan Mr.
Jenkins masuk akal.
Namun Mr.
Jenkins tetap mengucapkan terima kasih kepada kami dan mengajak kami
berbincang-bincang sebentar mengenai apa yang sudah direncanakan. “Kami akan
memasang pohon Natal kecil dengan beberapa hadiah—sesuatu yang dapat mereka
gunakan bersama. Kalian berdua boleh datang berkunjung pada Malam Natal…”
Setelah berpamitan, Jamie dan aku
berjalan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku tahu Jamie sedang sedih.
Semakin sering aku menghabiskan waktu bersama Jamie, semakin aku menyadari
bahwa ia memiliki bermacam-macam emosi—ia tidak sealu ceria dan bahagia.
Percaya atau tidak, saat itulah pertama kalinya aku menyadari bahwa dalam
banyak hal Jamie sama seperti manusia lainnya.
“Aku
menyesal rencanamu tidak bisa dilaksanakan,” ujarku pelan.
“Aku
juga.”
Tatapannya menerawang lagi, dan ia
perlu waktu sebelum melanjutkan lagi.
“Aku
cuma ingin melakukan sesuatu yang berbeda untuk mereka tahun ini. Sesuatu yang
istimewa, yang takkan mereka lupakan selamanya. Aku merasa begitu yakin
tadinya…” Ia menghela napas, “Tuhan sepertinya punya rencana lain yang sejauh
ini belum kuketahui.”
Ia terdiam lama, dan aku
mengawasinya. Melihat Jamie merasa sedih ternyata membuat perasaanku lebih
buruk daripada merasa kesal karena harus bersamanya. Tidak seperti Jamie, aku
pantas merasa buruk terhadap diriku sendiri—aku tahu orang seperti apa aku ini.
Tapi Jamie…
“Mumpung
kita sudah di sini, kau mau mampir sebentar untuk melihat anak-anak itu?”
tanyaku, memecah keheningan. Hanya itulah yang terlintas dalam benakku yang
dapat
kulakukan
untuk membuat Jamie merasa lebih baik. “Aku bisa menunggu di sini sementara kau
menemui mereka, atau menunggu di mobil kalau kau mau.”
“Maukah
kau menemui mereka bersamaku?” tanyanya tiba-tiba.
Sejujurnya, aku tidak yakin sanggup
menghadapi mereka, tapi aku tahu Jamie benar-benar ingin aku menemaninya. Dan
ia sedang sedih sehingga kata-katanya terucap begitu saja.
“Oke,
aku ikut.”
“Mereka
tentu berada di ruang rekreasi sekarang. Biasanya mereka ada di sana pada waktu
seperti ini,” ujarnya.
Kami berjalan menyusuri lorong
sampai ke ruangan paling ujung, di sana terdapat dua pintu yang membuka ke
dalam ruangan yang cukup besar. Di pojok terdapat pesawat televisi kecil dengan
sekitar 30 kursi lipat yang ditempatkan di sekelilingnya. Anak-anak sedang
duduk di kursi itu, mengerumuni pesawat televisi, dan hanya mereka yang duduk
di barisan terdepan yang dapat melihat televisi dengan jelas.
Aku melayangkan
pandanganku ke seluruh penjuru ruangan. Di pojok ruangan terdapat sebuah meja
ping-pong tua. Permukaannya sudah retak-retak dan berdebu, tidak ada net. Ada
beberapa cangkir Styrofoam kosong di atasnya, meja itu tampaknya sudah tidak
pernah digunakan selama beberapa bulan, mungkin juga sudah bertahun-tahun. Di
sepanjang dinding dekat meja ping-pong itu ada sebuah rak, dengan beberapa
mainan di sana sini—balok-balok kayu, puzzle, dan sejumlah mainan
lainnya. Tidak terlalu banyak, dari yang sedikit itu terlihat seakan sudah lama
sekali berada di ruangan ini. Di sepanjang dinding yang lain terdapat beberapa
meja kecil dengan tumpukan kertas koran yang dicorat-coret dengan krayon.
Kami berdiri di ambang pintu selama
beberapa saat. Mereka belum menyadari kehadiran kami, dan aku bertanya untuk
apa koran-koran itu.
“Mereka
tidak punya buku mewarnai,” bisik Jamie, “jadi mereka memakai koran bekas.”
Jamie tidak memandangku saat berbicara—perhatiannya tertuju pada anak-anak itu.
Ia sudah mulai tersenyum lagi.
“Apakah
ini semua mainan yang mereka miliki?” tanyaku.
Jamie mengangguk. “Ya, kecuali
boneka binatang. Mereka boleh menyimpan boneka-boneka itu di kamar mereka. Di
sini tempat penyimpanan sisa mainan yang mereka miliki.”
Kurasa Jamie sudah terbiasa akan
hal itu. Namun bagiku, kelengangan ruangan itu membuat suasananya terasa
menyedihkan. Tidak terbayang olehku dibesarkan di tempat seperti ini.
Jamie dan aku akhirnya melangkah masuk
ke ruangan itu dan seorang di antara anak-anak itu menoleh mendengar suara
langkah kaki kami. Usia anak itu sekitar delapan tahun, dengan rambut merah dan
bintik-bintik di wajahnya, dan gigi depannya sudah tanggal.
“Jamie!”
serunya gembira begitu melihat Jamie, dan tiba-tiba semua kepala berpaling.
Anak-anak itu berusia antara lima sampai dua belas tahun, lebih banyak anak
laki-laki daripada perempuan. Selanjutnya aku baru tahu bahwa anak-anak itu
ditempatkan di rumah orangtua angkat setelah berusia dua belas tahun.
“Hai,
Roger,” sahut Jamie, “apa kabar?”
Setelah itu, Roger bersama beberapa
anak lain mulai mengerumuni kami. Beberapa anak yang tidak memedulikan
kehadiran kami, bergerak lebih dekat ke pesawat televisi karena ada beberapa
tempat kosong di barisan terdepan sekarang. Jamie memperkenalkanku pada seorang
anak yang lebih besar, yang menanyakan apakah aku pacar Jamie. Dari nadanya,
aku merasa anak itu memiliki pandangan yang sama terhadap Jamie seperti
kebanyakan anak-anak di sekolah kami.
“Ia
cuma teman biasa,” sahut Jamie. “Tapi ia baik sekali.” Selama sekitar sejam
kami mengunjungi anak-anak itu. Aku mendapat banyak pertanyaan seperti di mana
aku tinggal, apakah rumahku besar, dan mobil merek apa yang kumiliki. Ketika
kami akhirnya harus pergi, Jamie berjanji akan segera mengunjungi mereka lagi.
Aku menyadari bahwa Jamie tidak menjanjikan akan mengajakku lagi.
Sementara kami berjalan menuju
mobil, aku berkata, “Mereka anak-anak yang baik.” Aku mengangkat bahu dengan
kikuk. “Aku senang kau mau membantu mereka.”
Jamie berpaling
ke arahku dan tersenyum. Ia tahu bahwa tidak banyak yang bisa ditambahkan
setelah itu, namun aku bisa melihat bahwa Jamie masih penasaran mengenai apa
yang bisa ia lakukan bagi mereka di Hari Natal.
BAB 7
DI awal bulan
Desember, setelah sekitar dua minggu latihan, langit musim dingin sudah gelap
sebelum Miss Garber memperbolehkan kami pulang. Jamie memintaku menemaninya
pulang berjalan kaki. Aku tidak tahu mengapa ia ingin aku menemaninya. Beaufort
bukanlah kota dengan tingkat kejahatan yang tinggi.
Satu-satunya
pembunuhan yang pernah kudengar terjadi sekitar enam tahun yang lalu ketika
seseorang tewas ditusuk di luar Maurice’s Tavern—omong-omong, merupakan tempat
berkumpul orang-orang seperti Lew. Selama kurang-lebih satu jam suasana kota
cukup gempar, dan telepon-telepon berdering di seluruh penjuru kota sementara
kaum wanita yang panik menanyakan kemungkinan masih adanya pembunuh gila
berkeliaran di jalan, mengintai korban-korban yang lengah. Pintu-pintu dikunci,
senjata diisi, kaum pria duduk di dekat jendela depan, mewaspadai kalau-kalau
ada seseorang yang tidak dikenal mengendap-endap di jalan. Namun seluruh
kehebohan itu mereda sebelum malam itu berakhir saat seorang pria menyerahkan
diri pada polisi. Ternyata pembunuhan itu terjadi akibat percekcokan di bar
yang lepas kendali. Rupanya si korban mencoba berbuat curang saat berjudi. Pria
itu didakwa melakukan pembunuhan tingkat dua dan dihukum enam tahun penjara.
Para polisi di kota kami menjalani
tugas-tugas yang paling membosankan di dunia ini, namun mereka masih suka
berlagak sok jago sambil membawa-bawa pentungan atau duduk-duduk di kedai kopi
sambil membahas soal “kejahatan besar” itu, seakan mereka telah berhasil
mengungkap suatu misteri seheboh kasus penculikan bayi keluarga Lindbergh.
Namun rumah
Jamie searah dengan rumahku, dan aku tidak dapat menolak tanpa melukai
perasaannya. Tapi jangan salah mengerti, ini bukan berarti aku suka padanya
atau semacamnya. Tapi setelah kau melewatkan beberapa jam dalam sehari dengan
seseorang, dan kau masih akan menghabiskan waktu dengan orang itu selama
sedikitnya seminggu lagi, kau tidak ingin melakukan sesuatu yang mungkin akan
membuat hari-hari mendatang menjadi tidak menyenangkan.
Drama itu akan
dipentaskan pada hari Jumat dan Sabtu, dan banyak orang yang sudah mulai
membicarakannya. Miss Garber begitu terkesan dengan penampilanku dan Jamie
sehingga ia terus menceritakan kepada semua orang bahwa pertunjukan kali ini
akan jadi pertunjukan terbaik yang pernah dipentaskan oleh sekolah kami. Miss
Garber ternyata memiliki kemampuan yang mencengangkan dalam berpromosi. Kota
kami memiliki seubah stasiun pemancar radio, dan mereka mewawancarai Miss
Garber secara langsung, tidak hanya sekali, tapi dua kali. “Acaranya akan luar
biasa,” komentarnya, “betul-betul luar biasa.”
Miss Garber juga
menghubungi surat kabar, dan mereka telah sepakat untuk menulis artikel tentang
drama itu. Surat kabar mau melakukannya karena kaitan antara Jamie dan Hegbert,
meskipun semua orang di kota kami sudah mengetahuinya. Namun Miss Garber tetap
tidak kenal lelah, dan ia baru saja mengatakan kepada kami bahwa pihak
Playhouse akan menyediakan kursi-kursi tambahan untuk menampung jumlah
pengunjung yang melebihi kapasitas. Seisi kelas mengeluarkan suara oh dan ah,
seakan itu sesuatu yang hebat atau semacamnya, tapi kemudian kurasa memang
itulah yang dirasakan sebagian di antara mereka. Ingat, kami memiliki
orang-orang seperti Eddie. Ia mungkin menganggap inilah satu-satunya saat dalam
hidupnya yang akan mendapat perhatian banyak orang. Yang menyedihkan adalah ia
mungkin benar.
Kau mungkin
mengira aku juga ikut antusias dengan kegiatan ini, tapi nyatanya tidak.
Teman-temanku masih mengejekku di sekolah, dan sudah lama aku tidak menikmati
sore yang bebas. Satu-satunya hal yang membuatku bertahan adalah fakta bahwa
aku sedang melakukan “sesuatu yang benar”. Aku tahu bahwa itu tidak banyak
berarti, namun sejujurnya, hanya itulah alasanku. Kadang-kadang aku merasa
gembira dengan perbuatanku, meskipun aku tidak pernah mengakuinya kepada siapa
pun. Aku nyaris bisa membayangkan para malaikat di surga, berkerumun dan
memandangku dengan air mata mengambang di sudut mata mereka, membicarakan
betapa baiknya aku karena mau berkorban.
Jadi aku
memikirkan semua itu sambil menemaninya pulang pada malam pertama, ketika Jamie
mengajukan pertanyaan padaku.
“Benarkah
kau dan teman-temanmu kadang-kadang pergi ke tempat pemakaman di malam hari?”
Sebagian dari diriku tercengang saat mengetahui Jamie tertarik pada hal itu.
Meskipun sebetulnya bukan rahasia, rasanya itu bukan sesuatu yang akan
menggugah rasa ingin tahunya.
“Yeah,”
sahutku sambil mengangkat bahu. “Kadang-kadang.”
“Apa
yang kaulakukan di sana, selain makan kacang?”
Jadi ia juga tahu mengenai hal itu.
“Aku
tidak tahu,” ujarku. “Mengobrol… bercanda. Kami cuma senang duduk-duduk di
sana.”
“Kau
tidak pernah takut?”
“Tidak,”
sahutku. “Kenapa? Apakah kau akan takut?”
“Aku
tidak tahu,” sahutnya. “Mungkin.”
“Kenapa?”
“Karena
aku khawatir kalau yang kulakukan di sana tidak benar.”
“Kami
tidak melakukan perbuatan buruk di sana. Maksudku, kami tidak merobohkan
batu-batu nisan atau meninggalkan sampah di mana-mana,” ujarku. Aku tidak mau
mengungkapkan padanya mengenai percakapan kami tentang Henry Preston karena aku
tahu itu bukan sesuatu yang ingin didengar Jamie. Minggu lalu Eric sempat
bertanya seberapa cepat orang seperti Preston bisa naik ke tempat tidur dan…
ehm… kau tahu, kan?
“Pernahkah
kalian cuma duduk di sana dan mendengarkan suara-suara di sekeliling kalian?”
tanyanya. “Seperti suara derik jangkrik, atau gemeresik dedaunan di saat angin
berembus? Atau pernahkah kalian berbaring telentang sambil memandangi
bintang-bintang?”
Meskipun termasuk gadis remaja dan
sudah berusia tujuh belas tahun, Jamie tetap sama sekali tidak tahu apa-apa
tentang para remaja. Bagi Jamie mencoba memahami remaja pria ibarat mencoba
menguraikan teori relativitas.
“Tidak
juga,” sahutku.
Ia mengangguk pelan. “Kurasa itulah
yang akan kulakukan jika ada di sana. Maksudku, seandainya aku pergi ke sana.
Aku akan mengamati sekelilingku dan benar-benar memperhatikannya dengan
saksama, atau duduk diam dan memasang telingaku.”
Seluruh
percakapan ini terkesan aneh, tapi aku tidak berniat memperpanjangnya, dan kami
terus berjalan dalam keheningan selama beberapa waktu. Karena Jamie sudah
menanyakan sesuatu tentang diriku, aku merasa harus menanyakan sesuatu tentang
dirinya. Maksudku, sejauh
ini ia sama
sekali tidak mengungkit soal rencana Tuhan atau semacamnya, sehingga paling
tidak itulah yang dapat kulakukan.
“Oke,
apa yang biasa kaulakukan?” tanyaku. “Maksudku, selain membantu di panti
asuhan, menolong makhluk-makhluk malang, dan membaca Alkitab?” Harus kauakui
kedengarannya menggelikan, bahkan bagiku sendiri, namun memang itulah yang
biasa dilakukan Jamie.
Ia tersenyum padaku. Kurasa ia
tercengang mendengar pertanyaanku, terutama perhatianku terhadap kebiasaannya.
“Aku
melakukan banyak hal. Aku belajar untuk sekolah, menghabiskan waktu bersama
ayahku. Kami bermain gin rummy kadang-kadang. Hal-hal semacam itu.”
“Apakah
kau tidak pernah pergi bersama teman-temanmu, sekadar untuk bersenang-senang.”
“Tidak,”
sahutnya. Dari caranya menjawab aku bisa merasakan bahwa tidak banyak teman
yang menyukai kehadirannya.
“Aku
berani bertaruh kau tidak sabar untuk melanjutkan ke perguruan tinggi tahun
depan,” ujarku, mengalihkan percakapan.
Perlu beberapa saat baginya sebelum
menjawab.
“Kurasa
aku tidak akan melanjutkan ke perguruan tinggi,” sahutnya lugas. Jawabannya
sempat membuat aku bingung. Jamie termasuk siswa yang selalu meraih nilai
tertinggi di kelas kami. Ia bahkan berpeluang menjadi siswa teladan, tergantung
bagaimana hasil semester terakhir. Omong-omong, kami sudah mengadakan taruhan
untuk menebak berapa kali ia akan menyebut rencana Tuhan dalam pidatonya kelak.
Aku bertaruh empat belas kali, karena ia hanya mendapat waktu lima menit.
“Bagaimana
dengan Mount Sermon? Kupikir kau berencana untuk melanjutkan ke sana. Kau pasti
menyukai tempat seperti itu,” usulku.
Ia menatapku dengan mata berbinar.
“Maksudmu aku cocok berada di sana, kan?”
Kata-kata yang dilontarkannya
kadang-kadang bisa membuatmu terenyak.
“Maksudku
bukan begitu,” sahutku cepat. “Aku pernah mendengar betapa inginnya kau kuliah
di sana tahun depan.”
Jamie mengangkat
bahu tanpa sungguh-sungguh menjawabku, dan sejujurnya, aku jadi merasa
serba-salah. Saat itu kami telah sampai di depan rumahnya, dan berhenti di
trotoar. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat bayangan Hegbert di ruang
duduk melalui gorden. Lampunya menyala, dan Hegbert sedang duduk di sofa dekat
jendela. Kepalanya menunduk, seakan sedang membaca sesuatu. Mungkin membaca
Alkitab.
“Terima
kasih telah mengantarku pulang, Landon,” kata Jamie, dan ia menengadahkan
wajahnya ke arahku sesaat, sebelum akhirnya melangkahkan kakinya di jalan masuk
rumahnya.
Saat memperhatikannya dari
belakang, terlintas dalam benakku bahwa percakapan kami barusan adalah yang
paling aneh di antara sekian banyak percakapan kami. Jamie tetap tampak normal,
meskipun beberapa jawabannya terdengar janggal.
Pada malam
berikutnya, saat aku mengantarnya pulang, ia bertanya tentang ayahku.
“Ia
baik-baik saja, kurasa,” sahutku. “Ia jarang ada di rumah.”
“Kau
merindukannya? Dibesarkan tanpa kehadirannya?”
“Kadang-kadang.”
“Aku
juga sering merindukan ibuku,” ujarnya, “meskipun aku tidak pernah
mengenalnya.”
Itulah pertama kalinya aku
menyadari bahwa Jamie dan aku mungkin memiliki kesamaan. Aku membiarkan pikiran
itu terserap sejenak.
“Tentunya itu berat bagimu,” ujarku tulus. “Meskipun
ayahku seperti orang asing bagiku, setidaknya ia masih ada.”
Jamie berpaling
ke arahku sementara kami terus melangkah, kemudian ia menatap ke depan lagi. Ia
menarik-narik rambutnya perlahan. Aku mulai memperhatikan bahwa Jamie menarik
rambutnya setiap kali merasa gelisah atau tidak tahu harus berkata apa.
“Memang,
kadang-kadang. Tapi jangan keliru—aku mencintai ayahku dengan sepenuh
hati—namun ada saatnya aku bertanya-tanya akan seperti apa suasananya kalau ada
seorang ibu. Kurasa kami bisa membicarakan topik yang tidak bisa kubicarakan
dengan ayahku.”
Kupikir yang dimaksud Jamie adalah
membicarakan cowok. Baru kemudian aku tahu bahwa aku keliru.
“Bagaimana
rasanya hidup bersama ayahmu? Apakah ia sama seperti orang yang ditampilkannya
di gereja?”
“Tidak.
Sebenarnya ayahku memiliki rasa humor yang tinggi.”
“Hegbert?”
semburku. Membayangkannya saja aku tidak bisa.
Kurasa Jamie
terkejut mendengar aku menyebut nama ayahnya dengan nama kecilnya, namun ia
tidak mempersoalkannya dan tidak menanggapi komentarku. Malah ia berkata,
“Jangan terkejut begitu. Kau akan menyukainya, setelah kau lebih mengenalnya.”
“Aku
tidak yakin aku akan lebih mengenalnya.”
“Kau
tidak pernah tahu, Landon,” ujarnya sambil tersenyum, “apa rencana Tuhan.”
Aku benci saat Jamie mengatakan hal
seperti itu. Ia berbicara dengan Tuhan setiap hari, dan kau tidak akan pernah
tahu apa yang dikatakan “Yang Di Atas” kepadanya. Ia bahkan mungkin sudah
memiliki tiket untuk langsung terbang ke surga, kalau kau mengerti maksudku,
karena ia begitu baik.
“Bagaimana
aku bisa mengenalnya dengan lebih baik?” tanyaku.
Jamie tidak menyahut, namun
tersenyum pada dirinya sendiri, seakan ia mengetahui rahasia yang tidak mau
diungkapkannya padaku. Seperti yang kubilang sebelumnya, aku benci saat ia
sedang begitu.
Pada malam berikutnya kami
mengobrol tentang Alkitab-nya.
“Kenapa
kau selalu membawanya?” tanyaku.
Aku mengira ia
membawa Alkitab ke mana-mana cuma karena ia putri seorang pendeta. Itu bukan
pikiran yang berlebihan, mengingat bagaimana Hegbert menyikapi Ayat-ayat Suci
dan yang lainnya. Namun Alkitab yang dibawa Jamie sudah tua dan sampulnya
tampak sudah usang. Aku menganggap Jamie termasuk orang yang akan membeli
Alkitab baru setiap tahun atau secara berkala sekadar untuk membantu pihak
penerbit Alkitab atau memperbarui ketaatannya kepada Tuhan atau semacamnya.
Ia melangkah beberapa saat sebelum
menjawab.
“Ini
tadinya milik ibuku,” ujarnya.
“Oh…”
Nada suaraku seperti aku baru saja menginjak kura-kura kesayangan seseorang dan
meremukkan tempurungnya.
Ia menatapku. “Tak apa-apa, Landon.
Kau kan tidak tahu.”
“Maafkan
aku karena bertanya…”
“Jangan
minta maaf. Kau kan tidak punya maksud apa-apa.” Jamie terdiam sejenak. “Ibu
dan ayahku mendapat Alkitab ini pada hari pernikahan mereka, namun ibuku-lah
yang kemudian
menggunakannya.
Ia selalu membacanya, terutama di saat ia sedang melewati masa-masa sulit dalam
hidupnya.”
Aku teringat
pada keguguran yang berkali-kali dialaminya. Jamie melanjutkan ceritanya.
“Ia suka membacanya di malam hari
sebelum tidur, dan ia membawanya ke rumah sakit sewaktu aku dilahirkan. Ketika
ayahku mengetahui ibuku meninggal, ia membawaku dan Alkitab ini pulang dari
rumah sakit itu.”
“Aku
minta maaf,” ujarku lagi. Di saat seseorang menceritakan sesuatu yang sedih
padamu, hanya itulah yang menurutmu bisa kaukatakan, meskipun kau sudah
mengatakannya sebelumnya.
“Alkitab ini
membuatku… merasa dekat dengannya. Kau bisa mengerti?” Ia tidak mengatakannya
dengan sedih, tapi lebih hanya untuk memberikan jawaban atas pertanyaanku.
Entah mengapa itu membuatku merasa lebih tidak enak lagi.
Setelah ia mengungkapkan cerita
itu, aku membayangkan Jamie dibesarkan oleh Hegbert lagi, dan aku benar-benar
tidak tahu apa yang harus kukatakan. Sementara memikirkan jawabannya, aku
mendengar suara klakson mobil di belakang kami, dan kami sama-sama berhenti
melangkah lalu menengok ke belakang saat kami mendengar mobil itu menepi.
Eric dan Margaret berada di dalam
mobil itu, Eric di belakang kemudi, Margaret di sisi yang terdekat dengan kami.
“Wow,
coba lihat siapa yang kita temukan di sini,” ujar Eric sambil mencondongkan
tubuhnya ke arah kemudi sehingga aku bisa melihat wajahnya. Aku belum
menceritakan padanya bahwa aku mengantar Jamie pulang. Rasa ingin tahu dalam
pikiran remaja membuat perkembangan baru ini mengalahkan perasaanku setelah
mendengar cerita Jamie.
“Halo,
Eric. Halo, Margaret,” sapa Jamie riang.
“Kau
mengantarnya pulang, Landon?” Aku bisa melihat setan kecil di balik senyum
Eric.
“Hai,
Eric,” sapaku, sambil berharap ia tidak pernah melihatku.
“Malam
yang indah untuk jalan-jalan, kan?” ujar Eric. Kurasa karena Margaret berada di
antara dirinya dan Jamie, Eric merasa lebih berani daripada biasanya di hadapan
Jamie. Jelas ia tidak akan membiarkan peluang ini lewat tanpa membuatku merasa
terpojok.
Jamie memandang sekelilingnya dan
tersenyum. “Ya.”
Eric juga
melihat ke sekelilingnya, dengan tatapan sayu di matanya sebelum ia menarik
napasnya dalam-dalam. Aku tahu Eric cuma berpura-pura. “Wah, benar-benar
menyenangkan di luar, ya.” Ia menghela napas kemudian menoleh ke arah kami
sambil mengangkat bahu. “Sebenarnya aku ingin menawarkan tumpangan pada kalian,
tapi itu tentu tidak semenyenangkan berjalan-jalan di bawah bintang, dan aku
tidak ingin kalian berdua kehilangan itu.” Eric mengatakannya seakan ia
melakukan suatu kebaikan pada kami.
“Oh,
lagi pula kami sudah hampir sampai di rumahku,” ujar Jamie. “Aku baru akan
menawarkan segelas sari apel pada Landon. Kalian mau menunggu kami di sana?
Masih ada banyak.”
Sari apel? Di rumahnya? Jamie tidak
menyebut apa-apa tadi…
Aku memasukkan tanganku ke dalam
saku, sambil bertanya dalam hati apakah keadaan ini bisa lebih buruk lagi.
“Oh,
tak usah… tak apa-apa. Kami akan ke Cecil’s Diner.”
“Di
hari sekolah?” tanya Jamie polos.
“Oh,
kami tidak akan sampai larut malam,” janji Eric, “tapi kami sebaiknya segera
pergi. Nikmati sari apel kalian.”
Eric
menjalankan mobilnya kembali, perlahan-lahan. Jamie mungkin akan menganggap
Eric pengemudi yang hati-hati. Nyatanya tidak begitu, meskipun Eric sangat
lihai melepaskan diri dari masalah begitu ia menabrak sesuatu. Aku ingat ketika
ia mengatakan kepada ibunya bahwa seekor sapi tiba-tiba muncul di depan
mobilnya dan karena itulah bumper serta bagian depan mobilnya rusak.
“Kejadiannya begitu cepat, Mom, sapi itu muncul entah dari mana. Tiba-tiba sapi
itu sudah berada di depanku, dan aku tidak sempat mengerem pada waktunya.”
Semua orang tahu bahwa seekor sapi tidak tiba-tiba muncul entah dari mana,
namun ibunya mempercayai ucapannya. Omong-omong, ibunya juga pernah menjadi
ketua pemandu sorak.
Begitu mereka menghilang dari
pandangan, Jamie berpaling padaku dan tersenyum.
“Kau
punya teman-teman yang menyenangkan, Landon.”
“Tentu
saja.” Aku menyatakan kalimat itu dengan hati-hati.
Setelah mengantar Jamie—tidak, aku
tidak mampir untuk minum sari apel—aku langsung pulang, sambil menggerutu
sepanjang jalan. Sementara itu aku sudah melupakan cerita Jamie, dan yang
terngiang di telingaku adalah suara tawa teman-temanku dari arah Cecil’s Diner.
Lihat kan apa yang terjadi saat kau
jadi orang baik?
Keesokan paginya
semua siswa di sekolah tahu bahwa aku mengantar Jamie pulang. Hal ini
menimbulkan spekulasi baru mengenai kami berdua. Kali ini malah lebih gawat
daripada sebelumnya. Begitu gawatnya sehingga aku terpaksa melewatkan istirahat
makan siangku di perpustakaan untuk menghindari semua itu.
Malam itu latihan dilakukan di
Playhouse. Latihan terakhir sebelum pementasan pertama, dan masih banyak yang
harus kami kerjakan. Sepulang sekolah, siswa laki-laki di kelas drama harus
membawa semua properti panggung dari ruang kelas ke truk sewaan untuk diangkut
ke Playhouse. Masalahnya adalah siswa laki-lakinya hanya aku dan Eddie, dan
Eddie bukanlah orang yang indra-indranya terkoordinir dengan baik. Kami harus
melewati sebuah pintu, menggotong barang berat, dan postur Hooville-nya menjadi
kendala. Pada setiap saat yang kritis ketika aku betul-betul memerlukan
bantuannya untuk menahan beban, ia akan tersandung debu atau seekor serangga di
lantai, sehingga berat latar properti panggung itu akan ditimpakan pada
jari-jariku, yang kemudian akan terjepit di kusen pintu dengan cara yang amat
menyakitkan.
“S-s-sori,”
kata Eddie. “Sakit… ya?”
Aku menelan sederetan umpatan yang
nyaris terlontar dari mulutku dan menjawab dengan sengit, “Pokoknya jangan
lakukan itu lagi.”
Namun Eddie
tidak bisa mencegah dirinya untuk tidak tersandung-sandung lagi, sama seperti
halnya ia tidak mampu mencegah turunnya hujan. Pada saat kami selesai
membongkar pasang semuanya, jemariku tampak seperti jemari Toby, si tukang
serabutan. Bagian terburuknya adalah, aku bahkan tidak sempat makan sebelum
latihan dimulai. Memindah-mindahkan properti panggung itu telah menghabiskan
waktu tiga jam, dan kami baru selesai memasangnya kembali beberapa menit
sebelum yang lain tiba untuk mulai latihan. Dengan semua kejadian yang
berlangsung hari itu, boleh dikatakan suasana hatiku betul-betul tidak baik.
Aku mengucapkan
dialog-dialogku tanpa konsentrasi, dan Miss Garber tidak sekali pun mengucapkan
kata luar biasa sepanjang malam. Matanya menunjukkan keprihatinan, namun
Jamie hanya tersenyum dan mengatakan padanya agar tidak khawatir, dan semuanya
akan baik-baik saja. Aku tahu Jamie cuma ingin mempermudah keadaan tapi aku
menolaknya ketika ia memintaku mengantarnya pulang.
Playhouse terletak di tengah-tengah kota, dan aku harus berjalan ke
arah yang berbeda dengan arah rumahku untuk mengantarnya pulang. Selain itu,
aku tidak ingin terlihat mengantarnya pulang lagi. Namun Miss Garber kebetulan
mendengar pembicaraan kami dan berkata dengan nada tegas, bahwa aku akan
menemaninya dengan senang hati. “Kalian berdua bisa mengobrol tentang
pementasan itu,” ujarnya. “Mungkin kalian bisa berlatih bagian-bagian yang
masih kaku.” Tentu saja, yang dimaksud kaku di sini adalah aku.
Jadi sekali lagi
aku mengantar Jamie pulang, tapi ia pasti tahu bahwa aku sedang tidak ingin
berbicara karena aku melangkah sedikit lebih jauh di depannya. Kedua tanganku
di dalam saku, bahkan aku tidak menoleh ke belakang untuk melihat apakah ia
mengikutiku. Ini berlangsung selama beberapa menit pertama, dan aku tidak
mengucapkan sepatah kata pun padanya.
“Suasana
hatimu sedang tidak baik, ya?” tanya Jamie akhirnya. “Kau bahkan tidak berusaha
malam ini.”
“Tidak
ada yang luput dari perhatianmu, kan?” sahutku ketus tanpa menoleh ke arahnya.
“Mungkin
aku bisa membantu,” usulnya. Nadanya terdengar tulus, yang membuatku jadi
semakin kesal.
“Aku
tidak yakin,” bentakku.
“Mungkin
kalau kau mau menceritakan padaku apa yang mengganjal—“
Aku tidak membiarkan Jamie
menyelesaikan ucapannya.
“Dengar,”
kataku, seraya berhenti melangkah dan berdiri berhadapan dengannya. “Aku
menghabiskan waktu seharian untuk menggotong-gotong properti sialan itu. Aku
belum makan sejak siang, dan sekarang aku harus berjalan ekstra satu mil hanya
untuk memastikan kau sampai di rumah, padahal kita sama-sama tahu bahwa kau
sebetulnya tidak membutuhkanku untuk mengantar pulang.”
Baru pertama kali itulah aku
menaikkan volume suaraku saat berbicara dengannya. Terus terang, rasanya
lumayan menyenangkan. Aku sudah memendamnya sekian lama. Jamie tampak sangat
terkejut untuk menanggapi kemarahanku, dan aku terus melanjutkan.
“Satu-satunya
alasanku melakukan ini adalah karena ayahmu, yang bahkan tidak menyukaiku.
Semua ini betul-betul konyol. Aku berharap tidak pernah setuju untuk
melakukannya.”
“Kau
cuma mengatakan semua ini karena kau tegang menghadapi pementasan besok—“
Aku memotong ucapannya dengan
gelengan kepalaku. Sekali aku sudah mulai, kadang-kadang sulit bagiku untuk
berhenti. Aku hanya mampu menghadapi sikap optimis dan keceriannya sampai di
sini, dan ini bukan hari yang tepat untuk mendesakku makin jauh.
“Kau
masih juga belum mengerti, ya?” tanyaku gusar. “Aku sama sekali tidak merasa
tegang menghadapi pementasan. Aku cuma sedang tidak ingin berada di sini. Aku
tidak ingin mengantarmu pulang, aku tidak ingin teman-temanku terus
membicarakanku, dan aku tidak ingin menghabiskan waktu denganmu. Kau terus
berlagak seakan kita berteman, tapi nyatanya tidak begitu. Kita tidak punya
hubungan apa-apa. Aku cuma ingin semua ini segera berakhir dan aku bisa kembali
ke kehidupan normalku.”
Jamie tampak sakit hati menerima
luapan kemarahanku, dan sejujurnya, aku tidak dapat menyalahkannya.
“Aku
mengerti,” cuma itu yang dikatakannya. Aku menunggunya balas membentak, membela
dirinya, atau mencari masalah baru, namun ia tidak melakukannya. Jamie cuma
menunduk. Kurasa sebagian dari dirinya ingin menangis, namun ia tidak
melakukannya, dan akhirnya aku meneruskan lngkahku, meninggalkannya berdiri di
tempatnya. Namun tak lama setelah itu aku mendengar ia juga mulai bergerak. Ia
berada dalam jarak lima meter di belakangku sepanjang perjalanan menuju
rumahnya, dan ia tidak berusaha berbicara padaku lagi sampai ia akan melangkah
ke jalan masuk rumahnya. Aku sudah mulai berjalan menjauh ketika mendengar
suaranya.
Terima
kasih telah mengantarku pulang, Landon,” serunya.
Hatiku menciut
begitu mendengar ucapannya. Bahkan di saat aku bersikap kejam terhadapnya dan
mengatakan hal-hal yang paling menyakitkan, ia masih bisa menemukan alasan
untuk berterima kasih padaku. Jamie memang gadis semacam itu, dan kurasa aku
benar-benar membencinya karena alasan tersebut.
Atau lebih tepatnya, aku membenci
diriku sendiri karena alasan itu.
BAB 8
CUACA di malam
pementasan itu sejuk dan segar, langitnya terang tanpa segumpal awan pun. Kami
harus tiba satu jam lebih awal, dan sepanjang hari aku merasa tidak enak karena
caraku berbicara pada Jamie di malam sebelumnya. Jamie tidak pernah melakukan apa-apa
kecuali bersikap baik padaku, dan aku tahu bahwa aku memang bersikap tolol. Aku
melihatnya di lorong sekolah sewaktu pergantian mata pelajaran, dan aku berniat
menghampirinya untuk meminta maaf atas apa yang telah kukatakan, namun Jamie
menghilang di antara orang banyak sebelum aku sempat menghampirinya.
Ia sudah ada di
Playhouse sewaktu aku sampai di sana. Aku melihatnya berbicara dengan Miss
Garber dan Hegbert di sisi dekat layar panggung. Semua tampak sedang bergerak,
berusaha meredakan ketegangan, namun Jamie kelihatan begitu letih. Ia belum
mengenakan kostumnya—ia akan memakai gaun putih yang menjuntai untuk memberikan
kesan seperti malaikat—dan ia masih mengenakan sweter yang sama yang
dikenakannya di sekolah tadi. Meskipun aku merasa cemas menanggapi reaksinya,
aku tetap menghampiri mereka bertiga.
“Hai,
Jamie,” tegurku. “Halo, Pendeta… Miss Garber.”
Jamie menoleh ke arahku.
“Halo,
Landon,” sahutnya perlahan. Aku bisa melihat bahwa ia masih belum melupakan
peristiwa malam sebelumnya, karena ia tidak tersenyum padaku sebagaimana yang
biasa ia lakukan begitu melihatku. Aku bertanya apakah aku bisa berbicara
dengannya berdua, lalu kami meminta diri. Aku bisa melihat Hegbert dan Miss
Garber mengawasi kami saat kami menjauh dari jarak pendengaran mereka.
Aku melayangkan pandangan ke arah
panggung dengan gelisah.
“Maafkan
aku atas segala perkataanku padamu tadi malam,” ujarku memulai. “Aku tahu bahwa
semua itu mungkin melukai perasaanmu, dan aku salah karena telah
mengatakannya.”
Ia menatapku, seakan bertanya-tanya
apakah ia dapat mempercayai ucapanku.
“Kau
serius mengenai ucapanmu tadi malam?” tanya Jamie akhirnya.
“Suasana
hatiku sedang tidak baik, itu saja. Emosiku kadang-kadang meledak begitu saja.”
Aku tahu bahwa aku tidak secara langsung menjawab pertanyaannya.
“Aku
mengerti,” sahutnya. Nadanya saat mengatakan itu persis seperti pada malam
sebelumnya, kemudian ia berpaling ke arah kursi-kursi penonton yang masih
kosong. Ekspresi sedih di matanya kembali tampak.
“Dengar,”
ujarku, sambil meraih tangannya. “Aku berjanji akan menebus kesalahanku.”
Jangan tanya padaku mengapa aku mengatakannya—rasanya itulah yang harus
kulakukan pada saat itu.
Untuk pertama kalinya malam itu,
Jamie mulai tersenyum.
“Terima
kasih,” jawabnya, sambil berpaling ke arahku.
“Jamie?”
Jamie menoleh. “Ya, Miss Garber?”
“Kurasa sudah waktunya kau bersiap-siap.” Miss Garber
menggerakkan tangannya.
“Aku
harus pergi sekarang,” ujar Jamie kepadaku.
“Aku
tahu.”
“Break
a leg—Patahkan kaki/Semoga sukses,” ujarku. Mengucapkan sukses sebelum
pementasan dianggap membawa sial. Karena itulah semua orang akan mengatakan “break
a leg”.
Aku melepaskan tangannya. “Untuk
kita berdua. Janji.”
Setelah itu kami harus
bersiap-siap, dan kami terpaksa berpisah. Aku menuju ke arah ruang ganti
pakaian laki-laki. Gedung Playhouse memang lumayan lengkap, mempertimbangkan
lokasinya di Beaufort, dengan ruang ganti terpisah yang membuat kami merasa
seakan jadi aktor-aktor profesional, bukan sekadar anak-anak sekolah.
Kostumku, yang
disimpan di Playhouse, sudah tersedia di dalam ruang ganti itu. Sebelumnya,
semasa latihan, mereka mengukur tubuh kami agar bisa dilakukan perubahan, dan
aku sedang berpakaian saat Eric masuk tanpa diundang. Eddie masih ada di situ,
mengenakan kostum gelandangan bisunya, dan ia tampak ketakutan saat melihat
Eric. Sedikitnya sekali seminggu Eric biasa menerornya, sehingga Eddie berusaha
keluar secepat mungkin, sambil menaikkan celana kostumnya sambil berjalan
menuju pintu. Eric tidak memedulikannya dan langsung duduk di atas meja rias,
persis di muka cermin.
“Jadi,”
kata Eric sambil memperlihatkan senyum nakal, “apa yang akan kaulakukan
sekarang?”
Aku menatapnya heran. “Apa
maksudmu?” tanyaku.
“Mengenai
pementasan itu, tolol. Akan kaukacaukan dialogmu atau apa?”
Aku menggeleng. “Tidak.”
“Kau
akan menabrak properti-properti panggung itu?” Semua orang tahu tentang
properti panggung.
“Aku
tidak punya rencana seperti itu,” sahutku tak acuh.
“Maksudmu
kau melakukan ini sebagaimana mestinya?”
Aku mengangguk. Tidak pernah
terlintas dalam benakku untuk mengacaukannya.
Eric menatapku selama beberapa
saat, seakan sedang melihat seseorang yang tidak dikenalnya.
“Kurasa
kau sekarang sudah dewasa, Landon,” kata Eric akhirnya. Berhubung Eric yang
mengatakannya, aku tidak yakin apakah itu dimaksudkannya sebagai pujian.
Meskipun demikian, aku tahu bahwa
ia benar.
Di dalam drama
itu, Tom Thornton tercengang saat melihat malaikat untuk pertama kalinya, yang
kemudian menjadi alasan mengapa Tom mau ikut membantu malaikat itu menebarkan
suasana Natal di antara mereka yang kurang beruntung. Kata-kata pertama yang
terucap dari mulut Tom adalah, “Kau cantik sekali,” dan aku seharusnya
mengucapkan kalimat itu seakan keluar dari lubuk hatiku yang paling dalam.
Itulah saat paling menentukan dari seluruh pertunjukan itu, dan mempengaruhi
semua yang terjadi setelahnya.
Namun masalahnya, sampai sejauh ini
aku belum berhasil menghayatinya. Memang aku bisa mengucapkannya dengan baik,
tapi tidak terdengar begitu meyakinkan, mengingat kemungkinan bahwa aku
mengucapkannya sebagaimana yang dilakukan oleh semua orang saat berhadapan
dengan Jamie, kecuali Hegbert. Ini merupakan satu-satunya adengan yang tidak
pernah dikomentari Miss Garber dengan ucapan luar biasa, karena itu aku
merasa tegang. Aku terus berusaha membayangkan orang lain sebagai malaikatnya
agar aku dapat mengucapkan kalimat itu sebagaimana mestinya. Tapi hal itu
selalu terlupakan karena begitu banyak hal yang harus kuperhatikan.
Jamie masih berada di ruang ganti
saat layar akhirnya dibuka. Aku tidak melihat Jamie tapi itu bukan masalah.
Adegan-adegan pertama memang belum menampilkan dirinya—intinya lebih tentang
hubungan antara Tom Thornton dengan putrinya.
Aku tidak merasa
terlalu tegang saat menjejakkan kakiku di panggung, karena aku sudah sering
latihan, namun kenyataannya berbeda saat waktunya tiba. Gedung Playhouse itu
betul-betul penuh, dan seperti yang diprediksi Miss Garber, mereka terpaksa
menambahkan dua baris kursi tambahan di deret paling belakang. Biasanya tempat itu
cukup untuk empat ratus orang, tapi dengan adanya kursi-kursi tambahan itu
sedikitnya lima puluh orang lagi bisa duduk. Selain itu, masih banyak yang
berdiri bersandar pada dinding, berdesak-desakan seperti ikan sarden.
Begitu aku
muncul di panggung, semua penonton langsung diam. Aku melihat sebagian besar
penonton adalah wanita tua yang sudah beruban, yang biasanya bermain bingo dan
minum Bloody Mary saat makan siang, meskipun aku bisa melihat Eric dan semua
temanku di deretan belakang. Rasanya menegangkan, kalau kau mengerti maksudku,
berdiri di hadapan mereka semua sementara semua orang menungguku mengatakan
sesuatu.
Karena itu aku berusaha sebaik
mungkin untuk mencurahkan seluruh konsentrasiku saat melakukan adegan-adegan
awal dalam pertunjukan itu. Omong-omong, Sally, si cantik bermata satu, bermain
sebagai putriku, karena ia memiliki postur tubuh yang bisa dibilang kecil, dan
kami menampilkan adegan sebagaimana yang sudah kami latih sebelumnya. Kami
sama-sama tidak mengacaukan dialog meskipun akting kami tidak spektakuler. Di
saat layar diturunkan untuk menampilkan babak kedua, kami harus buru-buru
mengganti latar dan properti panggung. Kali ini semua turun tangan, dan
jari-jariku selamat karena aku berusaha keras menghindari Eddie.
Aku masih juga belum melihat
Jamie—kurasa ia dibebastugaskan dari memindah-mindahkan latar karena kostumnya
terbuat dari bahan tipis dan mungkin akan robek kalau sampai tersangkut
paku—tapi aku tidak punya banyak waktu untuk memikirkan Jamie karena berbagai
hal yang harus aku lakukan. Tiba-tiba, layar dibuka lagi dan aku kembali berada
di dalam dunia Hegbert Sullivan, berjalan melewati berbagai etalase toko
mencari kotak musik yang didambakan oleh putriku untuk Hari Natal.
Aku membelakangi
arah Jamie masuk, namun aku mendengar para penonton serentak menarik napas
begitu ia muncul di panggung. Tadinya aku menganggap bahwa suasananya sunyi,
tapi sekarang tiba-tiba menjadi hening. Pada saat itu, melalui sudut mataku aku
bisa melihat Hegbert berdiri di sisi panggung dengan rahang bergetar. Aku
bersiap-siap untuk berbali, dan setelah itu aku akhirnya melihat apa yang
diperhatikan semua orang.
Untuk pertama
kalinya sejak aku mengenal Jamie, rambutnya yang berwarna seperti madu tidak
disanggul, melainkan dibiarkan tergerai lepas. Lebih panjang daripada yang
pernah kubayangkan, dan tergerai sampai di bawah tulang belikatnya. Rambutnya
juga diberi glitter, sehingga memantulkan sinar lampu panggung dan
menjadikannya tampak seperti lingkaran halo dari kristal. Dalam gaun putihnya
yang menjuntai dan secara khusus dijahit untuknya, penampilan Jamie
sungguh-sungguh memesona. Ia sama sekali tidak tampak seperti gadis yang
kukenal sejak anak-anak, atau gadis yang belakangan ini mulai kukenal lebih
akrab. Ia juga memakai sedikit makeup—tidak banyak, cukup untuk memberi
aksen pada kelembutan garis-garis wajahnya. Ia sedang tersenyum, seakan
menyembunyikan rahasia di dalam hatinya, sesuai dengan peran yang harus
ditampilkannya.
Ia betul-betul tampak seperti
malaikat.
Aku tahu bahwa
mulutku menganga sedikit, dan aku cuma bisa berdiri di sana sambil menatapnya
sekian lama, terenyak dalam keheningan, sampai tiba-tiba aku teringat ada
kalimat yang harus kuucapkan. Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian
perlahan-lahan aku mengucapkannya.
“Kau
cantik sekali,” kataku padanya. Kurasa semua yang berada di dalam ruangan itu,
mulai dari wanita beruban yang duduk di depan sampai teman-temanku di deretan
paling belakang, tahu bahwa aku benar-benar serius dengan ucapanku.
Untuk pertama kalinya aku berhasil
menjiwai kalimat itu.
BAB 9
MENGATAKAN bahwa
pertunjukan itu sukses besar sebetulnya sama sekali tidak berlebihan. Para penonton
tertawa dan menangis, dan itu memang yang diharapkan dari mereka. Namun
suasananya benar-benar istimewa berkat kehadiran Jamie—dan aku merasa para
pemain lain juga sama terkejutnya seperti aku melihat penampilannya. Mereka
semua menampakkan reaksi yang sama seperti aku ketika pertama kali melihatnya.
Hal itu membuat seluruh pertunjukan semakin mantap di saat mereka memainkan
perang masing-masing. Kami menyelesaikan pertunjukan pertama tanpa satu kendala
pun, dan pada malam berikutnya malah lebih banyak lagi penonton yang datang.
Bahkan Eric menghampiriku seusai pertunjukan untuk memberi selamat padaku, yang
merupakan kejutan setelah apa yang dikatakannya padaku sebelumnya.
“Kalian
berdua bermain bagus,” kata Eric apa adanya. “Aku bangga padamu, sobat.”
Sementara ia mengatakan itu, Miss
Garber menyerukan, “Luar biasa!” kepada semua orang yang mau mendengar atau
yang kebetulan lewat. Ia mengatakannya berulang-ulang, sampai kata itu masih
terngiang-ngiang di telingaku setelah aku berbaring di tempat tidurku malam
itu. Aku mencari Jamie setelah layar diturunkan untuk terakhir kali, dan
melihatnya di pojok bersama ayahnya. Hegbert tampak berlinang air mata—baru
pertama kali itulah aku melihatnya menangis—Jamie berada dalam pelukannya, dan
mereka berangkulan selama beberapa saat. Hegbert membelai-belai rambut putrinya
sambil berbisik, “Malaikatku,” sementara Jamie memejamkan matanya. Aku bahkan
merasa tenggorokanku tercekat.
Aku menyadari bahwa melakukan
“sesuatu yang benar” sebetulnya bukan sesuatu yang buruk.
Setelah mereka
akhirnya saling melepaskan pelukan, dengan bangga Hegbert mengingatkan Jamie
untuk menemui para pemain lainnya. Jamie juga memperoleh banyak ucapan selamat
dari semua yang berada di belakang layar. Jamie tahu ia telah bermain dengan baik,
namun ia masih terus mengatakan pada semua orang bahwa ia tidak mengerti apa
yang sebetulnya perlu diributkan. Seperti biasa wajahnya menampakkan keceriaan,
tapi dengan penampilannya yang begitu cantik, kesannya menjadi berbeda. Aku
berdiri di belakang, membiarkan dirinya menikmati momen itu. Aku bahkan harus
mengakui bahwa ada bagian dari diriku yang merasa seperti si tua Hegbert. Mau
tidak mau aku merasa bahagia melihat Jamie, dan juga bangga. Ketika akhirnya ia
melihatku berdiri sendirian, Jamie meminta diri lalu berjalan menghampiriku.
Ia menengadahkan wajahnya sambil
tersenyum. “Terima kasih, Landon, atas apa yang telah kaulakukan. Kau membuat
ayahku bahagia sekali.”
“Sama-sama,”
sahutku tulus.
Anehnya adalah, ketika ia
mengatakan itu, aku menyadari bahwa ia akan pulang ke rumahnya diantar Hegbert.
Untuk sekali ini aku berharap bisa punya kesempatan untuk menemaninya pulang
berjalan kaki.
Hari Senin
berikutnya merupakan minggu terakhir kami di sekolah sebelum Liburan Natal, dan
semua kelas akan menghadapi ujian akhir. Selain itu, aku harus menyelesaikan
formulir
pendaftaranku
untuk masuk UNC, yang selama ini tertunda gara-gara semua latihan itu. Aku
sudah berencana untuk belajar keras minggu itu, kemudian membereskan tugasku
untuk pendaftaran UNC pada malam hari sebelum aku tidur. Meskipun demikian, mau
tidak mau aku terus teringat pada Jamie.
Transformasi yang terjadi pada diri
Jamie saat pementasan itu sangat menakjubkan, dan aku menganggap hal itu
menandakan perubahan dalam dirinya. Aku tidak tahu mengapa aku berpikiran
seperti itu, namun itulah yang terjadi. Aku jadi tercengang ketika ia muncul
pada pagi pertama itu dengan penampilannya yang lama: sweter cokelat, rambut
disanggul ke atas, rok kotak-kotak, dan seterusnya.
Hanya dengan
sekali lihat, mau tidak mau aku merasa kasihan padanya. Ia baru saja dianggap
normal—bahkan istimewa—selama akhir pekan, atau setidaknya memberi kesan semacam
itu, tapi entah mengapa Jamie membiarkan momen itu berlalu begitu saja. Oh,
orang-orang memang jadi lebih ramah padanya, dan mereka yang selama ini tidak
pernah berbicara padanya juga ikut memuji penampilannya. Namun aku bisa
langsung melihat bahwa semua ini tidak akan berlangsung selamanya. Sikap yang
sudah terbentuk sejak masa kanak-kanak memang sulit diubah, dan sebagian dari
diriku bertanya-tanya apakah situasinya bisa lebih buruk lagi bagi Jamie
setelah ini. Kini setelah semua orang tahu bahwa ia dapat tampil normal, mereka
mungkin akan bersikap lebih kejam lagi.
Ingin rasanya aku menyatakan
pendapatku padanya, sungguh, namun aku berencana untuk melakukannya setelah
minggu itu berakhir. Tidak hanya karena banyak yang masih harus kukerjakan,
tapi aku juga ingin punya sedikit waktu untuk memikirkan cara terbaik untuk
mengatakannya pada Jamie. Sejujurnya, aku masih agak merasa bersalah atas
segala yang pernah kukatakan padanya sewaktu mengantarnya pulang terakhir kali,
dan itu bukan hanya karena pementasan berlangsung sukse. Rasa bersalah ini
muncul lebih dikarenakan oleh kenyataan bahwa selama kami saling mengenal,
Jamie selalu bersikap baik, dan aku tahu bahwa akulah yang bersalah.
Sejujurnya,
kupikir ia tidak ingin berbicara denganku. Aku tahu Jamie bisa melihatku
berkumpul bersama teman-temanku saat istirahat makan siang sementara ia duduk
sendirian, membaca Alkitab, namun tidak pernah sekali pun ia menghampiri kami.
Tetapi saat aku akan meninggalkan sekolah pada hari itu, aku mendengar suaranya
di belakangku, menanyakan apakah aku tidak keberatan menemaninya pulang.
Meskipun aku merasa belum siap untuk menyatakan pendapatku padanya, aku
bersedia menemaninya. Demi masa lalu, kupikir.
Beberapa saat kemudian Jamie
langsung menuju pokok pembicaraannya.
“Kau
ingat apa yang kaukatakan sewaktu terakhir kalikau mengantarku pulang?”
tanyanya.
Aku mengangguk, sambil berharap ia
tidak mengungkit-ungkit itu lagi.
“Kau
berjanji untuk menebusnya,” ujar Jamie.
Untuk sesaat aku bingung. Aku
merasa sudah menebus kesalahanku dengan penampilanku dalam pementasan itu.
Jamie melanjutkan.
“Aku
sudah memikirkan apa yang bisa kaulakukan,” lanjutnya tanpa memberikan
kesempatan padaku untuk memotong, “dan inilah yang terlintas dalam benakku.”
Ia bertanya
apakah aku keberatan membantunya mengumpulkan botol-botol acar dan kaleng kopi
yang sudah ia sebar di berbagai tempat usaha di seluruh pelosok kota sejak awal
tahun. Ia meletakkannya di atas gerai penjualan, biasanya dekat kasir, supaya
orang-orang dapat memasukkan uang receh ke dalamnya. Uangnya nanti disumbangkan
untuk panti asuhan. Jamie tidak pernah mau meminta uang secara langsung untuk
beramal, ia ingin mereka memberikannya secara sukarela. Menurut pendapatnya,
itu adalah hal yang harus dilakukan oleh umat Kristen.
Seingatku aku pernah melihat berbagai wadah itu di tempat-tempat
seperti Cecil’s Diner dan Crown Theater. Aku dan teman-temanku biasa memasukkan
penjepit kertas dan logam-logam kecil ke dalam wadah-wadah itu di saat si kasir
tidak melihat, mengingat suaranya mirip seperti koin yang dijatuhkan ke
dalamnya. Sesudah itu kami akan cekikikan sendiri membayangkan reaksi Jamie.
Kami sering membuat lelucon tentang bagaimana ia akan membuka salah satu
kalengnya, dengan harapan akan menemukan jumlah yang membesarkan hati karena
beratnya kaleng itu. Tapi saat mengeluarkan isi kalengnya ia tidak akan
menemukan apa-apa selain logam dan penjepit kertas. Kadang-kadang, saat kau
teringat berbagai hal yang pernah kaulakukan, hatimu akan menciut, dan itulah
persisnya yang terjadi padaku di saat itu.
Jamie melihat ekspresi di wajahku.
“Kau
tidak perlu melakukannya,” ujarnya, jelas-jelas tampak kecewa. “Aku cuma
berpikir, karena Natal sudah dekat dan aku tidak punya mobil, aku tidak akan
sempat mengumpulkan semua…”
“Tidak,”
ujarku, memotong pembicaraannya. “Aku akan melakukannya. Lagi pula aku tidak
begitu sibuk.”
Jadi itulah yang
kulakukan mulai hari Rabu itu, meskipun aku masih harus belajar untuk
menghadapi ujian dan menyelesaikan formulir pendaftaranku. Jamie telah memberikan
padaku daftar tempat ia meletakkan wadah-wadahnya, dan dengan meminjam mobil
ibuku, aku memulai dari pelosok kota yang paling jauh pada keesokan harinya. Ia
telah menyebar sekitar enam puluh wadah, dan aku memperhitungkan bahwa aku
hanya akan membutuhkan satu hari untuk mengumpulkan semua wadah itu.
Dibandingkan dengan menyebarkannya, mengumpulkannya kembali akan menjadi
pekerjaan mudah. Jamie sudah menghabiskan hampir enam minggu untuk itu karena
pertama-tama ia harus mencari enam puluh botol dan kaleng, dan kemudian ia
hanya dapat menempatkan dua atau tiga buah sehari mengingat bahwa ia tidak
memiliki mobil dan hanya dapat membawa sebanyak itu dalam sekali jalan. Ketika
aku memulai, aku merasa agak lucu karena harus mengumpulkan wadah-wadah itu, mengingat
itu adalah proyek Jamie. Namun aku terus mengingatkan diriku bahwa Jamie-lah
yang telah meminta tolong padaku.
Aku mampir dari
satu tempat ke tempat yang lain, untuk mengumpulkan wadah-wadah itu, dan
menjelang akhir hari yang pertama aku menyadari bahwa aku akan membutuhkan
waktu sedikit lebih lama dari yang aku perkirakan. Aku baru berhasil
mengumpulkan sekitar dua puluh wadah atau lebih, karena aku telah melupakan
satu fakta yang sederhana dari kehidupan di Beaufort. Di kota kecil seperti
ini, sulit rasanya untuk hanya sekadar masuk sebentar dan mengambil sebuah
wadah tanpa berbincang-bincang dulu dengan pemilik tempat atau menyapa
seseorang yang mungkin kaukenal. Memang tidak ada pilihan lain. Karena itulah
aku terpaksa duduk di suatu tempat sementara seseorang akan mengajak bicara
tentang ikan marlin yang berhasil ditangkapnya pada musim gugur lalu,
atau mereka akan menanyakan padaku mengenai sekolahku dan menyinggung bahwa
mereka membutuhkan seseorang untuk memindahkan beberapa dus di belakang, atau
mungkin mereka menginginkan pendapatku apakah sebaiknya mereka menggeser rak
majalan ke sisi lain di toko mereka. Jamie, setahuku, sangat hebat menghadapi
hal semacam ini, dan aku mencoba untuk berlaku seperti yang kupikir akan
dilakukan Jamie. Bagaimanapun ini adalah proyeknya.
Untuk
mempersingkat waktu, aku tidak berhenti untuk memeriksa hasil yang aku peroleh
selama berada dalam perjalanan. Aku cuma menaruh botol demi botol atau kaleng
itu dalam suatu tumpukan. Menjelang akhir hari pertama semua uang receh itu
terkumpul dalam dua buah
botol
besar, yang aku bawa naik ke kamarku. Aku melihat beberapa lembaran uang kertas
melalui kacanya—tidak terlalu banyak—namun aku tidak merasa terlalu berkecil
hati sampai aku menuang isinya ke atas lantai dan melihat bahwa uang receh itu
hanya terdiri dari pecahan satu sen. Meskipun jumlah logam dan penjepit
kertasnya tidak sebanyak yang tadinya kuperkirakan, aku tetap saja kecewa
setelah menghitung jumlah uang itu. Jumlahnya $20,32. Bahkan di tahun 1958 itu
tidak banyak, terutama kalau harus dibagi di antara tiga puluh anak.
Namun aku belum
merasa putus asa. Menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan, aku berangkat
lagi pada hari berikutnya, mengangkut sekitar beberapa puluh dus karton, dan
mengobrol dengan sekitar dua puluh pengusaha lainnya sambil mengumpulkan
wadah-wadah yang ada. Hasilnya: $23,89.
Hari ketiga ternyata lebih
menyedihkan lagi. Setelah menghitung uangnya, bahkan aku tidak dapat
mempercayainya. Ternyata hanya $11,52. Asalnya dari tempat-tempat di sekitar
tepi pantai, tempat para turis dan remaja sering berkumpul. Kami memang
benar-benar luar biasa, pikirku dalam hati.
Melihat betapa
sedikitnya yang terkumpul secara keseluruhan—$55,73—aku merasa tidak enak,
terutama karena wadah-wadah itu sudah ada di sana selama hampir sepanjang tahun
dan aku sendiri sudah melihatnya. Malam itu seharusnya aku menelepon Jamie
untuk memberitahunya jumlah uang yang berhasil kukumpulkan, namun aku merasa
tidak dapat melakukannya. Ia sudah mengatakan padaku betapa inginnya ia berbuat
sesuatu yang istimewa tahun ini, dan ini tidak akan terwujud—bahkan aku mengetahui
itu. Oleh karena itu aku berbohong padanya dengan mengatakan ahwa aku tidak
akan menghitung jumlah uang yang terkumpul sampai kami berdua dapat
melakukannya bersama, karena ini adalah proyeknya, bukan proyekku. Rasanya
begitu mengecilkan hati. Aku berjanji untuk mengantarkan uang itu pada sore
berikutnya, setelah pulang sekolah. Besok tanggal 21 Desember, hari yang
terpendek dalam tahun itu. Hari Natal tinggal empat hari lagi.
“Landon,”
kata Jamie setelah menghitung jumlahnya, “ini benar-benar mukjizat!”
“Berapa
jumlahnya?” tanyaku. Aku tahu persis berapa jumlahnya.
“Hampir
dua ratus lima puluh tujuh dolar!” Nadanya begitu antusias saat menengadahkan
wajahnya ke arahku. Karena Hegbert ada di rumah, aku diperbolehkan berada di
ruang tamu, dan di sanalah Jamie menghitung uangnya. Semuanya tersusun dalam
tumpukan-tumpukan kecil yang rapi di seluruh permukaan lantai, hampir
seluruhnya terdiri atas kepingan dua puluh lima sen dan sepuluh sen. Hegbert
sedang duduk di meja dapur, menyusun khotbahnya, dan bahkan Hegbert ikut
menoleh ketika mendengar suara Jamie.
“Menurutmu
itu cukup?” tanyaku polos.
Air matanya
berlinang di pipinya saat ia melayangkan pandangannya ke seputar ruangan itu,
seakan masih belum mempercayai apa yang ia lihat di hadapannya. Bahkan setelah
pementasan itu, Jamie belum pernah tampak sebahagia ini. Ia menatap aku
lekat-lekat.
“Ini…
benar-benar luar biasa,” ujarnya, sambil tersenyum. Nadanya lebih emosional
daripada biasanya. “Tahun lalu, aku cuma berhasil mengumpulkan tujuh puluh dolar.”
“Aku
senang hasil tahun ini lebih baik,” ujarku dengan tenggorokan yang tercekat.
“Kalau kau tidak menyebar wadah-wadahmu lebih awal tahun ini, kau mungkin tidak
akan mendapatkan sebanyak itu.”
Aku tahu bahwa ucapanku tidak
benar, namun aku tidak peduli. Untuk sekali ini, aku melakukan sesuatu yang
benar.
Aku tidak membantu Jamie memilihkan mainan-mainan itu—kurasa ia lebih
tahu apa yang diinginkan oleh anak-anak itu—namun ia tetap memintaku ikut
bersamanya ke panti asuhan itu pada Malam Natal agar aku juga bisa ada di sana
sewaktu anak-anak itu membuka hadiah-hadiah mereka. “Ayolah, Landon,” bujuknya
ketika itu, dan melihat Jamie begitu antusias, aku merasa tidak tega untuk
mengecewakannya.
Tiga hari kemudian, saat ayah dan
ibuku sedang menghadiri pesta di rumah wali kota, aku mengenakan jas bercorak houndstooth
dan dasiku yang terbaik lalu berjalan menuju mobil ibuku dengan mengepit
hadiah untuk Jamie. Aku telah menghabiskan sisa uangku untuk membelikannya
sweter yang bagus, karena hanya itulah yang terpikir olehku. Jamie memang bukan
tipe yang mudah untuk dibelikan sesuatu.
Aku seharusnya
berada di panti asuhan itu pada pukul 19.00, namun jematan di dekat dermaga
Morehead City sedang diangkat, dan aku harus menunggu sampai kapal pengangkut
barang perlahan-lahan lewat di bawahnya. Akibatnya, aku tiba terlambat beberapa
menit. Pintu depannya sudah dikunci saat itu, dan aku terpaksa menggedornya
sampai Mr. Jenkins akhirnya mendengar gedoranku. Ia mencari-cari kunci yang
tepat di antara rencengannya, dan tak lama setelah itu membuka pintunya. Aku
masuk sambil menepuk-nepuk lenganku untuk mengusir dingin.
“Ah…
kau sudah datang,” tegurnya senang. “Kami sedang menantimu. Ayo, mari kita ke
tempat mereka berkumpul.”
Ia mengajakku melewati lorong
menuju ruang rekreasi, ke tempat yang sama yang pernah kumasuki sebelumnya. Aku
berhenti sebentar untuk menarik napasku dalam-dalam sebelum akhirnya melangkah
masuk.
Suasananya ternyata lebih baik
daripada yang tadinya kubayangkan.
Di tengah-tengah
ruangan itu aku melihat sebuah pohon yang besar, didekorasi dengan kertas
mengilap dan lampu-lampu berwarna serta ratusan ornamen buatan tangan. Di bawah
pohon, tersebar ke seluruh penjuru, tampak hadiah-hadiah yang dibungkus dalam
berbagai ukuran dan bentuk. Tumpukannya tinggi, dan anak-anak itu sedang duduk
di lantai, berdekatan membentuk setengah lingkaran yang besar. Mereka
mengenakan pakaian terbaik mereka—yang laki-laki memakai celana panjang biru
laut dan kemeja putih berkerah, sementara yang perempuan memakai rok biru laut
dan blus putih berlengan panjang. Mereka semua tampak seperti habis didandani
untuk menyambut peristiwa besar ini, dan hampir semua anak laki-laki rambutnya
baru dicukur.
Di atas meja di
dekat pintu, terdapat sebuah wadah berisi minuman dan piring-piring dengan kue
yang dibentuk seperti pohon Natal dan dihiasi dengan gula berwarna hijau. Aku
bisa melihat beberapa orang dewasa yang duduk di antara anak-anak; beberapa
anak yang lebih kecil duduk di atas pangkuan anak-anak yang lebih dewasa, wajah-wajah
mereka penuh dengan antisipasi sementara mereka mendengar lagu Twas the
Night Before Christmas.
Namun aku tidak melihat Jamie,
setidaknya aku tidak langsung melihatnya. Aku mendengar suaranya lebih dulu. Ia
sedang membacakan sebuah cerita, dan akhirnya aku melihatnya. Ia sedang duduk
di lantai di depan pohon Natal dengan kaki terlipat.
Di luar
dugaanku, aku melihat rambutnya dibiarkan tergerai, persis seperti malam
pementasan itu. Dan ia tidak mengenakan sweter cokelat tuanya, melainkan sweter
merah berleher V yang entah bagaimana memberi aksen pada warna matanya yang
biru muda. Bahkan tanpa glitter di rambutnya atau gaunnya yang putih
panjang menjuntai, ia tampak memesona.
Tanpa sadar aku menahan napas, dan dari sudut mataku aku bisa melihat
Mr. Jenkins tersenyum ke arahku. Aku mengembuskan napas dan tersenyum, sambil
berusaha memulihkan kendali diriku.
Jamie hanya berhenti sebentar untuk
mengangkat wajahnya. Ia melihatku berdiri di ambang pintu, kemudian kembali
membaca untuk anak-anak itu. Cerita yang dibacakannya baru selesai beberapa
menit kemudian, setelah itu ia berdiri dan merapikan roknya lalu berjalan
mengitari anak-anak itu untuk menghampiriku. Aku tetap berdiri di tempatku
karena tidak tahu harus melangkah ke mana.
Sementara itu diam-diam Mr. Jenkins
menyelinap pergi.
“Maaf,
kami mulai tanpa menunggumu,” ujar Jamie ketika ia akhirnya tiba di dekatku,
“tapi anak-anak itu sudah tidak sabar lagi.”
“Tak
apa-apa,” sahutku, sambil tersenyum, mengagumi penampilannya.
“Aku
senang sekali kau bisa datang.”
“Aku
juga.”
Jamie tersenyum dan meraih tanganku
untuk membimbingku. “Ayo, ikut,” ajaknya. “Bantu aku membagikan hadiah-hadiah
ini.”
Kami melewatkan
satu jam berikutnya dengan membagikan hadiah-hadiah, dan kami mengawasi
sementara anak-anak itu membuka hadiah mereka satu per satu. Jamie telah
menjelajahi seluruh penjuru kota untuk berbelanja, memilih beberapa hadiah
untuk setiap anak, hadiah-hadiah pribadi yang belum pernah mereka dapatkan
sebelumnya. Namun hadiah-hadiah yang dibeli Jamie bukan satu-satunya yang
diterima anak-anak itu—pihak panti asuhan maupun mereka yang bekerja di sana
juga membelikan sesuatu untuk mereka. Kertas-kertas kado dilemparkan ke sana
kemari dalam suasana yang semakin riang, pekikan-pekikan kegembiraan terdengar
di mana-mana. Bagiku, paling tidak, anak-anak itu telah menerima sesuatu yang
jauh melebihi yang mereka harapkan, dan mereka berkali-kali mengucapkan terima
kasih pada Jamie.
Pada saat
suasana gempita itu akhirnya mereda dan hadiah untuk semua anak sudah dibuka,
suasananya mulai menjadi lebih tenang. Ruangan itu dirapikan oleh Mr. Jenkins
dan seorang wanita yang belum pernah kulihat, dan beberapa anak yang lebih
kecil mulai tertidur di bawah pohon. Beberapa anak yang lebih besar sudah
kembali ke kamar tanpa lupa membawa hadiah mereka, dan mereka telah meredupkan
penerangan saat berjalan ke luar. Lampu-lampu pohon Natal tampak bersinar indah
sementara lagu Silent Night melantun pelan dari sebuah gramofon. Aku
masih duduk di lantai dekat Jamie, yang sedang memangku seorang gadis kecil
yang tertidur. Karena suasana yang riuh tadi, kami belum sempat mengobrol,
bukan berarti kami mempermasalahkan keriuhan itu. Kami berdua memandangi
lampu-lampu pohon Natal, dan aku bertanya-tanya apa yang ada dalam pikiran
Jamie. Sejujurnya, aku tidak tahu, namun tatapannya terkesan begitu lembut.
Kurasa—tidak, aku yakin—Jamie merasa senang melihat hasil malam ini, dan
jauh di lubuk hatiku aku juga merasa senang. Sampai sekarang itu merupakan
Malam Natal terbaik yang pernah kualami.
Aku melirik ke arahnya. Dengan
cahaya lampu yang menyinari wajahnya, ia tampak sama cantiknya dengan setiap
orang yang pernah kulihat.
“Aku
membelikan sesuatu untukmu,” kataku akhirnya. “Membelikan hadiah, maksudku.”
Aku berbicara pelan agar tidak membangunkan gadis kecil yang tidur di
pangkuannya, dan kuharap itu bisa menyembunyikan kecemasan dalam suaraku.
Ia mengalihkan
pandangannya dari pohon itu ke wajahku, sambil tersenyum lembut. “Kau tidak
perlu membelikanku sesuatu.” Ia juga merendahkan suaranya, dan suaranya
terdengar seperti musik di telingaku.
“Aku tahu,” sahutku, “tapi aku mau.” Aku telah
menyisihkan hadiah itu di satu sisi, dan menyerahkan bingkisan yang sudah
dibungkus kertas kado itu padanya.
“Bisakah
kau membukanya untukku? Tanganku sedang sedikitpenuh saat ini.” Ia menatap si
gadis kecil, kemudian menatap kembali ke arahku.
“Kau
tidak perlu membukanya sekarang, kalau kau sedang tidak bisa,” ujarku, sambil
mengangkat bahu, “sebetulnya isinya tidak seberapa.”
“Jangan
begitu,” ujarnya. “Aku hanya ingin membukanya di hadapanmu.”
Untuk
menjernihkan pikiranku, aku menatap hadiah itu, dan mulai membukanya, dengan
menarik selotipnya sedemikian rupa agar tidak menimbulkan banyak suara,
kemudian melepaskan kertas kadonya dan sampai pada dusnya. Setelah menyisihkan
kertas pembungkusnya, aku mengangkat tutup dus itu dan mengeluarkan sweternya,
yang aku angkat untuk diperlihatkan kepadanya. Warnanya cokelat, seperti yang
biasa dipakainya. Namun kupikir Jamie membutuhkan sweter baru.
Dibandingkan dengan kegembiraan
yang baru kusaksikan sebelumnya, aku tidak mengharapkan reaksi berlebihan.
“Lihat,
cuma ini. Aku sudah bilang tadi isinya tidak seberapa,” ujarku. Aku berharap ia
tidak kecewa menerimanya.
“Bagus
sekali, Landon,” ujarnya tulus. “Aku akan memakainya saat bertemu denganmu
lagi. Terima kasih.”
Kami duduk diam selama beberapa
saat, dan aku kembali memandangi lampu-lampu di pohon Natal.
“Aku
juga membawa sesuatu untukmu,” bisik Jamie akhirnya. Ia melayangkan pandangan
ke arah pohon, dan aku mengikuti pandangannya. Hadiahnya masih tergeletak di
bawah pohon, agak tersembunyi di balik batang pohon itu, dan aku meraihnya.
Bentuknya persegi, lentur, dan agak berat. Aku meletakkannya di atas pangkuanku
dan membiarkannya di sana tanpa berusaha untuk membukanya.
“Bukalah,”
ujarnya, sambil menatapku.
“Kau
tidak bisa memberikan ini kepadaku,” ujarku dengan napas terkecat. Aku sudah
tahu apa isinya, dan aku tidak mempercayai apa yang telah dilakukan Jamie.
Tanganku mulai bergetar.
“Please,”
ujarnya padaku dalam suara yang teramat lembut, “bukalah. Aku ingin kau
memilikinya.”
Dengan ragu aku membuka bungkusnya
perlahan-lahan. Ketika kertas kadonya akhirnya lepas, aku memegang hadiah itu
dengan hati-hati, takut merusaknya. Aku menatapnya, dengan penuh emosi, dan
perlahan-lahan tanganku mengusap bagian atasnya, menelusuri sampul kulitnya
yang sudah mulai usang sementara air mataku mulai mengambang. Jamie mengulurkan
tangannya dan meletakkannya di atas tanganku. Rasanya hangat dan lembut.
Aku melirik ke arahnya, tak tahu
harus berkata apa.
Jamie telah memberikan Alkitab-nya
kepadaku.
“Terima
kasih atas apa yang telah kaulakukan,” bisiknya padaku. “Ini merupakan Natal
terbaik yang pernah kualami.”
Aku berpaling
tanpa menjawab dan mengulurkan tanganku ke arah aku meletakkan gelasku
sebelumnya. Lagu Silent Night masih terdengar, musiknya memenuhi seluruh
ruangan. Aku meneguk minumanku, sambil mencoba meredakan rasa kering yang
tiba-tiba terasa di tenggorokanku. Ketika aku minum, saat-saat yang kuhabiskan
bersama Jamie kembali melintas dalam benakku. Aku teringat pesta dansa homecoming
itu dan apa yang telah ia lakukan untukku pada malam itu. Aku teringat
pertunjukan itu dan betapa cantik penampilannya ketika itu. Aku teringat
saat-saat aku mengantarnya pulang dan bagaimana aku membantunya mengumpulkan
botol dan kaleng-kaleng yang diisi kepingan uang receh untuk panti asuhan itu.
Saat semua
bayangan ini melintas dalam benakku, aku tiba-tiba terenyak. Aku menatap Jamie,
kemudian ke arah langit-langit dan seisi ruangan itu, sambil mencoba menguasai
emosiku sebaik mungkin, dan setelah itu aku kembali menatap Jamie. Ia sedang
tersenyum padaku dan aku membalas senyumnya. Pada saat itu aku cuma bisa
bertanya-tanya dalam hati bagaimana aku bisa sampai jatuh cinta pada seorang
gadis seperti Jamie Sullivan.
BAB 10
AKU mengantar
Jamie pulang dari panti asuhan malam itu. Mulanya aku tidak yakin apakah aku
akan melakukan kebiasaan lama dengan pura-pura menguap dan meletakkan tanganku
di pundaknya, tapi sejujurnya, aku tidak tahu bagaimana perasaan Jamie
terhadapku. Memang, ia telah memberikan hadiah paling istimewa yang pernah
kuterima. Meskipun aku mungkin tidak pernah akan membukanya dan membacanya
seperti yang dilakukan Jamie, aku tahu pemberian Alkitab itu baginya sama
seperti memberikan sebagian dari dirinya sendiri. Namun Jamie memang termasuk
orang yang akan mendonorkan sebuah ginjalnya pada orang asing yang ditemuinya
di jalanan, kalau orang itu memang betul-betul membutuhkannya. Jadi aku tidak
yakin akan arti hadiah yang diberikannya ini.
Jamie pernah mengatakan padaku
bahwa ia bukanlah orang tolol, dan kurasa akhirnya aku mengakui bahwa Jamie
memang tidak tolol. Ia mungkin saja… ehm, berbeda… tapi rupanya ia tahu apa
yang telah kulakukan untuk anak-anak panti asuhan itu, dan kalau direnungkan
kembali, kurasa ia sudah mengetahuinya bahkan di saat kami sedang duduk di
lantai ruang tamunya. Ketika ia menyebutnya sebagai mukjizat, kurasa yang
dimakusd Jamie adalah aku.
Seingatku,
Hegbert masuk ke dalam ruangan saat Jamie dan aku sedang membicarakannya, naun
ia tidak banyak bicara ketika itu. Hegbert tua memang tidak seperti biasanya
belakangan ini, setidaknya sepanjang pengetahuanku. Oh, khotbah-khotbahnya
masih tetap tentang uang, dan ia masih menyinggung tentang para pezina, tapi
akhir-akhir ini khotbahnya lebih pendek daripada biasanya, dan kadang-kadang ia
akan berhenti di tengah khotbahnya dan akan memandang dengan tatapan aneh,
seakan tiba-tiba teringat pada sesuatu, sesuatu yang menyedihkan.
Aku tidak tahu
apa artinya, karena aku tidak mengenalnya dengan cukup baik. Saat Jamie
membicarakan ayahnya, sepertinya ia sedang mendeskripsikan seseorang yang sama
sekali tidak kukenal. Aku tidak bisa membayangkan Hegbert yang memiliki rasa
humor sebagaimana aku tidak bisa membayangkan ada dua buah bulan di langit.
Bagaimanapun, ia memasuki ruangan
sementara kami sedang menghitung uang, dan Jamie berdiri dengan air mata
tergenang. Hegbert bahkan seakan tidak menyadari kehadiranku di sana. Ia
mengatakan pada putrinya bahwa ia bangga padanya dan menyayanginya, tapi kemudian
ia kembali ke dapur untuk menyelesaikan khotbahnya. Ia bahkan tidak menyapaku
sama sekali. Oke, aku tahu bahwa aku bukan anak muda yang paling religius dalam
jemaatnya, namun aku tetap menganggap sikapnya agak aneh.
Saat sedang
memikirkan Hegbert, aku melirik ke arah Jamie yang sedang duduk di sebelahku.
Ia sedang menatap ke luar jendela dengan wajah damai, tersenyum simpul, tapi
pada saat yang sama tatapannya seakan menerawang. Aku tersenyum. Mungkin ia
sedang memikirkan diriku. Tanganku mulai terulur ke arah tempat duduknya, namun
sebelum aku berhasil meraih tangannya, Jamie memecah keheningan di antara kami.
“Landon,”
katanya sambil berpaling ke arahku, “apakah kau pernah memikirkan Tuhan?”
Aku menarik tanganku.
Saat aku sedang memikirkan Tuhan,
aku biasanya membayangkan-Nya seperti dalam lukisan-lukisan tua yang biasa aku
lihat di gereja-gereja—sosok yang tinggi besar menjulang di atas suatu
pemandangan alam, dalam jubah putih dan rambut panjang tergerai, jarinya
menunjuk atau semacam itu—namun aku tahu bahwa bukan itu yang dimaksud Jamie.
Ia sedang berbicara tentang rencana Tuhan. Aku membutuhkan beberapa waktu untuk
menjawab.
“Tentu,”
sahutku. “Kadang-kadang, kurasa.”
“Apakah
kau pernah mempertanyakan mengapa ada beberapa hal harus terjadi sebagaimana
adanya?”
Aku mengangguk, meskipun tidak
begitu yakin.
“Aku
sering memikirkan hal itu belakangan ini.”
Lebih sering daripada biasanya? Aku
ingin bertanya, namun aku tidak mengatakan apa-apa. Aku tahu masih banyak yang
ingin disampaikan Jamie, karena itu aku tetap diam.
“Aku
tahu Tuhan memiliki rencana untuk kita semua, tapi kadang-kadang aku tidak
mengerti apa pesan di balik itu. Apakah kau pernah mengalaminya?”
Ia mengatakannya seakan hal itu
selalu kupikirkan sepanjang waktu.
“Well,”
ujarku, sambil berusaha untuk mengarang menjawab, “kurasa kita memang tidak
harus mengerti sepanjang waktu. Kurasa kadang-kadang kita hanya perlu percaya
saja pada-Nya.”
Kuakui itu jawaban yang lumayan
bagus. Kurasa perasaanku terhadap Jamie membuat otakku bisa bekerja lebih cepat
daripada biasanya. Aku bisa melihat bahwa ia sedang memikirkan jawabanku.
“Ya,”
kata Jamie akhirnya, “kau benar.”
Aku tersenyum dalam hati dan
mengubah topik pembicaraan, karena berbicara tentang Tuhan bukanlah jenis
percakapan yang dapat membangkitkan suasana romantis.
“Kau
tahu,” ujarku ringan, “rasanya menyenangkan tadi ketika kita duduk di bawah
pohon.”
“Ya,
memang,” ujarnya. Pikiran Jamie masih berada entah di mana.
“Dan
kau juga kelihatan cantik.”
“Terima
kasih.”
Ini tidak selancar yang kuharapkan.
“Boleh
aku tanya sesuatu?” tanyaku akhirnya, dengan harapan perhatiannya akan teralih
padaku kembali.
“Tentu,”
sahutnya.
Aku menarik napas dalam-dalam.
“Setelah
pulang gereja besok, dan, ehm… setelah kau menghabiskan waktu bersama ayahmu…
maksudku…” Aku terdiam sejenak dan menoleh ke arahnya. “Maukah kau datang ke
rumahku untuk makan malam Natal?”
Meskipun wajahnya masih mengarah ke
jendela, aku bisa melihat samar-samar bayangan sebuah senyum.
“Ya,
Landon, dengan senang hati.”
Aku menarik napas lega, sementara
aku masih belum dapat mempercayai bahwa aku telah sungguh-sungguh mengajaknya.
Aku bertanya-tanya bagaimana semua ini sampai bisa terjadi. Aku melewati jalan
yang jendela-jendelanya tampak dihiasi lampu-lampu Natal, lalu melintasi
Beaufort City Square. Beberapa menit kemudian, ketika aku mengulurkan tanganku
ke arah kursinya, aku akhirnya berhasil menggenggam tangannya, dan Jamie tidak
menarik tangannya menjauh. Itulah akhir malam yang sempurna.
* * *
Ketika kami tiba
di depan rumahnya, lampu-lampu di ruang tamunya masih menyala dan aku bisa
melihat Hegbert di balik gorden. Kurasa Hegbert sengaja menunggu karena ia
ingin mendengar cerita tentang acara di panti asuhan itu. Entah itu, atau ia
ingin memastikan bahwa aku tidak mencium putrinya di jalan masuk rumahnya. Aku
tahu Hegbert akan mengangkat alisnya jika aku melakukan hal-hal semacam itu.
Aku sedang
memikirkan—mengenai apa yang akan kulakukan di saat kami akhirnya harus
berpisah, maksudku—saat kami keluar dari mobil dan mulai melangkah ke arah
pintu. Jamie tampak senang dan puas pada waktu yang bersamaan, dan kurasa ia
gembira aku mengundangnya untuk datang ke rumahku besok. Karena Jamie cukup
cerdas untuk menarik kesimpulan mengenai apa yang telah kulakukan untuk
anak-anak panti asuhan itu, kurasa ia juga cukup peka untuk memahami situasi
ini. Kurasa ia bahkan menyadari bahwa baru pertama kali inilah aku mengajaknya
menghabiskan waktu bersamaku atas kemauanku sendiri.
Saat kami
menapakkan kaki di undakan depan rumahnya, aku melihat Hegbert mengintip ke
luar dari balik gorden kemudian menarik dirinya kembali. Sebagian orangtua, seperti
orangtua Angela misalnya, itu berarti bahwa mereka tahu kau sudah sampai di
rumah dan kau masih memiliki beberapa menit lagi sebelum mereka membukakan
pintu. Biasanya itu memberi waktu untuk bertatapan sambil mengumpulkan
keberanian untuk berciuman. Biasanya waktu yang dibutuhkan memang selama itu.
Sejauh ini aku tidak tahu apakah
Jamie mau menciumku, sesungguhnya aku tidak yakin ia mau. Tapi dengan
penampilannya yang begitu cantik, dengan rambut tergerai dan semua yang terjadi
malam itu, aku tidak ingin menyia-nyiakan peluang itu kalau memang ada. Aku
dapat merasakan ketegangan di dalam perutku saat Hegbert membuka pintu.
“Aku
mendengar suara kalian,” ujarnya perlahan. Kulitnya tampak pucat seperti
biasanya, dan ia kelihatan lelah.
“Halo,
Pendeta Sullivan,” sapaku dalam nada kecewa.
“Hai,
Daddy,” sapa Jamie dengan riang beberapa saat kemudian. “Seandainya Daddy ikut
tadi. Suasanya betul-betul luar biasa.”
“Aku
ikut gembira.” Hegbert seakan mengumpulkan keberanian kemudian berdeham. “Aku
akan beri kalian kesempatan untuk saling mengucapkan selamat malam. Aku akan
membiarkan pintunya terbuka.”
Hegbert memutar tubuhnya dan
kembali masuk ke ruang duduk. Dari tempatnya duduk, aku tahu bahwa ia masih
dapat mengawasi kami. Ia berpura-pura membaca, meskipun aku tidak bisa melihat
apa yang ada di tangannya.
“Aku
senang sekali malam ini, Landon,” ujar Jamie.
“Aku
juga,” sahutku, sementara merasakan tatapan Hegbert yang ditujukan ke arahku.
Aku bertanya-tanya apakah Hegbert tahu bahwa aku telah menggenggam tangan
putrinya dalam perjalanan pulang.
“Pukul
berapa sebaiknya aku datang besok?” tanya Jamie.
Alis Hegbert tampak terangkat
sedikit.
“Aku
akan menjemputmu. Bagaimana kalau pukul lima?”
Ia menoleh ke belakang. “Daddy,
apakah aku boleh mengunjungi rumah orangtua Landon besok?”
Hegbert mengangkat tangannya lalu
menggosok matanya. Ia mendesah.
“Kalau
itu kauanggap penting, boleh saja,” sahutnya.
Bukan
jawaban yang terlalu meyakinkan, tapi cukup baik bagiku.
“Apa
yang harus kubawa?” tanyanya. Sudah merupakan tradisi di daerah Setalan untuk
menanyakan pertanyaan itu.
“Kau
tidak usah bawa apa-apa,” sahutku. “Aku akan menjemputmu pukul lima kurang
seperempat.”
Kami masih berdiri di sana selama
beberpaa saat tanpa mengatakan apa-apa, dan aku bisa melihat Hegbert mulai agak
kehilangan kesabarannya. Ia belum membalik selembar pun halaman bukunya sejak
kami berdiri di sana.
“Sampai
ketemu besok,” ujar Jamie akhirnya.
“Oke,”
sahutku.
Ia menundukkan kepalanya untuk
sesaat, kemudian menatapku lagi. “Terima kasih telah mengantarku pulang,”
katanya.
Setelah itu, ia berbalik dan
melangkah masuk. Sekilas aku melihat seulas senyum membayang lembut di bibirnya
saat ia mengintip dari balik pintu, persis sebelum ia menutupnya.
Keesokan harinya
aku menjemput Jamie tepat pada waktunya dan senang melihat rambutnya kembali
tergerai. Ia mengenakan sweter yang kuberikan padanya, tepat sesuai janjinya.
Ibu maupun ayahku agak tercengang
ketika aku menanyakan pada mereka apakah mereka tidak keberatan kalau aku
mengundang Jamie untuk makan malam. Sebetulnya itu bukan masalah—setiap kali
ayahku pulang, ibuku akan menyuruh Helen, koki kami, memasak cukup banyak untuk
sebuah pasukan kecil.
Kurasa aku belum
menyebutkannya sebelum ini, mengenai si koki, maksudku. Rumah kami memiliki
seorang pelayan dan seorang koki, bukan hanya karena keluargaku mampu, tapi
juga karena ibuku bukan ibu rumah tangga paling hebat di muka bumi ini. Ia
memang bisa membuat sandwich sekali-kali untuk makan siangku. Tapi ada
saat-saat ketika mustard bisa menodai kuku-kukunya, dan untuk
melupakannya ia akan membutuhkan sedikitnya tiga sampai empat hari. Tanpa
Helen, aku mungkin dibesarkan hanya dengan memakan kentang lembut hangus dan
steik garing. Untungnya, ayahku sudah menyadari itu begitu mereka menikah,
sehingga si koki maupun pelayan kami sudah bekerja di tempat kami sejak sebelum
aku lahir.
Meskipun rumah
kami lebih besar daripada rumah kebanyakan orang, itu bukan istana atau
semacamnya, dan koki maupun pelayan kami tidak tinggal bersama kami karena kami
tidak memiliki fasilitas tinggal yang terpisah atau semacam itu. Ayahku telah
membeli rumah itu karena historisnya. Meskipun rumah kami bukan yang pernah
ditinggali Blackbeard, yang tentunya akan menjadikannya lebih menarik lagi bagi
orang seperti aku. Pemilik sebelumnya adalah Richard Dobbs Spaight, yang pernah
ikut menandatangani Konstitusi. Spaight juga pernah memiliki rumah pertanian di
daerah pinggiran New Bern, yang terletak sekitar empat puluh mil dari jalan
besar, dan di sanalah ia dimakamkan. Rumah kami memang tidak setenar rumah
tempat Dobbs Spaight dimakamkan, meskipun masih memberikan hak pada ayahku
untuk membual di sepanjang lorong gedung Kongres. Setiap kali ayahku mengitari
kebun, aku bisa melihatnya berangan-angan mengenai warisan yang ingin
ditinggalkannya. Entah mengapa itu membuatku sedih, karena apa pun yang akan ia
lakukan, ia takkan pernah bisa mengungguli Richard Dobbs Spaight. Suatu
peristiwa bersejarah seperti menandatangani Konstitusi hanya akan terjadi
sekali selama beberapa ratus tahun, dan entah apa pun yang kaulakukan, seperti
memperjuangkan subsidi para petani tembakau atau menyatakan pendapatmu mengenai
“pengaruh
Merah” tidak akan bisa menandinginya. Bahkan orang seperti aku tahu mengenai
hal itu.
Rumah kami
pernah tercatat dalam National Historic Register—dan kurasa masih sampai
sekarang. Meskipun Jamie sudah pernah ke rumahku sebelumnya, ia tetap masih
terkesan saat melangkah masuk ke rumahku. Ibu dan ayahku mengenakan pakaian
yang bagus, begitu juga aku, dan ibuku mencium pipi Jamie untuk menyambutnya.
Saat ibuku menciumnya, aku tidak dapat menahan diri untuk tidak berpikir bahwa
ibuku lebih berhasil daripada aku.
Kami menikmati
makan malam yang menyenangkan, cukup resmi dengan empat menu utama meskipun
tidak terlalu mengenyangkan. Orangtuaku dan Jamie mengobrol dengan
akrab—meskipun aku mencoba nimbrung dengan lelucon-leluconku, sasarannya terasa
kurang mengena, setidaknya orangtuaku tidak mengerti. Tetapi, Jamie tertawa,
dan akui menganggapnya sebagai pertanda baik.
Setelah makan malam aku mengajak
Jamie berjalan-jalan di kebun, meskipun saat itu musim dingin dan bunga-bunga
tidak ada yang mekar. Setelah mengenakan jaket, kami melangkah ke luar menembus
udara dingin. Aku bisa melihat asap yang keluar mengiringi embusan napas kami.
“Orangtuamu
benar-benar pasangan yang luar biasa,” katanya kepadaku. Kurasa selama ini ia
tidak memasukkan khotbah-khotbah Hegbert di dalam hatinya.
“Mereka
memang baik,” sahutku, “dengan cara mereka masing-masing. Ibuku sangat manis.”
Aku mengatakan ini bukan hanya karena kenyataannya memang begitu, tapi juga
karena hal yang sama biasanya diucapkan anak-anak tentang Jamie. Aku berharap
Jamie menangkap maksudku.
Ia berhenti melangkah untuk
memperhatikan semak-semak tanaman mawar. Bunga-bunga itu tampak gersang, dan
aku tidak mengerti apa yang membuatnya merasa tertarik.
“Apakah
benar yang mereka katakan tentang kakekmu?” tanya Jamie. “Apa yang diceritakan
orang-orang tentang dirinya?”
Rupanya ia tidak menangkap
isyaratku saat itu.
“Ya,”
sahutku, sambil mencoba untuk tidak memperlihatkan rasa kecewaku.
“Itu
menyedihkan,” ujarnya dalam nada ringan. “Makna hidup ini kan lebih daripada
sekadar uang.”
“Aku
tahu.”
Ia menatapku. “Sungguh?”
Aku tidak membalas tatapannya saat
menyahut. Jangan tanyakan padaku mengapa.
“Aku
tahu apa yang dilakukan oleh kakekku itu salah.”
“Tapi
kau berniat untuk mengembalikannya, bukan?”
“Sejujurnya,
aku belum pernah sungguh-sungguh memikirkan soal itu.”
“Tapi
apakah kau akan melakukannya?”
Aku tidak langsung menjawab, dan
Jamie mengalihkan perhatiannya dariku. Ia mulai memandangi tanaman mawar dengan
tangkai-tangkainya yang gersang lagi, tiba-tiba aku sadar bahwa ia ingin aku mengatakan
ya. Itu merupakan sesuatu yang akan ia lakukan tanpa berpikir dua kali.
“Kenapa
kau selalu melakukan itu?” celetukku sebelum sempat menahan diri. Aku merasa
darahku naik ke pipiku. “Membuatku merasa bersalah, maksudku. Kan bukan aku
yang melakukannya. Kebetulan saja aku lahir di dalam keluarga ini.”
Jamie mengulurkan tangannya untuk menyentuh setangkai mawar. “Tapi itu
bukan berarti kau tidak dapat memperbaikinya,” ujarnya dengan lembut, “saat kau
mendapatkan kesempatan untuk itu.”
Aku memahami benar maksud Jamie,
dan jauh di dalam lubuk hatiku aku tahu bahwa ia benar. Namun keputusan itu,
kalaupun harus diambil, masih jauh sekali. Menurut pendapatku, masih banyak hal
penting lain yang harus kuselesaikan. Aku mengubah topik percakapan kami ke
sesuatu yang terasa lebih mudah bagiku.
“Apakah
ayahmu menyukaiku?” tanyaku. Aku ingin tahu apakah Hegbert akan mengizinkanku
menemui Jamie lagi.
Jamie membutuhkan beberapa waktu
sebelum menjawab.
“Ayahku,”
ujarnya pelan, “mengkhawatirkanku.”
“Bukankah
semua orangtua begitu?” tanyaku.
Ia menundukkan kepalanya, kemudian
melihat ke arah lain sebelum menatapku kembali.
“Kurasa
ayahku berbeda dengan orangtua lain. Tapi ia menyukaimu, dan ia tahu aku senang
bertemu denganmu. Karena itulah ia mengizinkanku datang ke rumahmu untuk makan
malam ini.”
“Aku
senang ia mengizinkanmu,” ujarku tulus.
“Aku
juga.”
Kami bertatapan di bawah penerangan
cahaya bulan, dan aku hampir saja menciumnya di situ, namun ia keburu menoleh
dan mengatakan sesuatu yang sempat membuatku bingung.
“Ayahku
juga mengkhawatirkanmu, Landon.”
Caranya mengatakan itu—lembut dan
sedih pada waktu yang bersamaan—membuatku tahu bahwa alasannya bukan hanya
sekadar karena ia menganggap diriku kurang bertanggung jawab, atau karena aku
sering bersembunyi di balik pohon dan mengejeknya, atau bahkan karena aku
merupakan bagian dari keluarga Carter.
“Kenapa?”
tanyaku.
“Untuk
alasan yang sama seperti aku mengkhawatirkanmu,” sahutnya. Ia tidak menguraikan
lebih lanjut, dan aku tahu saat itu bahwa ia menyembunyikan sesuatu, sesuatu
yang tidak bisa ia ungkapkan kepadaku, sesuatu yang juga membuatnya sedih.
Namun baru kemudian aku tahu rahasianya itu.
Jatuh cinta pada
gadis seperti Jamie Sullivan jelas merupakan hal paling aneh yang pernah kualami.
Bukan hanya ia gadis yang tidak pernah terlintas dalam pikiranku sebelum tahun
ini—meksipun kami dibesarkan bersama—tapi ada sesuatu yang berbeda di dalam
seluruh caraku merasakan sesuatu untuknya. Sama sekali berbeda dengan
perasaanku terhadap Angela, yang langsung kucium saat kami hanya berduaan. Aku
belum pernah mencium Jamie. Aku bahkan belum pernah memeluknya atau mengajaknya
ke Cecil’s Diner atau bahkan mengajaknya nonton film. Aku belum melakukan
sesuatu yang biasanya kulakukan dengan cewek-cewek lain, namun demikian aku
telah jatuh cinta padanya.
Masalahnya adalah, aku masih belum
tahu bagaimana perasaannya terhadapku.
Oh ya,
tanda-tandanya memang ada, yang sebetulnya sama sekali tidak luput dari
perhatianku. Alkitab itu, tentu saja, yang tampak jelas, tapi selain itu aku
ingat caranya menatapku saat menutup pintu rumahnya di Malam Natal. Ia juga
telah membiarkanku menggenggam tangannya dalam perjalanan pulang dari panti
asuhan. Menurutku jelas ada sesuatu—hanya aku masih belum yakin bagaimana cara
mengambil langkah selanjutnya.
Ketika aku akhirnya mengantar Jamie pulang setelah acara makan malam
Natal itu, aku menanyakan padanya apakah aku boleh datang ke rumahnya
kapan-kapan, dan ia mengatakan itu akan menyenangkan. Begitulah persisnya yang
ia katakan—“Itu akan menyenangkan”. Aku tidak memedulikan sikap kurang
antusiasnya—Jamie memang memiliki kecenderungan untuk berbicara seperti orang
dewasa, dan kupikir karena itulah ia dapat bergaul dengan mereka yang lebih tua
dengan begitu akrab.
Hari berikutnya aku berjalan ke
rumahnya, dan hal pertama yang kuperhatikan adalah mobil Hegbert sedang tidak
ada di jalan masuk. Ketika ia membuka pintu, aku cukup tahu diri untuk tidak
menanyakan kepadanya apakah aku boleh masuk.
“Halo,
Landon,” sapanya seperti biasa, seakan ia terkejut melihatku. Rambutnya kembali
tergerai, dan aku menganggapnya sebagai pertanda baik.
“Hai,
Jamie,” ujarku ringan.
Ia menunjuk ke arah kursi-kursi di
depannya. “Ayahku tidak di rumah, tapi kita bisa duduk-duduk di teras kalau kau
mau…”
Jangan tanyakan
padaku bagaiman kejadiannya, karena aku juga masih belum dapat menjelaskannya.
Sesaat aku berdiri di sana di hadapannya, bersiap-siap untuk berjan ke teras,
namun ternyata aku tidak melakukannya. Bukannya melangkah ke arah kursi-kursi
yang ditunjuknya, aku malah melangkah mendekati Jamie dan meraih tangannya. Aku
menggenggam tangannya dan menatap matanya lekat-lekat, sambil bergerak semakin
dekat. Ia tidak melangkah mundur, namun matanya melebar sedikit, dan untuk
sekejap aku sempat mengira bahwa aku telah melakukan kesalahan dan nyaris tidak
meneruskannya. Aku berhenti sebentar dan tersenyum, sambil memiringkan kepalaku,
dan hal berikut yang kulihat adalah Jamie memejamkan matanya dan juga sedang
memiringkan kepalanya. Wajah kami semakin berdekatan.
Kejadiannya
tidak sepelan itu, dan yang jelas tidak seperti ciuman yang kaulihat di dalam
film-film zaman sekarang. Namun dalam caranya sendiri, ciuman kami amat
istimewa. Satu hal yang terlintas dalam benakku saat bibir kami bertemu adalah
aku yakin kenangan itu akan abadi selamanya.
BAB 11
“KAULAH cowok
pertama yang pernah kucium,” kata Jamie kepadaku.
Saat itu beberapa hari sebelum
tahun baru, aku dan Jamie sedang berdiri di Dermaga Iron Steamer, Pantai Pine
Knoll. Untuk sampai di sana, kami harus menyeberangi jembatan yang membentang
melintasi Terusan Antarpantai dan melewati jalan kecil di pulau itu. Sekarang
tempat itu menjadi hunian tepi laut yang paling mahal di seluruh negeri, tapi
di masa itu yang ada di sana hanyalah gundukan-gundukan pasir yang berlatar
Hutan Maritim Nasional.
“Sudah
kusangka begitu,” sahutku.
“Kenapa?”
tanyanya polos. “Apakah aku berbuat salah?” Kelihatannya ia tidak akan terlalu
tersinggung kalau aku mengiyakannya, namun kenyataannya tidak begitu.
“Kau
pandai berciuman,” kataku sambil meremas tangannya.
Ia mengangguk dan mengalihkan
pandangannya ke arah laut, matanya mulai memandang ke kejauhan lagi.
Pandangannya sering menerawang belakangan ini. Aku membiarkannya selama
beberapa saat sampai keheningan itu mulai terasa agak mencekam.
“Kau
tidak apa-apa kan, Jamie?” tanyaku akhirnya.
Bukannya menjawab, ia malah
mengalihkan pembicaraan.
“Apakah
kau pernah jatuh cinta sebelumnya?” tanyanya kepadaku.
Aku menyisir rambutku dengan tangan
kemudian menatapnya. “Maksudmu sebelum ini?”
Aku mengatakannya mengikuti cara
yang digunakan oleh James Dean, seperti yang diajarkan Eric kepadaku kalau sampai
ada seorang gadis mengajukan pertanyaan itu. Eric memang licik dalam menghadapi
perempuan.
“Aku
serius, Landon,” kata Jamie, sambil melirik ke arahku.
Kurasa Jamie juga pernah melihat
film-film seperti itu. Aku kemudian menyadari bahwa bersama Jamie aku selalu
merasa terombang-ambing. Aku tidak begitu yakin apakah aku menyukai bagian itu
dari hubungan kami, meskipun sejujurnya, hal itu membuatku selalu waspada. Aku
masih merasa rikuh menanggapi pertanyaannya.
“Sebetulnya
pernah,” sahutku akhirnya.
Matanya masih tertuju ke arah laut.
Aku merasa ia mengira yang kumaksud adalah Angela, tapi setelah aku sempat
merenungkannya kembali, aku menyadari bahwa apa yang kurasakan pada Angela
benar-benar berbeda dengan yang kurasakan padanya saat itu.
“Dari
mana kau tahu apa yang kaurasakan adalah cinta?” tanyanya padaku.
Aku mengawasi angin menerpa
rambutnya dengan lembut, dan aku tahu bukan saatnya lagi bagiku untuk
berpura-pura menjadi orang lain.
“Oke,”
sahutku serius, “kau tahu itu adalah cinta ketika yang kauinginkan hanyalah
melewatkan waktumu bersama orang itu, dan entah bagaimana caranya kau tahu
bahwa orang itu juga merasakan hal yang sama.”
Jamie tampak memikirkan jawabanku
sebelum tersenyum samar.
“Oh, begitu,” ujarnya pelan. Aku menunggu Jamie
menambahkan sesuatu, namun ia tidak melakukannya, dan tiba-tiba aku mulai
menyadari suatu kenyataan lain.
Jamie memang
tidak punya banyak pengalaman dengan cowok, tapi terus terang, ia sedang
mempermainkanku seperti sebuah harpa.
Selama dua hari berikutnya, ia
menyanggul rambutnya ke atas lagi.
Pada Malam Tahun
Baru aku mengajak Jamie makan malam di luar. Baru pertama kali inilah ia
sungguh-sungguh pergi berkencan, dan kami pergi ke restoran kecil di tepi pantai
di Morehead City, sebuah restoran bernama Flauvin’s. Flauvin’s adalah restoran
yang mejanya dilapisi taplak, berpenerangan lilin, dan lima macam perangkat
sendok garpu dari perak untuk setiap orang. Para pelayannya mengenakan pakaian
berwarna hitam dan putih, mirip butler, dan kau bisa menyaksikan sinar
bulan memantul di atas air yang bergerak perlahan jika kau menatap ke luar
melalui jendela-jendela besar yang menutupi dinding.
Di sana juga ada pemain piano dan
penyanyi, meskipun tidak setiap malam atau bahkan setiap akhir minggu, tapi
mereka ada pada hari-hari libur di saat mereka memperhitungkan bahwa tempat
akan penuh.
Aku harus
memesan tempat lebih dulu, dan mereka mengatakan tempat sudah penuh ketika
pertama kali aku menelepon. Setelah itu aku meminta ibuku menghubungi mereka,
dan setelah itu kau tentu tahu apa yang terjadi. Kurasa pemilik restoran
membutuhkan sesuatu dari ayahku atau semacamnya, atau mungkin ia cuma tidak
ingin membuatnya marah, mengingat kakekku masih hidup saat itu.
Sebetulnya ide untuk mengajak Jamie
pergi ke suatu tempat yang istimewa datangnya dari ibuku. Beberapa hari
sebelumnya, di salah satu hari Jamie menyanggul rambutnya ke atas, aku
menceritakan kepada ibuku apa yang telah terjadi selama itu.
“Aku
terus memikirkan Jamie, Mom,” kataku. “Maksudku, aku tahu ia menyukaiku, tapi
aku tidak tahu apakah ia juga merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan.”
“Apakah
Jamie begitu berarti bagimu?” tanyanya.
“Ya,”
sahutku pelan.
“Oke,
apa yang telah kauupayakan sejauh ini?”
“Apa
maksud Mom?”
Ibuku tersenyum. “Maksudku adalah,
gadis-gadis muda termasuk Jamie senang dibuat merasa istimewa.”
Aku mempertimbangkan ucapan ibuku
selama beberapa saat, agak bingung. Bukankah itu yang sudah kulakukan selama
ini?
“Aku
sudah pergi ke rumahnya setiap hari,” ujarku.
Ibuku meletakkan tangannya di atas
lututku. Meskipun ia bukan ibu rumah tangga yang paling hebat dan kadang-kadang
memojokkanku, seperti yang sudah pernah kuungkapkan sebelumnya, ia tetap
seorang ibu yang manis.
“Pergi ke
rumahnya memang hal yang baik untuk dilakukan, tapi bukan yang paling romantis.
Kau seharusnya melakukan sesuatu yang benar-benar mengungkapkan bagaimana
perasaanmu terhadapnya.”
Ibuku mengusulkan kepadaku untuk
membelikannya parfum. Meskipun aku tahu Jamie mungkin akan senang menerimanya,
aku tetap merasa hadiah semacam itu kurang tepat. Salah satu alasannya adalah,
Hegbert tidak mengizinkannya memakai makeup—kecuali saat ia tampil dalam
pementasan drama Natal itu—aku yakin Jamie juga tidak boleh memakai parfum. Aku
memberitahu ibuku, dan pada saat itulah ia mengusulkan padaku untuk mengajaknya
pergi makan malam di luar.
“Aku
tidak punya uang lagi,” kataku padanya dengan sedih. Meskipun keluargaku
termasuk berada dan selalu memberikan uang saku padaku, mereka tidak pernah
memberikan uang lebih kalau aku kehabisan uang. “Untuk membangun rasa tanggung
jawab,” jelas ayahku dulu.
“Mana
uangmu yang kausimpan di bank?”
Aku menghela napas, dan ibuku duduk
diam sementara aku menjelaskan padanya apa yang telah kulakukan. Setelah aku
selesai menjelaskan, suatu kesan puas yang mendalam membayang di wajahnya,
seakan ia tahu bahwa akhirnya aku telah dewasa.
“Biar
aku yang memikirkan soal itu,” ujarnya pelan. “Kau cukup mencari tahu apakah ia
mau diajak pergi dan apakah Pendeta Sullivan mengizinkannya. Kalau memang bisa,
kita akan menemukan cara untuk mewujudkannya. Aku berjanji.”
Pada hari
berikutnya aku pergi ke gereja. Aku tahu Hegbert akan berada di dalam ruang
kerjanya. Aku belum menanyakannya kepada Jamie karena aku membayangkan ia tetap
akan membutuhkan izin dari ayahnya. Entah mengapa aku merasa bahwa akulah yang
seharusnya meminta izin itu. Kurasa itu ada hubungannya dengan fakta bahwa
Hegbert masih belum dapat menerimaku dengan tangan terbuka saat aku berkunjung.
Setiap kali ia melihatku melangkah di jalan masuk rumahnya—seperti Jamie, ia
juga memiliki indra keenam soal itu—ia akan mengintip ke luar melalui gorden,
kemudian cepat-cepat menarik dirinya untuk bersembunyi di balik gorden, seakan
aku tidak sempat melihatnya. Setiap kali aku mengetuk pintu, Hegbert
membutuhkan waktu yang lama untuk membukakan pintu untukku, seakan ia harus
berjalan dari dapur. Ia akan menatapku selama beberapa waktu, kemudian menarik
napas dalam-dalam dan menggeleng sebelum akhirnya mengucapkan salam kepadaku.
Pintu ruang
kerjanya dalam keadaan terbuka sedikit, dan aku melihatnya duduk di belakang
mejanya, kacamatanya bertengger di atas hidungnya. Ia sedang memeriksa beberapa
berkas—kelihatannya berhubungan dengan keuangan—dan aku menarik kesimpulan
bahwa ia sedang membuat anggaran gereja untuk tahun berikutnya. Bahkan seorang
pendeta pun punya sejumlah rekening yang harus dibayar.
Aku mengetuk
pintu, dan ia mengangkat wajahnya dengan sigap, seakan mengharapkan kehadiran
salah seorang anggota jemaat yang lain, kemudian ia mengangkat alisnya begitu
melihat akulah yang datang.
“Halo,
Pendeta Sullivan,” tegurku dengan sopan. “Apakah Anda punya waktu?”
Penampilan Hegbert bahkan lebih
lelah daripada biasanya, dan aku menyimpulkan bahwa ia sedang kurang sehat.
“Halo,
Landon,” ujarnya dalam nada waswas.
Omong-omong, aku telah mengenakan
pakaian yang layak untuk kesempatan itu, lengkap dengan jas dan dasi. “Bolehkah
aku masuk?”
Ia mengangguk pelan, dan aku
memasuki ruang kerjanya. Ia mempersilakanku duduk di kursi di depan mejanya.
“Ada
yang bisa kubantu?” tanyanya.
Aku berusaha
untuk duduk dengan nyaman di kursi itu. “Begini, Sir, aku ingin meminta sesuatu
pada Anda.”
Ia menatapku, mengamati wajahku
sebelum akhirnya berkata, “Apakah ada hubungannya dengan Jamie?” tanyanya.
Aku
menarik napasku dalam-dalam.
“Betul,
Sir. Aku ingin tahu apakah Anda keberatan jika aku mengajaknya pergi makan
malam di luar pada Malam Tahun Baru.”
Ia menghela napasnya. “Hanya itu?’
tanyanya.
“Ya,
Sir,” sahutku. “Aku akan mengantarnya pulang pada pukul berapa pun Anda
menginginkannya.”
Ia melepaskan kacamatanya dan
mengelapnya dengan saputangan sebelum memakainya kembali. Aku bisa melihat
bahwa ia menggunakan kesempatan itu untuk memikirkan jawabannya.
“Apakah
orangtuamu akan ikut dengan kalian?” tanyanya.
“Tidak,
Sir.”
“Kalau begitu
kurasa itu tidak mungkin. Tapi terima kasih karena meminta izinku terlebih
dulu.” Ia mengalihkan perhatiannya ke berkas-berkasnya, menyatakan dengan jelas
bahwa sudah waktunya bagiku untuk pergi. Aku berdiri dari kursiku dan mulai
melangkah menuju pintu. Saat aku akan keluar, aku menoleh sekali lagi ke
arahnya.
“Pendeta Sullivan?”
Ia mengangkat wajahnya, seakan
heran aku masih ada di sana.
“Aku
minta maaf atas semua yang pernah kulakukan ketika aku masih lebih muda, dan
aku menyesal tidak selalu memperlakukan Jamie sebagaimana seharusnya ia
diperlakukan. Tapi mulai sekarang, semua itu akan berubah. Aku berjanji pada
Anda.”
Tatapannya tampak seakan menembus
diriku. Rupanya itu belum cukup.
“Aku
mencintainya,” ujarku akhirnya, dan setelah aku mengatakannya, perhatian
Hegbert terfokus pada diriku lagi.
“Aku
tahu,” sahutnya sedih, “tapi aku tidak ingin melihatnya terluka.” Meskipun cuma
membayangkannya, sepertinya aku melihat matanya mulai berkaca-kaca.
“Aku
tidak akan menyakitinya,” kataku.
Ia mengalihkan pandangannya dan
melihat ke luar melalui jendela, mengawasi matahari musim dingin yang mencoba
menembus gumpalan awan. Hari itu cuaca mendung, dingin, dan menggigit.
“Pastikan
ia sudah sampai di rumah pada pukul sepuluh,” kata Hegbert akhirnya, seakan ia
tahu bahwa ia telah mengambil keputusan yang salah.
Aku tersenyum dan ingin mengucapkan
terima kasih kepadanya, meskipun aku tidak melakukannya. Aku tahu ia ingin
segera ditinggal sendirian. Ketika aku menoleh sebentar ke belakang dalam
perjalananku keluar dari pintu, aku bingung saat melihat Hegbert membekap
wajahnya dengan dua tangan.
Aku mengajak
Jamie satu jam setelah itu. Hal pertama yang dikatakannya adalah ia merasa
tidak bisa pergi, tapi aku mengungkapkan padanya bahwa aku sudah berbicara
dengan ayahnya. Ia tampak tercengang, dan aku merasa hal itu mempengaruhi
pandangannya terhadap diriku selanjutnya. Namun aku tidak menceritakan padanya
bahwa Hegbert tampak nyaris menangis saat aku berjalan ke luar ruangan. Selain
tidak mengerti, aku juga tidak ingin Jamie khawatir.
Namun malam itu, setelah berbicara
dengan ibuku lagi, ia memberikan penjelasan yang terus terang bagiku cukup
masuk akal. Rupanya Hegbert menyadari bahwa putrinya mulai tumbuh dewasa dan
perlahan-lahan ia harus melepaskannya padaku. Setidaknya, aku berharap itulah
yang terjadi.
Aku menjemput Jamie tepat sesuai jadwal. Meskipun aku tidak memintanya
untuk membiarkan rambutnya tergerai, ia tetap melakukannya untukku. Kami melaju
melintasi jembatan menuju restoran di tepi pantai itu tanpa berbicara. Saat
kami tiba di tempat penerimaan tamu, pemilik restoran itu sendiri yang muncul
dan mengantar kami ke meja. Ternyata kami mendapat salah satu meja terbaik.
Keadaannya sudah
ramai pada saat kami tiba, dan di sekeliling kami tampak orang-orang sedang
menikmati santapan. Orang-orang berpakaian modis pada Malam Tahun Baru ini, dan
kami satu-satunya pasangan remaja di situ. Namun kurasa penampilan kami tidak
terlalu mencolok.
Jamie tidak pernah ke Flauvin’s
sebelumnya, tapi ia hanya membutuhkan beberapa waktu untuk menyesuaikan diri.
Ia kelihatan antusias, dan aku langsung tahu bahwa ibuku telah memberikan usul
yang bagus.
“Benar-benar
luar biasa,” ujarnya padaku. “Terima kasih telah mengajakku.”
“Sama-sama,”
sahutku tulus.
“Apakah
kau sudah pernah kemari sebelumnya?”
“Beberapa
kali. Ibu dan ayahku kadang-kadang kemari saat ayahku pulang dari Washington.”
Ia menatap ke luar jendela dan
memandang kapal yang sedang melewati restoran itu, lampu-lampunya
terang-benderang. Untuk sesaat ia tampak takjub. “Indah sekali di sini,”
ujarnya.
“Sama
seperti dirimu,” sahutku.
Wajah Jamie merona. “Kau bercanda.”
“Aku
serius,” sahutku pelan. “Sungguh.”
Kami berpegangan tangan sambil
menunggu hidangan disajikan. Jamie dan aku mengobrol tentang beberapa hal yang
terjadi selama beberapa bulan terakhir itu. Ia tertawa ketika kami membicarakan
pesta dansa homecoming, dan akhirnya aku mengakui alasanku mengajaknya
waktu itu. Ternyata Jamie tidak marah—ia hanya tertawa ringan menanggapinya—dan
tanpa perlu kuberitahu kurasa Jamie sudah mengetahui alasanku mengajaknya.
“Apakah
kau akan mengajakku lagi lain kali?” goda Jamie.
“Pasti.”
Hidangan makan malam itu
betul-betul lezat—kami sama-sama memesan ikan bass dan salad, dan
setelah si pelayan akhirnya mengangkat piring-piring kami, terdengar suara
musik. Kami masih punya waktu satu jam sebelum aku harus mengantar Jamie
pulang, dan aku mengulurkan tanganku ke arahnya.
Tadinya kami
merupakan satu-satunya pasangan di lantai dansa itu, semua mata mengawasi saat
kami berdansa di tempat itu. Kurasa mereka semua tahu bagaimana perasaan kami
satu sama lain, dan itu mengingatkan mereka pada masa muda mereka sendiri. Aku
bisa melihat mereka tersenyum penuh arti melihat kami. Cahayanya redup, dan si
penyanyi mulai melantunkan melodi yang lembut, aku memeluk Jamie dengan mata
terpejam, sambil bertanya dalam hati apakah pernah ada sesuatu dalam hidupku
yang sesempurna ini.
Aku sedang jatuh cinta, dan
perasaan itu bahkan lebih indah daripada yang pernah kubayangkan sebelumnya.
Setelah Tahun
Baru kami melewatkan satu setengah minggu berikutnya bersama-sama, melakukan
hal-hal yang biasa dilakukan oleh pasangan-pasangan muda ketika itu, meskipun
kadang-kadang Jamie tampak lelah dan gelisah. Kami menghabiskan waktu di tepi
Sungai
Neuse,
melempar batu-batu ke air, mengawasi riak-riaknya sementara kami mengobrol,
atau kami pergi ke pantai dekat Fort Macon. Mesipun saat itu musim dingin,
warna laut bernuansa metalik, itu tetap menjadi kegiatan yang kami nikmati.
Setelah sekitar satu jam biasanya Jamie akan memintaku mengantarnya pulang, dan
kami akan berpegangan tangan di dalam mobil. Kadang-kadang, sepertinya Jamie
nyaris tertidur sebelum kami sampai di rumah, sementara di lain waktu ia akan
terus mengoceh sepanjang perjalanan sampai aku nyaris tidak mendapat kesempatan
untuk mengucapkan sepatah kata pun.
Tentu saja,
menghabiskan waktu bersama Jamie juga berarti melakukan hal-hal yang ia sukai.
Meskipun aku tidak mau mengikuti kelas pendalaman Alkitab—aku tidak ingin
tampak tolol di hadapannya—kami tetap masih mengunjungi panti asuhan itu dua
kali lagi. Setiap kali kami ke sana, aku jadi semakin betah. Tapi kami terpaksa
pulang lebih awal suatu hari, karena Jamie agak demam. Bahkan bagi mataku yang
kurang terlatih jelas terlihat mukanya memerah.
Kami juga berciuman lagi, meskipun
tidak setiap kali kami berduaan. Aku bahkan tidak berniat untuk berbuat lebih
jauh dari itu. Aku menganggap itu tidak ada perlunya. Ada sesuatu yang
menyenangkan saat aku menciumnya, sesuatu yang lembut dan terasa benar, dan itu
sudah cukup untukku. Semakin sering aku melakukannya, semakin aku menyadari
bahwa Jamie telah salah dimengerti hampir seluruh hidupnya, tidak hanya olehku,
tapi oleh semua orang.
Jamie bukan
hanya sekadar putri seorang pendeta, orang yang sering membaca Alkitab, dan
berusaha sebisanya untuk menolong yang lain. Jamie ternyata juga seorang gadis
berusia tujuh bleas tahun dan memiliki berbagai harapan serta keraguan yang
sama seperti diriku. Setidaknya, itulah asumsiku, sampai pada akhirnya ia
bercerita padaku.
Aku tidak akan
pernah melupakan hari itu karena Jamie begitu pendiam, dan aku merasakan
perasaan aneh sepanjang hari bahwa ada sesuatu yang penting yang mengganggu
pikirannya.
Aku sedang
mengantarnya pulang dari Cecil’s Diner pada hari Sabtu sebelum sekolah dimulai
lagi. Hari itu angin menderu keras dan terasa menggigit, yang berasal dari
timur laut dan sudah berlangsung sejak pagi sebelumnya. Kami harus berjalan
berdekatan agar tubuh kami tetap hangat. Jamie merangkul lenganku, dan kami
berjalan perlahan, bahkan lebih pelan daripada biasanya. Aku bisa melihat Jamie
sedang merasa tidak terlalu sehat lagi. Tadinya ia tidak begitu ingin pergi
bersamaku mengingat cuacanya, tapi aku tetap memintanya ikut karena
teman-temanku. Aku menganggap sudah waktunya teman-temanku akhirnya tahu
mengenai hubungan kami. Masalahnya ternyata, seperti sudah ditakdirkan, tak
seorang pun sedang berada di Cecil’s Diner pada saat itu. Sebagaimana
kebanyakan komunitas daerah pesisir, keadaan di tepi pantai akan sepi selama
musim dingin.
Jamie tidak banyak bicara saat kami
berjalan, dan aku tahu bahwa ia sedang mencari cara untuk mengatakan sesuatu
kepadaku. Aku sama sekali tidak menyangka ia akan membuka percakapannya seperti
itu.
“Orang-orang
menganggapku aneh, kan?” tanya Jamie akhirnya, memecahkan keheningan.
“Siapa
maksudmu?” tanyaku, meskipun aku tahu jawabannya.
“Orang-orang
di sekolah.”
“Tidak,
mereka tidak menganggapmu begitu,” ujarku, berbohong.
Aku mencium pipinya sambil
merapatkan lengannya ke tubuhku. Ia mengernyitkan wajahnya, dan aku merasa
telah menyakitinya, entah bagaimana caranya.
“Kau
tidak apa-apa?” tanyaku khawatir.
“Aku baik-baik saja,” sahutnya, sambil memulihkan
kendali dirinya dan tidak mengalihkan percakapan. “Tapi, maukah kau melakukan
sesuatu untukku?”
“Apa
pun,” sahutku.
“Maukah
kau berjanji padaku untuk selalu mengatakan yang sebenarnya mulai sekarang?
Maksudku, selalu berkata jujur?”
“Tentu
saja,” sahutku.
Ia menghentikan langkahku secara
tiba-tiba dan menatap mataku lekat-lekat. “Apakah kau sedang berbohong padaku
sekarang?”
“Tidak,” sahutku
membela diri, sambil mempertanyakan ke mana arah pembicaraan kami. “Aku
berjanji, mulai sekarang aku akan selalu mengatakan yang sebenarnya padamu.”
Entah mengapa, saat aku mengatakan
itu, aku tahu bahwa aku akan menyesalinya kelak.
Kami mulai
melangkah lagi. Saat kami menyusuri jalan, aku melihat sekilas ke tangannya
yang melingkar di lenganku, dan aku melihat sebuah memar yang cukup besar
persis di bawah jari manisnya. Aku tidak tahu apa penyebabnya, karena memar itu
tidak ada di sana kemarin. Untuk sesaat aku mengira bahwa itu mungkin terjadi
gara-gara aku, tapi kemudian aku menyadari bahwa aku bahkan tidak menyentuhnya
di sana.
“Orang-orang
menganggapku aneh, kan?” tanyanya lagi.
Napasku keluar membentuk uap asap
kecil-kecil.
“Ya,”
sahutku akhirnya. Sakit rasanya hatiku mengatakan itu.
“Kenapa?”
Ekspresinya nyaris kelihatan sedih.
Aku memikirkan jawabanku. “Mereka
punya alasan sendiri-sendiri,” jawabku samar, sambil berusaha mengendalikan
diriku.
“Tapi
kenapa, persisnya? Apa karena ayahku? Atau apakah karena aku berusaha bersikap
baik?”
Aku tidak ingin terlibat dalam hal
ini.
“Kurasa
begitu,” hanya itu yang dapat aku katakan. Aku merasa tidak enak.
Jamie sepertinya kecewa, dan kami
melanjutkan perjalanan dalam keheningan.
“Apakah
kau juga menganggapku aneh?” tanyanya kepadaku.
Caranya menanyakan membuat hatiku
lebih sakit daripada yang kubayangkan sebelumnya. Kami hampir sampai di
rumahnya sebelum aku menghentikan langkahnya dan memeluknya erat-erat. Aku
menciumnya, dan ketika kami saling menarik diri, ia menundukkan kepalanya.
Aku meletakkan
jariku di bawah dagunya, mendongakkan kepalanya, dan membuatnya menatapku
kembali. “Kau pribadi yang istimewa, Jamie. Kau cantik, kau baik, kau lembut…
kaulah segalanya yang aku inginkan. Kalau orang-orang itu tidak menyukaimu,
atau menganggap dirimu aneh, itu masalah mereka sendiri.”
Dalam cahaya remang-remang di suatu
hari di musim dingin, aku bisa melihat bibir bawahnya mulai bergetar. Aku juga
merasakan hal yang sama, dan tiba-tiba aku menyadari bahwa jantungku berdebar
cepat sekali. Aku menatap matanya lekat-lekat, tersenyum padanya dengan segenap
perasaanku. Aku tahu bahwa aku tidak bisa memendam kata-kata itu lebih lama
lagi.
“Aku
mencintaimu, Jamie,” ujarku padanya. “Kaulah hal terbaik yang pernah terjadi
pada diriku.”
Baru pertama kali itulah aku
mengucapkan kata-kata itu kepada seseorang selain kepada salah seorang anggota
keluargaku yang terdekat. Saat aku membayangkan mengatakan kalimat itu kepada
seseorang, entah mengapa aku mengira itu sulit, tapi nyatanya tidak. Aku belum
pernah merasa seyakin itu.
Tapi setelah aku mengucapkan kata-kata itu, Jamie menundukkan kepalanya
dan mulai menangis, sambil menyandarkan dirinya pada tubuhku. Aku memeluknya,
bertanya-tanya apa yang salah. Tubuhnya kurus, dan untuk pertama kalinya aku
menyadari bahwa aku dapat melingkarkan seluruh lenganku saat merangkulnya.
Berat badannya turun, bahkan dalam satu setengah minggu terakhir ini, dan aku
kemudian teringat bahwa Jamie hampir tidak pernah menyentuh makanannya. Ia
masih menangis di dadaku selama beberapa saat. Aku tidak tahu harus berpikir
apa lagi, atau apakah Jamie juga merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan.
Namun, aku sama sekali tidak menyesali kata-kataku. Kenyataan selalu jadi
kenyataan, dan aku baru saja berjanji bahwa aku tidak akan pernah berbohong
lagi padanya.
“Kumohon
jangan katakan itu,” ujarnya padaku. “Kumohon…”
“Tapi
itu betul,” ujarku, mengira bahwa ia tidak mempercayai ucapanku.
Ia mulai
menangis lebih keras lagi. “Maafkan aku,” bisiknya padaku di antara isakannya.
“Aku menyesal sekali…”
Tenggorokanku tiba-tiba terasa
kering.
“Kenapa
kau menyesal?” tanyaku, tiba-tiba aku merasa harus tahu apa sebetulnya yang
sedang mengganggu pikirannya. “Apakah karena teman-temanku dan apa yang akan
mereka katakan? Aku tidak peduli lagi—sungguh.” Aku berusaha menemukan alasan,
dalam keadaan bingung dan, ya—takut.
Jamie masih membutuhkan beberapa
waktu untuk meredakan tangisnya, dan akhirnya ia mengangkat wajahnya ke arahku.
Ia menciumku dengan lembut, nyaris seperti napas orang yang melewatimu di
jalanan, kemudian jarinya mengusap pipiku.
“Kau
tidak mungkin bisa jatuh cinta padaku, Landon,” ujarnya dengan mata merah dan
sembap. “Kita masih bisa berteman, kita masih bisa saling bertemu… tapi kau tidak
bisa mencintaiku.”
“Kenapa
tidak?” kata Jamie perlahan, “aku amat sakit, Landon.”
Konsep itu betul-betul asing sekali
bagiku, sehingga aku tidak dapat memahami apa yang sedang dikatakannya padaku.
“Lalu
kenapa? Paling-paling kau hanya butuh beberapa hari…”
Senyum sedih membayang di wajahnya,
dan saat itulah aku tahu apa sebetulnya yang ingin disampaikannya padaku.
Matanya terus menatapku saat ia akhirnya mengucapkan kata-kata yang membuat
jiwaku beku.
“Aku
sedang sekarat, Landon.”
BAB 12
JAMIE ternyata
mengindap leukemia. Ia sudah mengetahuinya sejak musim panas lalu.
Pada saat ia mengungkapkannya
kepadaku, aku merasa darah terkuras dari wajahku dan berbagai bayangan aneh
melintas dalam benakku. Untuk sesaat waktu seakan tiba-tiba berhenti dan aku
mulai memahami segala yang terjadi di antara kami. Aku mengerti mengapa ia
ingin aku tampil dalam pementasan itu. aku mengerti mengapa setelah pementasan
pada malam pertama itu, Hegbert membisikkan sesuatu padanya dengan air mata
berlinang, menyebut Jamie sebagai malaikatnya. Aku mengerti mengapa Hegbert
tampak begitu lelah sepanjang waktu dan mengapa ia begitu cemas menanggapi
kedatanganku ke rumahnya. Segalanya menjadi sangat jelas sekarang.
Mengapa Jamie ingin Hari Natal di
panti asuhan itu menjadi acara istimewa….
Mengapa ia merasa tidak akan
melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi….
Mengapa ia memberikan Alkitab-nya
kepadaku….
Semua itu jadi masuk akal, dan pada
waktu yang bersamaan tak satu pun tampaknya masuk akal.
Jamie Sullivan mengidap leukemia….
Jamie, Jamie yang manis, sedang
sekarat….
Jamie-ku….
“Tidak,
tidak,” bisikku padanya, “pasti ada kesalahan…”
Tapi nyatanya
tidak begitu, dan ketika ia mengungkapkan sekali lagi kepadaku, duniaku
tiba-tiba terasa kosong. Kepalaku mulai berputar, dan aku mencengkeram Jamie
erat-erat untuk menjaga keseimbanganku. Di jalan aku melihat seorang pria dan
seorang wanita, berjalan ke arah kami, kepala mereka menunduk dan tangan mereka
memegangi topi agar tidak terbang terbawa angin. Seekor anjing berlari-lari
kecil menyeberangi jalan kemudian berhenti untuk mengendus semak-semak. Seorang
tetangga yang tinggal di seberang jalan sedang berdiri di tangga, menurunkan
lampu-lampu Natal. Pemandangan normal dari kehidupan sehari-hari, hal-hal yang
tidak pernah aku perhatikan sebelumnya, yang tiba-tiba membuatku marah. Aku
memejamkan mataku, ingin menghapus semua itu dari hadapanku.
“Maafkan
aku, Landon,” ujar Jamie berulang-ulang. Namun akulah yang seharusnya
mengatakan itu. Aku menyadarinya sekarang, namun kebingunganku membuatku tidak
dapat mengatakan apa-apa.
Jauh di lubuk hatiku, aku tahu
bahwa aku takkan bisa menghapus semua itu. Aku memeluknya lagi, karena tidak
tahu apa lagi yang bisa kulakukan, air mata membasahi mataku. Aku mencoba untuk
menjadi batu karang yang menurutku dibutuhkannya, namun gagal.
Kami menangis
bersama di jalan itu selama beberapa saat, sedikit jauh dari jalan tempat
tinggalnya. Kami menangis lagi saat Hegbert membuka pintu dan melihat wajah
kami. Ia langsung tahu bahwa rahasia mereka telah terbongkar. Kami menangis
sewaktu kami menceritakannya kepada ibuku sore itu. Ibuku memeluk kami dan
menangis dengan begitu kerasnya sehingga koki maupun pelayan kami hampir saja
menelepon dokter karena mereka mengira sesuatu telah terjadi pada ayahku. Pada
hari Minggu, Hegbert mengeluarkan pernyataan di hadapan jemaatnya, wajahnya
dibayangi kesedihan dan ketakutan. Ia terpaksa dipapah kembali ke tempat
duduknya bahkan sebelum ia selesai berbicara.
Jemaat dalam gereja itu tiba-tiba
terenyak seakan tidak percaya menanggapi kata-kata yang baru saja mereka
dengar, dan tampak seakan menunggu sesuatu untuk mengakhiri lelucon yang sama
sekali tidak lucu itu. Kemudian secara serentak, mereka mulai mengekspresikan
rasa sedih mereka.
Kami duduk
bersama Hegbert pada hari Jamie mengungkapkan berita itu kepadaku, dan dengan
penuh kesabaran Jamie menjawab semua pertanyaanku. Ia tidak tahu berapa lama
lagi waktu yang ia miliki. Tidak, tidak ada yang dapat dilakukan oleh para
dokter. Menurut para dokter, ia mengidap penyakit langka, penyakit yang tidak
merespons perawatan yang tersedia pada masa itu. Ya, saat sekolah baru dimulai,
ia masih merasa sehat. Baru beberapa minggu yang terakhir ini ia mulai
merasakan dampaknya.
“Memang
begitulah perkembangan penyakit ini,” kata Jamie. “Kau merasa baik-baik saja,
dan setelah itu, sewaktu tubuhmu tidak dapat melawannya lagi, kau mulai
melemah.”
Sambil berusaha menahan air mataku,
mau tidak mau aku teringat pada drama itu.
“Tapi
semua latihan… hari-hari yang panjang itu… mungkin seharusnya kau—“
“Mungkin,”
sahutnya, sambil meraih tanganku dan memotong ucapanku. “Tapi drama itu justru
yang membuatku tetap merasa sehat sampai begitu lama.”
Kemudian Jamie mengungkapkan padaku
bahwa tujuh bulan sudah berlalu sejak ia pertama kali didiagnosis. Para dokter
telah menyatakan bahwa ia memiliki waktu satu tahun, mungkin kurang.
Keadaannya
mungkin berbeda di zaman sekarang. Sekarang mereka pasti bisa melakukan sesuatu
untuk mengobati Jamie. Di zaman sekarang Jamie mungkin bisa disembuhkan. Namun
ini terjadi sekitar empat puluh tahun yang lalu, dan aku tahu apa artinya itu.
Hanya mukjizat yang dapat
menyelamatkan Jamie.
“Kenapa
kau tidak menceritakan ini padaku sebelumnya?”
Itulah satu-satunya pertanyaan yang
tidak kuajukan padanya, yang terus menghantuiku sepanjang waktu. Aku tidak bisa
tidur malam itu, dan mataku masih sembap. Aku melewati fase dari terguncang ke
penyangkalan, sedih ke marah kemudian kembali lagi, sepanjang malam, sambil
berharap dan berdoa bahwa kenyataannya tidak begitu. Berharap semua itu
hanyalah bagian dari mimpi buruk.
Kami sedang
berada di ruang tamu pada hari berikutnya, pada hari Hegbert mengeluarkan
pernyataan di hadapan jemaatnya. Tanggal 10 Januari 1959.
Jamie tidak tampak sesedih seperti
yang tadinya kubayangkan. Tapi Jamie sudah menjalani semua ini selama tujuh
bulan. Ketika itu hanya ia sendiri dan Hegbert yang tahu, dan selama itu mereka
tidak menceritakannya pada siapa pun, termasuk aku. Aku merasa sakit hati
mengenai itu dan juga sekaligus takut.
“Aku
sudah membuat keputusan,” kata Jamie, “bahwa akan lebih baik kalau aku tidak
memberitahu siapa pun, dan aku telah meminta ayahku untuk melakukan hal yang
sama. Kau lihat sendiri bagaimana reaksi orang-orang setelah pulang dari gereja
hari ini. Tak seorang pun bahkan mau menatap mataku. Kalau kau hanya memiliki
beberapa bulan lagi untuk hidup, itukah yang akan kauinginkan?”
Aku tahu bahwa ucapannya benar,
namun tetap saja tidak menjadikannya lebih mudah. Untuk pertama kali dalam
hidupku, aku sungguh-sungguh merasa tidak berdaya.
Aku tidak pernah
ditinggal mati oleh seseorang yang dekat denganku, setidaknya sepanjang
ingatanku. Nenekku meninggal ketika aku baru berusia tiga tahun, dan aku tidak
ingat apa-apa tentang dirinya ataupun upacara pemakamannya atau bahkan
tahun-tahun berikutnya setelah ia tiada. Tentu saja aku pernah mendengar
cerita-cerita mengenai Nenek dari ayah dan kakekku, tapi bagiku itu cuma
cerita. Sama seperti mendengar cerita yang sebetulnya bisa kubaca di surat
kabar mengenai seorang wanita yang tidak kukenal. Meskipun ayahku selalu
mengajakku bersamanya saat ia membawa bunga ke makam Nenek, aku tidak pernah
merasakan sesuatu untuknya. Aku hanya merasakan sesuatu terhadap mereka yang
telah ditinggalkan olehnya.
Tak seorang pun
di keluargaku atau teman-temanku pernah dihadapkan pada sesuatu seperti ini.
Jamie baru berusia tujuh belas tahun, sedang berada di ambang kedewasaannya.
Sekarat namun tetap masih penuh dengan gairah hidup pada waktu yang bersamaan.
Aku merasa takut, jauh lebih takut daripada ketakutan yang pernah kualami, bukan
hanya bagi diri Jamie, tapi juga bagi diriku sendiri. Aku hidup dalam ketakutan
bahwa aku akan melakukan sesuatu yang salah. Aku takut akan melakukan sesuatu
yang mungkin dapat melukai perasaannya. Apakah wajar untuk marah di hadapannya?
Apakah masih wajar untuk berbicara mengenai masa depan? Ketakutanku membuat
berbicara dengannya terasa sulit, meskipun Jamie begitu sabar terhadapku.
Namun
ketakutanku membuatku menyadari sesuatu yang lain, sesuatu yang membuatku
merasa semakin buruk. Aku menyadari bahwa aku bahkan tidak pernah mengenalnya
di saat ia masih sehat. Aku baru mulai melewatkan waktuku bersamanya sekitar
beberapa bulan yang lalu, dan aku baru mulai mencintainya sejak delapan belas
hari yang lalu. Delapan belas hari itu seakan merupakan seluruh hidupku, namun
saat aku menatapnya, yang dapat kulakukan hanyalah mempertanyakan masih berapa
banyak waktu yang ia miliki.
Pada hari Senin
Jamie tidak masuk sekolah, dan entah mengapa aku tahu bahwa ia tidak akan
pernah menginjakkan kakinya di sekolah lagi. Aku tidak akan pernah melihatnya
membaca Alkitab sendirian di waktu istirahat makan siang, aku tidak akan pernah
melihat sweter cokelatnya bergerak di antara siswa-siswa lain sementara ia
menuju kelasnya yang berikut. Hari-harinya di sekolah sudah berakhir untuk
selamanya, ia bahkan tidak akan pernah memperoleh ijazah.
Aku tidak dapat
memusatkan perhatian saat duduk di dalam kelas pada hari pertama itu,
mendengarkan saat para guru mengungkapkan apa yang sudah didengar oleh
kebanyakan di antara kami. Tanggapan yang diperoleh persis seperti di gereja
pada hari Minggu itu. Siswa-siswa perempuan mulai menangis, yang laki-laki
menunduk. Mereka bercerita tentang Jamie seakan ia sudah tiada. Apa yang bisa
kita lakukan? tanya mereka, dan mereka mulai menatapku untuk mendapatkan
jawaban.
“Aku
tidak tahu,” hanya itu yang dapat kukatakan.
Aku meninggalkan
sekolah lebih awal dan pergi ke rumah Jamie, bolos setelah istirahat makan
siang. Sewaktu aku mengetuk pintu, Jamie membukanya seperti yang biasa ia
lakukan, dengan gembira dan sepertinya tanpa beban.
“Halo, Landon,” tegurnya, “ini kejutan.”
Ketika ia mencondongkan tubuhnya
untuk menciumku, aku membalas ciumannya, meskipun semua itu membuatku ingin
menangis.
“Ayahku tidak
ada di rumah sekarang, tapi kalau kau mau, kita bisa duduk-duduk di teras.”
“Bagaimana
kau bisa seperti ini?” tanyaku tiba-tiba. “Bagaimana kau bisa berpura-pura
bahwa tidak ada yang salah?”
“Aku
tidak berpura-pura bahwa tidak ada yang salah, Landon. Aku ambil jaketku dulu
lalu kita duduk-duduk di luar sambil ngobrol, oke?”
Ia tersenyum padaku, menantikan
jawaban, dan akhirnya aku mengangguk, bibirku terkatup rapat. Ia mengulurkan
tangannya untuk menepuk lenganku.
“Aku
akan segera kembali,” janjinya.
Aku melangkah ke
arah kursi teras kemudian duduk. Jamie muncul beberapa saat setelah itu. Ia
mengenakan jaket tebal, sarung tangan, dan topi agar tubuhnya tetap hangat.
Angin dari arah timur laut itu telah berlalu, dan hari ini sebetulnya tidak
sedingin selama akhir pekan yang lalu. Namun udaranya tetap masih terlalu
dingin bagi Jamie.
“Kau tidak ke sekolah hari ini,”
ujarku.
Ia menunduk dan mengangguk. “Aku
tahu.”
“Apakah
kau akan kembali sekolah?” Meskipun aku sudah tahu jawabannya, aku tetap butuh
mendengar jawaban itu darinya.
“Tidak,”
sahutnya pelan. “Aku tidak akan kembali.”
“Kenapa?
Apakah kau sudah begitu sakitnya?” Aku mulai menangis, dan ia mengulurkan
tangannya menggenggam tanganku.
“Tidak.
Sebenarnya hari ini aku merasa jauh lebih baik. Aku hanya sedang ingin berada
di rumah pada pagi hari, sebelum ayahku harus pergi ke tempat kerjanya. Aku
ingin menghabiskan waktuku sebanyak mungkin dengannya.”
Sebelum aku meninggal, yang
sebetulnya ingin ia katakan namun tidak diucapkan. Aku merasa tidak keruan dan
tidak memberikan jawaban.
“Ketika para dokter memberitahu
kami untuk pertama kalinya,” lanjut Jamie, “mereka menyarankan agar aku
sebaiknya mencoba menjalani kehidupanku senormal mungkin selama aku masih bisa.
Mereka menganggap hal itu akan membuatku lebih kuat.”
“Tapi
tidak ada yang normal mengenai ini,” sahutku getir.
“Aku
tahu.”
“Apakah
kau tidak takut?”
Entah mengapa aku berharap ia akan
mengatakan tidak, mengatakan sesuatu yang bijaksana seperti yang akan
dilakukan oleh orang dewasa, atau menjelaskan kepadaku bahwa kita tidak dapat
memaksakan diri untuk mengerti rencana Tuhan.
Ia berpaling. “Ya,” sahut Jamie
akhirnya. “Aku takut sepanjang waktu.”
“Lalu
mengapa kau tidak bersikap sebagaimana yang kaurasakan?”
“Aku
melakukannya. Saat aku sedang sendirian.”
“Karena
kau tidak percaya padaku?”
“Bukan,”
sahutnya, “karena aku tahu kau juga takut.”
Aku mulai berdoa
mengharapkan datangnya mukjizat.
Biasanya itu yang selalu terjadi,
dan aku pernah membacanya di koran. Orang-orang yang dapat menggerakkan anggota
tubuhnya kembali setelah mereka dinyatakan tidak akan pernah
dapat
berjalan lagi, atau yang berhasil lolos dari maut dalam suatu kecelakaan yang
teramat mengerikan di saat semua harapan sudah tiada. Kadang-kadang seorang
pengkhotbah keliling mendirikan tenda di luar kota Beaufort, dan para penduduk
akan ke sana untuk menyaksikan orang-orang yang akan disembuhkan. Aku sudah
pernah menyaksikannya beberapa kali, dan meskipun aku berasumsi bahwa
kebanyakan di antaranya hanyalah tipuan, mengingat aku tidak pernah mengenali
mereka yang sudah disembuhkan. Namun sekali waktu tetap terjadi sesuatu yang
bahkan tidak bisa kujelaskan. Pak tua Sweeney, tukang roti di kota kami, pernah
bergabung dengan pasukan artileri dalam Perang Dunia dari balik parit-parit
perlindungan, dan sekian bulan memberondong musuh dengan peluru telah
menjadikan sebelah telinganya tuli. Ini bukan pura-pura—ia benar-benar tidak
dapat mendengar. Semasa kami masih anak-anak, kami dapat mencuri roti cinnamon
karena ia tidak bisa mendengarnya. Tapi si pengkhotbah mulai berdoa dengan
khidmat dan akhirnya menempatkan tangannya di bagian sisi kepala Sweeney.
Sweeney berteria keras, membuat orang-orang melompat berdiri dari kursi. Ia
menampakkan wajah takut, seakan seseorang telah menyentuhnya dengan sepotong
besi panas, tapi kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan menatap ke
sekelilingnya, sambil berbicara, “Aku bisa mendengar lagi.” Bahkan ia sendiri
tidak dapat mempercayainya. “Tuhan,” ujar si pengkhotbah ketika itu, sementara
Sweeney kembali ke tempat duduknya, “bisa melakukan apa saja. Tuhan
mendengarkan doa-doa kita.”
Jadi malam itu
aku membuka Alkitab yang diberikan Jamie padaku sebagai hadiah Natal dan mulai
membaca. Aku sudah pernah mendengar kisah-kisah yang ada di dalam Alkitab
sewaktu sekolah Minggu maupun di gereja. Tapi sejujurnya, yang teringat olehku
adalah bagian-bagian yang seru saja—Tuhan menjatuhkan tujuh malapetaka agar
bangsa Israel dapat meninggalkan Mesir, Yunus yang ditelan oleh ikan paus,
Yesus yang berjalan di atas air, atau membangkitkan Lazarus dari kematian.
Selain itu masih ada beberapa peristiwa besar lagi.
Aku tahu, nyaris
dalam setiap bab Alkitab Tuhan melakukan sesuatu yang spektakuler, namun aku
belum pernah mempelajari semuanya. Sebagai orang Kristen, kami berpegang teguh
pada ajaran-ajaran dalam Perjanjian Baru, sedangkan aku tidak tahu apa-apa
mengenai kisah Yosua atau Rut, atau Yoel. Pada malam pertama aku membaca Kitab
Kejadian, malam kedua aku membaca Keluaran. Setelah itu Imamat, disambung
dengan Bilangan, dan kemudian Ulangan. Di bagian-bagian tertentu memang sedikit
lebih lama, terutama di bagian semua peraturan itu dijelaskan, namun aku tetap
membacanya. Aku merasakan suatu dorongan yang tidak sepenuhnya kumengerti.
Hari sudah larut
sekali di suatu malam, dan aku sudah lelah saat akhirnya aku sampai di bagian
Mazmur, tapi entah mengapa aku tahu bahwa inilah yang sebetulnya yang sedang
kucari. Semua orang pernah mendengar tentang Mazmur 23, yang dimulai dengan,
“Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku,” namun aku juga ingin membaca
yang lain, mengingat bahwa tak satu pun bagian lebih penting daripada yang
lain. Setelah satu jam aku sampai pada suatu bagian yang digarisbawahi, yang
kurasa ditandai Jamie karena itu berarti sesuatu baginya. Inilah bunyinya:
KepadaMu, ya TUHAN, gunung batuku, aku berseru,
janganlah berdiam diri terhadap aku,
sebab, jika Engkau tetap membisu terhadap aku, aku menjadi orang
yang turun ke dalam liang kubur.
Dengarkanlah suara permohonanku,
apabila aku berteriak kepadaMu minta tolong,
dan mengangkat tanganku
ke tempatMu yang mahakudus.
Aku menutup
Alkitab itu dengan air mata berlinang, aku tidak mampu membaca Mazmur itu
sampai selesai.
Entah bagaimana aku tahu Jamie
telah menggarisbawahi bagian itu untukku.
“Aku
tidak tahu apa yang harus kulakukan,” kataku putus asa, sambil memandangi keremangan
cahaya lampu kamar tidurku. Aku dan ibuku sedang duduk di atas tempat tidurku.
Saat itu sudah menjelang akhir bulan Januari, bulan yang paling sulit di dalam
kehidupanku, dan aku tahu bahwa di bulan Februari keadaan akan menjadi lebih
buruk lagi.
“Aku
tahu ini berat bagimu,” gumam ibuku, “tapi tidak ada yang bisa kaulakukan.”
“Maksudku
bukan mengenai sakitnya Jamie—aku tahu aku tidak bisa berbuat apa-apa mengenai
penyakitnya. Maksudku, mengenai aku dan Jamie.”
Ibuku menatapku dengan penuh simpati.
Ia mengkhawatirkan keadaan Jamie, namun ia juga mengkhawatirkanku. Aku
melanjutkan.
“Sulit rasanya
bagiku untuk berbicara dengan Jamie. Saat menatapnya yang terpikir olehku
hanyalah aku tidak akan bisa melihatnya lagi. Sehingga aku menghabiskan seluruh
waktuku di sekolah dengan memikirkan dirinya, sambil berharap dapat melihatnya
saat itu, namun saat aku sampai di rumahnya, aku tidak tahu harus berkata apa.”
“Aku
tidak yakin ada sesuatu yang dapat kaukatakan untuk membuatnya merasa lebih
baik.”
“Kalau
begitu apa yang harus kulakukan?”
Ia menatapku dengan sedih kemudian
merangkulku. “Kau benar-benar mencintainya, ya?” tanya ibuku.
“Dengan
segenap hatiku.”
Ibuku tampak sedih sekali. “Apa
kata hatimu?”
“Aku
tidak tahu.”
“Mungkin,”
ujarnya dengan hati-hati, “kau terlalu keras berusaha hingga tidak
mendengarnya.”
Hari berikutnya kulewati dengan
lebih baik bersama Jamie, meskipun tidak jauh lebih baik. Sebelum aku sampai di
rumahnya, aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak mengatakan sesuatu yang
mungkin akan membuatnya sedih—aku akan mencoba berbicara dengannya sebagaimana
yang biasa kulakukan sebelumnya—dan itulah yang terjadi kemudian.
Aku duduk di
sofanya dan menceritakan pada Jamie tentang teman-temanku dan apa yang sedang
mereka lakukan. Aku juga menceritakan padanya tentang keberhasilan tim basket
kami. Aku memberitahunya bahwa aku masih belum menerima kabar dari UNC, tapi
aku berharap akan memperoleh hasilnya dalam waktu beberapa minggu ini. Aku
memberitahunya bahwa aku merasa antusias menghadapi saat kelulusan nanti. Aku
berbicara seakan ia akan kembali berada di sekolah pada minggu berikutnya, dan
aku tahu bahwa suaraku terdengar waswas. Jamie tersenyum dan kadang-kadang
mengangguk. Namun kupikir kami sama-sama tahu menjelang akhir percakapan itu,
bahwa ini akan merupakan kali terakhir aku melakukannya. Rasanya tidak benar
bagi kami berdua.
Hatiku mengatakan padaku hal yang
persis sama.
Aku
membuka Alkitab lagi, dengan harapan akan mendapatkan petunjuk.
“Bagaimana
perasaanmu?” tanyaku beberapa hari kemudian.
Saat itu Jamie sudah kehilangan
berat lebih banyak lagi. Kulitnya mulai tampak sedikit kelabu, dan
tulang-tulang di tangannya mulai menonjol melalui kulitnya. Aku melihat
memar-memar lagi. Kami sedang berada di dalam rumahnya, di dalam ruang tamu.
Jamie sudah tidak tahan lagi terhadap udara dingin.
Tapi di samping semua itu, ia masih
tetap tampak cantik.
“Aku
baik-baik saja,” sahutnya, sambil tersenyum tegar. “Para dokter sudah memberiku
obat penahan sakit, dan sepertinya itu sedikit membantu.”
Aku mampir setiap hari. Waktu
sepertinya berjalan perlahan dan sekaligus cepat sekali pada waktu yang
bersamaan.
“Kau
mau kuambilkan sesuatu?”
“Tidak
usah, terima kasih, aku baik-baik saja.”
Aku melayangkan pandanganku ke
sekeliling ruangan itu, kemudian kembali padanya. “Aku membaca Alkitab
belakangan ini,” kataku akhirnya.
“Sungguh?”
Wajahnya tampak bersinar, mengingatkanku pada malaikat yang pernah kulihat
sewaktu pementasan. Aku tidak dapat percaya pementasan itu baru enam minggu yang
lalu.
“Aku
ingin kau tahu itu.”
“Aku
senang kau menceritakannya padaku.”
“Aku
membaca tentang Ayub tadi malam,” ujarku, “saat Tuhan menguji iman Ayub.”
Jamie tersenyum dan mengulurkan
tangannya untuk menepuk lenganku, tangannya terasa lembut di kulitku. Rasanya
menyenangkan. “Sebaiknya kau membaca yang lain. Itu bukan bagian tentang Tuhan
yang menyenangkan.”
“Untuk
apa Dia melakukan itu padanya?”
“Aku
tidak tahu,” sahut Jamie.
“Pernahkah
kau merasa dirimu seperti Ayub?”
Ia tersenyum, matanya tampak
berbinar. “Kadang-kadang.”
“Tapi
kau tidak kehilangan imanmu?”
“Tidak.”
Aku tahu iman Jamie teguh, namun aku merasa mulai kehilangan imanku.
“Apakah
karena kau merasa kau mungkin akan sembuh?”
“Tidak,”
sahutnya, “karena itulah satu-satunya hal yang masih kumiliki.”
Setelah itu, kami mulai membaca
Alkitab bersama-sama. Entah mengapa sepertinya itu merupakan hal yang tepat
untuk dilakukan. Namun hatiku tetap menyuarakan padaku bahwa mungkin masih ada
sesuatu yang lain yang bisa kulakukan.
Pada malam hari
aku berbaring di tempat tidurku sambil memikirkannya.
Membaca Alkitab memberikan sesuatu
kepada kami untuk dijadikan pusat perhatian, dan tiba-tiba segalanya mulai
membaik di antara kami. Mungkin karena aku tidak lagi merasa khawatir melakukan
sesuatu yang mungkin dapat melukai perasaannya. Apa yang mungkin lebih baik
daripada membaca Alkitab? Meskipun aku tidak tahu sebanyak yang diketahui
Jamie, kurasa ia bisa menghargai usahaku. Kadang-kadang di saat kami membaca,
ia akan meletakkan tangannya di atas lututku dan hanya mendengarkan sementara
suaraku memenuhi seluruh ruangan itu.
Kadang-kadang aku duduk di sampingnya di sofa, sambil membalik-balik
Alkitab dan sekaligus mengawasi Jamie melalui sudut mataku. Setelah itu kami akan
sampai pada suatu ayat atau mazmur, mungkin bahkan amsal, dan aku akan
menanyakan pendapat Jamie mengenai hal itu. Ia selalu memiliki jawaban, dan aku
akan mengangguk, lalu berusaha menghayatinya. Kadang-kadang ia akan menanyakan
apa pendapatku, dan aku akan berusaha sebisaku, meskipun pada saat tertentu aku
sedikit membual dan aku yakin Jamie tahu itu cuma bualanku.
“Itukah
arti sesungguhnya bagimu?” tanya Jamie, lalu aku akan mengusap daguku dan
memikirkannya kembali sebelum mencoba menjawab sekali lagi. Tapi kadang-kadang
aku tidak bisa memusatkan perhatianku karena salah Jamie, karena tangannya yang
di atas lututku dan semacamnya.
Pada hari Jumat
malam, aku mengajaknya makan malam di rumahku. Ibuku bergabung dengan kami
selagi menikmati hidangan utama, setelah itu ibuku meninggalkan meja dan duduk
di ruang rekreasi agar kami bisa berduaan.
Menyenangkan sekali duduk bersama
Jamie, dan aku tahu bahwa ia juga merasakan hal yang sama. Ia sudah jarang
meninggalkan rumah, dan ini merupakan suatu selingan yang baik baginya.
Sejak Jamie
memberitahuku tentang penyakitnya, ia tidak pernah lagi menyanggul rambutnya ke
atas. Penampilan Jamie masih sama memesonanya seperti saat pertama kali aku
melihatnya dengan rambut tergerai. Ia sedang memperhatikan lemari porselen
kami—ibuku memiliki lemari yang ada lampunya di dalam—ketika aku mengulurkan
tanganku dan meraih tangannya.
“Terima
kasih mau datang kemari malam ini,” ujarku.
Ia mengalihkan perhatiannya kembali
kepadaku. “Terima kasih karena telah mengajakku.”
Aku terdiam. “Bagaimana keadaan
ayahmu?”
Jamie menghela napasnya. “Tidak
terlalu baik. Aku sering mengkhawatirkannya.”
“Ia
amat mencintaimu, kau tahu.”
“Aku
tahu.”
“Aku
juga mencintaimu,” kataku, dan saat aku mengucapkannya, ia berpaling. Mendengar
aku mengucapkannya seakan membuat Jamie takut lagi.
“Maukah
kau terus datang ke rumahku,” tanyanya. “Bahkan kelak, kau tahu kan, saat…?”
Aku meremas tangannya, tidak
keras-keras, tapi cukup untuk meyakinkannya bahwa aku serius dengan
perkataanku.
“Selama
kau mau aku datang, aku akan ke sana.”
“Kita
tidak perlu membaca Alkitab lagi, kalau kau tidak mau.”
“Tidak,”
ujarku pelan. “Kurasa kita menyukainya.”
Ia tersenyum. “Kau memang teman
yang baik, Landon. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan tanpa dirimu.”
Ia meremas tanganku, membalas
remasanku. Wajahnya tampak berseri saat duduk di hadapanku.
“Aku
mencintaimu, Jamie,” ujarku lagi, tapi kali ini ia tidak tampak takut. Malah
kami saling menatap, dan aku memperhatikan saat matanya mulai berbinar. Ia
menghela napas kemudian mengalihkan pandangannya, mengusap rambutnya dengan
tangan, dan setelah itu menatapku kembali. Aku mengecup tangannya, membalas
senyumnya.
“Aku
juga mencintaimu,” bisiknya.
Selama ini aku berdoa ingin
mendengar kata-kata itu.
* * *
Aku tidak tahu
apakah Jamie pernah menceritakan kepada Hegbert mengenai perasaannya
terhadapku. Entah mengapa aku meragukannya karena Hegbert tampaknya tidak
berubah sama sekali. Sudah merupakan kebiasaannya untuk meninggalkan rumah di
saat aku datang ke sana sepulang sekolah, dan ini terus berlanjut. Aku akan
mengetuk pintu dan mendengarkan sementara Hegbert mengatakan kepada Jamie bahwa
ia akan pergi dan baru akan kembali beberapa jam kemudian. “Oke, Daddy,” adalah
yang selalu aku dengar, kemudian aku akan menunggu sampai Hegbert membuka
pintu. Begitu ia mempersilakanku masuk, ia akan membuka lemari di ruang depan
dan mengeluarkan jas serta topinya tanpa berbicara, mengancing semua kancing
jasnya sebelum meninggalkan rumah. Jasnya model kuno, berwarna hitam dan
panjang, seperti jas hujan tanpa ritsleting, yang pernah dianggap modis sekitar
satu abad sebelumnya. Ia jarang berbicara langsung padaku, bahkan setelah ia
tahu aku dan Jamie mulai sering membaca Alkitab bersama.
Meskipun ia
masih kurang menyukai kehadiranku di rumahnya di saat ia sedang tidak di sana,
ia tetap memperbolehkanku masuk. Aku tahu sebagian dari alasannya adalah karena
ia tidak ingin Jamie kedinginan selagi kami duduk-duduk di teras, dan
satu-satunya alternatif yang ada adalah tetap tinggal di dalam rumah sementara
aku ada di sana. Tapi kurasa Hegbert juga membutuhkan waktu untuk menyendiri,
dan itulah alasan sesungguhnya untuk perubahan itu. Ia tidak membicarakan
peraturan di rumahnya denganku—aku bisa melihat itu di matanya sejak pertama
kali ia menyatakan bahwa aku boleh masuk. Aku diperbolehkan masuk ke dalam
ruang tamunya, itu saja.
Jamie masih bisa
mondar-mandir ke sana kemari, meskipun musim dingin kali ini lebih ganas. Arus
angin dingin yang melanda sepanjang akhir bulan Januari berlangsung selama
sembilan hari, disusul dengan hujan lebat selama tiga hari berturut-turut.
Jamie sama sekali tidak berminat untuk meninggalkan rumah di dalam cuaca
seperti itu. Meskipun setelah Hegbert pergi, aku dan Jamie mungkin akan berdiri
di teras selama beberapa menit untuk menghirup udara laut yang segar. Setiap
kali kami melakukannya, aku mengkhawatirkan Jamie.
Sementara kami
membaca Alkitab, pintu akan diketuk orang sedikitnya tiga kali setiap hari.
Selalu ada yang mampir sebentar, ada yang membawakan makanan, ada yang cuma
ingin memberi salam. Bahkan Eric dan Margaret sempat mampir, dan meskipun Jamie
sebetulnya tidak boleh mengajak mereka masuk, ia tetap melakukannya, dan kami
duduk di dalam sambil mengobrol, sementara mereka tidak dapat menatap mata
Jamie.
Mereka berdua kelihatan resah, dan
setelah beberapa saat mereka akhirnya menyatakan maksud kedatangan mereka. Eric
datang untuk meminta maaf, dan ia menambahkan bahwa ia tidak mengerti mengapa
semua ini justru harus terjadi pada Jamie. Ia juga membawa sesuatu untuk Jamie,
dan meletakkan sebuah amplop di atas meja dengan tangan gemetar. Suaranya serak
saat berbicara, kata-katanya terdengar amat emosional.
“Tidak
ada seorang pun yang punya kebesaran hati sepertimu,” ujarnya kepada Jamie,
suaranya tersendat, “meskipun aku selalu mengabaikanmu dan aku tidak bersikap
baik padamu, aku tetap ingin kau tahu bagaimana perasaanku. Aku belum pernah
merasa lebih menyesal mengenai apa pun di dalam hidupku.” Eric terdiam sejenak
dan mengusap sudut matanya. “Kaulah orang terbaik yang mungkin pernah kukenal.”
Sementara ia
sedang berusaha untuk menahan air matanya, Margaret sudah tidak dapat menguasai
dirinya lagi dan mulai terisak, tanpa mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Setelah Eric selesai berbicara, Jamie menghapus air mata di pipinya,
perlahan-lahan berdiri, dan tersenyum, membuka kedua lengannya dalam cara yang
hanya dapat dinyatakan sebagai pengungkapkan maaf yang ia berikan. Eric
menyambutnya dengan spontan, dan akhirnya mulai menangis sementara Jamie dengan
lembut membelai rambutnya dan menggumamkan sesuatu padanya. Mereka berdua
berpelukan selama beberapa saat sementara Eric terus terisak sampai ia terlalu
lelah untuk menangis.
Kemudian giliran
Margaret, dan mereka berdua melakukan hal yang sama.
Ketika Eric dan Margaret akhirnya
siap untuk pamit pulang, mereka mengenakan jaket dan menatap Jamie sekali lagi,
seakan ingin mengingat Jamie untuk selamanya. Aku tidak ragu mereka ingin
mengingat Jamie sebagaimana ia tampak pada saat itu. Bagiku Jamie betul-betul
kelihatan cantik, dan aku yakin mereka juga merasakan hal yang sama.
“Bertahanlah,”
kata Eric saat melangkah ke luar pintu. “Aku akan berdoa untukmu, demikian pula
yang lain.” Setelah itu Eric menoleh ke arahku, mengulurkan tangannya, dan
menepuk pundakku, “Kau juga,” tambahnya, matanya merah. Sementara aku mengawasi
mereka pergi, aku tahu aku belum pernah merasa sebangga itu pada mereka.
Kemudian, saat
kami membuka amplop dari Eric, kami baru tahu apa yang telah dilakukan oleh
sahabatku itu. Tanpa mengatakan apa-apa kepada kami, ia telah berhasil
mengumpulkan lebih dari $400 untuk anak-anak panti asuhan.
Aku terus menantikan mukjizat itu.
Namun tidak kunjung datang.
Di awal bulan
Februari obat yang diminum Jamie semakin banyak untuk membantu mengatasi rasa
sakit yang harus ditanggungnya. Dosis yang lebih tinggi itu membuatnya pusing,
dan Jamie terjatuh dua kali saat berjalan menuju kamar mandi, sekali kepalanya
membentur wastafel. Setelah itu ia bersikeras agar para dokter mengurangi jumlah
obatnya, dan dengan enggan mereka terpaksa menuruti keinginannya. Meskipun
Jamie kemudian bisa berjalan dengan normal, sakit yang dideritanya semakin
menjadi-jadi, dan kadang-kadang bahkan mengangkat lengannya saja sudah membuat
ia mengernyit kesakitan. Leukemia merupakan penyakit dalam darah, yang mengalir
mengikuti peredaran darah ke seluruh bagian tubuh. Prakits tidak ada cara untuk
melepaskan diri dari penyakit itu selama jantung masih bekerja.
Namun penyakit
itu juga melemahkan bagian-bagian tubuh yang lain, terutama otot, sehingga
membuat usaha untuk melakukan hal yang paling sederhana sekalipun menjadi lebih
sulit. Dalam minggu pertama bulan Februari, berat Jamie turun tiga kilogram,
dan tak lama setelah itu berjalan pun menjadi semakin sulit baginya, kecuali
hanya untuk jarak yang pendek. Itu, tentu saja, kalau ia dapat menahan rasa
sakitnya, yang pada waktunya juga semakin sulit baginya. Jamie mulai meminum
obat-obatnya lagi, dengan menerima rasa pusing untuk mengatasi sakitnya.
Kami masih sering membaca Alkitab.
Setiap kali aku
mengunjungi Jamie, aku akan melihatnya di atas sofa dengan Alkitab dalam
keadaan terbuka, dan aku tahu bahwa pada akhirnya Hegbert harus menggendong
Jamie ke sana kalau kami masih terus ingin membaca bersama. Meskipun Jamie
tidak pernah mengatakan apa-apa kepadaku, kami sama-sama tahu apa artinya semua
itu.
Waktuku semakin sedikit, dan hatiku
terus mengatakan padaku bahwa masih ada sesuatu yang dapat kulakukan.
* * *
Pada tanggal 14
Februari, Hari Valentine, Jamie memilih sebuah ayat dari Korintus yang amat
berarti baginya. Ia memberitahuku bahwa seandainya ia punya kesempatan, maka
ayat inilah yang ingin dibacakan pada hari pernikahannya. Inilah bunyinya:
Kasih itu sabar; kasih itu murah
hati. Ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak
melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak
pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena
ketidakadilan, tapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya
segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.
Jamie merupakan sumber yang paling
murni dari deskripsi itu.
Tiga hari kemudian, di saat suhu
udara mulai terasa sedikit lebih hangat, aku menunjukkan sesuatu yang indah
sekali padanya. Sesuatu yang kuyakin tidak pernah dilihat Jamie sebelumnya,
sesuatu yang kutahu ingin dilihatnya.
Daerah timur
laut Carolina merupakan bagian terindah dan paling istimewa di wilayah kami,
dengan udaranya yang bersuhu sedang dan letak geografisnya yang menakjubkan.
Buktinya bisa dilihat di tepi sungai Bogue, sebuah pulau yang terletak persis
di seberang pantai, dekat tempat kami dibesarkan. Pulau dengan panjang dua
puluh empat mil dan lebar hampir satu mil ini merupakan keajaiban alam.
Membujur dari arah timur ke barat, merangkum daerah pesisir dalam jarak
setengah mil dari tepiannya. Mereka yang tinggal di sana bisa menyaksikan
saat-saat menakjubkan terbit dan terbenamnya matahari setiap hari sepanjang
tahun, keduanya melintasi hamparan Samudra Atlantik yang membentang tengah.
Jamie yang berpakaian ekstra tebal
berdiri di sebelahku di tepi Dermaga Iron Steamer saat malam yang sempurna di
daerah selatan di kejauhan dan memintanya untuk menunggu. Aku bisa melihat uap
napas kami, napas Jamie lebih cepat daripada napasku. Aku harus menopang Jamie
saat kami berdiri di sana—sepertinya ia lebih ringan daripada daun-daun pohon
yang berjatuhan di musim gugur—namun aku tahu bahwa ini tidak akan sia-sia.
Pada waktunya
bulan yang berkilauan mulai tampak seakan terbit dari laut, memantulkan suatu
kilasan cahaya di atas hamparan air yang perlahan-lahan berubah gelap dan
menyemburatkan ribuan nuansa berbeda, yang satu lebih indah daripada
sebelumnya. Pada waktu yang bersamaan, matahari menyentuh garis cakrawala di
arah yang berlawanan, mengubah warna langit menjadi kemerahan, oranye, dan
kuning, seakan surga di atas sana tiba-tiba membuka seluruh gerbangnya dan
mencurahkan semua keindahannya dalam kemuliaan surgawi. Laut berubah menjadi
bernuansa perak keemasan sementara warna-warna yang terus bergerak itu memantul
di atasnya. Airnya yang beriak tampak berkilauan mengikuti perubahan cahaya.
Pemandangan itu megah, nyaris seperti awal dunia. Matahari terus terbena,
membiaskan sinarnya sejauh mata memandang, sebelum akhirnya perlahan-lahan
menghilang di balik alunan ombak. Bulan terus naik perlahan-lahan, menebarkan
kemilau dalam berbagai nuansa kuning, semakin lama semakin pucat, sebelum
akhirnya berubah warna seperti warna bintang-bintang.
Jamie tertegun
menyaksikan semua ini, lenganku merangkul pinggangnya dengan erat, napasnya
pendek-pendek dan leah. Sewaktu langit akhirnya menjadi gelap dan kilau bintang
pertama mulai bersinar di langit sebelah selatan, aku memeluknya. Dengan lembut
aku mencium kedua belah pipinya dan setelah itu bibirnya.
“Begitulah,”
ujarku, “tepatnya perasaanku padamu.”
* * *
Seminggu
kemudian kunjungan Jamie ke rumah sakit menjadi semakin teratur, meskipun ia
bersikeras tidak ingin menginap di sana. “Aku ingin meninggal di rumah,” adalah
yang dikatakannya. Mengingat para dokter tidak dapat melakukan apa-apa lagi
baginya, mereka tidak punya pilihan lain selain mengikuti kemauannya.
Setidaknya untuk sementara waktu.
“Aku
sering memikirkan kejadian-kejadian selama beberapa bulan terakhir ini,” kataku
pada Jamie.
Kami sedang berada di ruang duduk,
berpegangan tangan sambil membaca Alkitab. Wajahnya tampak semakin kurus,
rambutnya mulai kehilangan sinarnya. Namun matanya, mata yang biru dan lembut
itu, masih secantik sebelumnya.
Aku tidak yakin pernah melihat
seseorang secantik dirinya.
“Aku
juga,” sahutnya.
“Kau
tahu, sejak hari pertama di kelas Miss Garber bahwa aku akan bermain dalam
drama itu, bukan? Di saat kau menatapku dan tersenyum?”
Jamie mengangguk. “Ya.”
“Dan
ketika aku mengajakmu ke pesta dansa homecoming itu, kau membuatku
berjanji tidak akan jatuh cinta padamu, tapi kau sudah tahu aku akan jatuh
cinta padamu, kan?”
Kilau nakal membayang di matanya.
“Ya.”
“Bagaimana kau bisa tahu?”
Ia mengangkat bahunya tanpa
menjawab, dan kami duduk berdua di sana selama beberapa saat sambil mengawasi
hujan yang sedang menerpa permukaan kaca jendela.
“Ketika
aku mengatakan padamu bahwa aku mendoakanmu,” kata Jamie akhirnya, “kaupikir
apa maksudku?”
Sakitnya menjadi semakin parah, dan
semua berjalan semakin cepat menjelang bulan Maret. Ia meminum lebih banyak
obat untuk mengatasi rasa sakitnya, dan perutnya sering mual sehingga tidak
bisa makan banyak. Tubuhnya semakin lemah, dan tampaknya Jamie harus segera
dirawat di rumah sakit, meskipun sebetulnya ia tidak mau.
Ibu dan ayahkulah yang mengubah
semuanya.
Ayahku pulang
naik mobil dari Washington. Ia buru-buru berangkat meskipun Kongres masih
bersidang. Rupanya ibuku yang meneleponnya dan mengatakan kepada ayahku jika ia
tidak segera pulang, sebaiknya ia tetap tinggal di Washington saja untuk
selamanya.
Setelah ibuku memberitahu ayahku
apa yang sedang terjadi, ayahku mengatakan bahwa Hegbert takkan pernah mau
menerima uluran tangannya. Ia menganggap Hegbert terlalu sakit hati untuk
memaafkannya, dan sudah terlambat untuk melakukan sesuatu sekarang.
“Ini bukan soal keluargamu, atau
bahkan soal Pendeta Sullivan, atau entah apa yang pernah terjadi dulu,” kata
ibuku padanya, yang menolak menerima alasannya. “Ini tentang putra kita, yang
kebetulan jatuh cinta pada seorang gadis muda yang membutuhkan bantuan kita.
Dan kau harus menemukan suatu cara untuk menolongnya.”
Aku tidak tahu
apa yang dikatakan ayahku pada Hegbert atau janji apa yang harus ia buat atau
berapa biayanya untuk semua ini. Aku cuma tahu bahwa Jamie kemudian dikelilingi
oleh berbagai peralatan canggih, memperoleh semua obat yang dibutuhkannya, dan
terus diawasi oleh dua orang perawat sementara seorang dokter memantau
kondisinya selama beberapa kali dalam sehari.
Jamie bisa tetap tinggal di rumah.
Malam itu aku menangis dalam
pelukan ayahku untuk pertama kalinya dalam hidupku.
“Apakah
masih ada yang kausesali?” tanyaku pada Jamie. Ia sedang berada di atas tempat
tidurnya dengan ditutupi selimut, slang di lengannya mengalirkan obat-obatan
yang ia butuhkan ke dalam tubuhnya. Wajahnya pucat, tubuhnya seringan bulu.
Jamie nyaris tidak bisa berjalan, dan kalau memaksa untuk berjalan, ia harus
dibantu oleh orang lain sekarang.
“Kita
semua memiliki penyesalan, Landon,” sahutnya, “namun aku telah menjalani
kehidupan yang sangat indah.”
“Bagaimana
kau bisa bicara seperti itu?” tanyaku, hampir tidak bisa menahan kepedihanku.
“Dengan semua yang terjadi pada dirimu?”
Ia meremas
tanganku, cengkeramannya lemah. Ia tersenyum lembut padaku.
“Ini
semua,” Jamie mengakui, sambil melihat ke sekelilingnya, “semestinya bisa lebih
baik.”
Aku tetap
tertawa meskipun mataku berkaca-kaca, kemudian langsung merasa bersalah karena
telah tertawa. Seharusnya aku memberikan dukungan padanya, bukan sebaliknya.
Jamie melanjutkan ucapannya.
“Tapi selain
itu, aku bahagia sekali, Landon. Sungguh. Aku memiliki ayah yang istimewa, yang
mengajarkanku tentang Tuhan. Aku bisa mengenang kembali dan tahu bahwa aku
tidak mungkin bisa melakukan lebih banyak dalam menolong orang lain sejauh yang
telah kulakukan selama ini.” Ia terdiam sejenak dan menatapku. “Aku bahkan
sudah pernah jatuh cinta dan orang itu membalas cintaku.”
Aku mencium tangannya setelah Jamie
mengatakan itu, kemudian mendekatkan tangannya ke pipiku.
“Itu
tidak adil,” ujarku.
Jamie tidak menjawab.
“Kau
masih takut?” tanyaku.
“Ya.”
“Aku
juga takut,” ujarku.
“Aku
tahu. Maafkan aku.”
“Apa
yang bisa kulakukan?” tanyaku putus asa. “Aku tidak tahu lagi apa yang
seharusnya kulakukan.”
“Maukah
kau membaca untukku?”
Aku mengangguk, meskipun aku tidak
yakin apakah aku akan sanggup membaca sampai ke halaman berikutnya tanpa
perasaanku hancur sebelumnya.
Ya Tuhan, katakanlah apa yang
harus kulakukan!
“Mom?”
ujarku pada ibuku malam itu.
“Ya?”
Kami sedang
duduk di sofa di dalam ruang rekreasi, api pendiangan menyala di dekat kami.
Sebelumnya pada hari itu, Jamie tertidur selagi aku membaca baginya. Aku tahu
ia butuh istirahat, sehingga aku menyelinap keluar dari kamarnya. Namun sebelum
aku keluar, aku mencium pipinya perlahan-lahan. Tidak terjadi apa-apa
sebetulnya, tapi Hegbert kebetulan masuk saat aku mencium Jamie, dan aku sempat
melihat konflik emosi yang terpancar di matanya. Ia menatapku. Ia tahu aku
mencintai putrinya, tapi selain itu aku juga telah melanggar salah satu
peraturan di rumahnya, meskipun itu tidak pernah sampai diucapkan. Seandainya
Jamie tidak dalam keadaan sakit, aku tahu ia takkan pernah mengizinkanku masuk
ke rumahnya lagi. Akhirnya aku berjalan keluar dari kamar.
Sebenarnya aku
tidak dapat menyalahkan Hegbert. Melewatkan waktu bersama Jamie telah membuat
perasaan kecewaku menanggapi sikapnya mereda. Kalaupun Jamie mengajarkan
sesuatu kepadaku selama beberapa bulan terakhir ini, maka ia telah menunjukkan
kepadaku bahwa perbuatan—bukan pikiran atau niat—merupakan cara untuk menilai
seseorang, dan aku tahu bahwa Hegbert akan mengizinkanku masuk ke rumahnya pada
hari berikutnya. Aku sedang memikirkan semua itu saat duduk di sofa di sebelah
ibuku.
“Apakah
menurutmu keberadaan kita dalam kehidupan ini memiliki tujuan?” tanyaku.
Baru pertama kali inilah aku
mengajukan pertanyaan seperti itu kepadanya, namun situasinya memang lain kali
ini.
“Aku
tidak yakin aku mengerti apa maksudmu,” sambutnya sambil mengangkat alis.
“Maksudku,
dari mana kau bisa tahu apa yang seharusnya kaulakukan?”
“Apakah
kau menanyakan padaku soal melewatkan waktu dengan Jamie?”
Aku mengangguk,
meskipun aku masih bingung. “Bisa dibilang begitu. Aku tahu aku melakukan
sesuatu yang benar, tapi… sepertinya masih ada sesuatu yang kurang. Aku
melewatkan waktu dengannya, berbicara, dan membaca Alkitab, tapi…”
Aku terdiam sebentar, dan ibuku
menyelesaikan isi pikiranku itu untukku.
“Menurutmu
seharusnya kau melakukan lebih?”
Aku mengangguk.
“Aku
tidak yakin masih ada lagi yang dapat kaulakukan, Sayang,” katanya
dengan lembut.
“Lalu
mengapa aku merasa seperti yang kurasakan sekarang?”
Ia menggeser duduknya lebih dekat
dengan aku, dan kami mengawasi api di pendiangan itu bersama-sama.
“Kurasa
itu karena kau takut dan merasa tidak berdaya, dan meskipun kau mencobanya,
situasinya terus semakin memburuk—untuk kalian berdua. Dan semakin kau mencoba,
kau merasa seperti semakin tidak berdaya.”
“Adakah
suatu cara untuk menghentikan perasaan ini?”
Ia melingkarkan lengannya di
pundakku dan menarikku ke dekatnya. “Tidak,” sahutnya dengan lembut, “tidak
ada.”
Keesokan harinya
Jamie tidak bisa turun dari tempat tidur. Karena ia sekarang merasa terlalu
lemah untuk berjalan bahkan dengan bantuan sekalipun, kami membaca Alkitab di
dalam kamarnya.
Ia tertidur beberapa menit
kemudian.
Satu minggu lagi berlalu dan
kondisi Jamie terus merosot, tubuhnya semakin lemah. Terbaring di atas tempat
tidurnya, membuat Jamie tampak lebih kecil, nyaris seperti gadis kecil lagi.
“Jamie,”
ujarku dalam nada memohon, “apa yang bisa kulakukan untukmu?”
Jamie,
Jamie-ku yang manis, mula tidur selama beberapa jam terus-menerus sekarang,
bahkan di saat aku berbicara padanya. Ia tidak bergerak mendengar suaraku,
irama napasnya cepat dan lemah.
Aku duduk di
samping tempat tidurnya dan mengawasinya selama beberapa waktu, meresapi
perasaan cintaku padanya. Aku menggenggam tangannya di dekat jantungku,
merasakan jari-jarinya yang kurus. Sebagian dari diriku ingin menangis saat
itu, namun aku meletakkan tangannya kembali kemudian berpaling ke arah jendela.
Kenapa, tanyaku
pada diri sendiri, duniaku tiba-tiba menjadi suram seperti ini? Kenapa semua
ini harus terjadi pada seseorang seperti Jamie? Aku mempertanyakan apakah masih
ada hikmah di balik semua ini? Apakah ini semua, seperti yang akan dikatakan
Jamie, hanya bagian dari rencana Tuhan? Apakah Tuhan menginginkanku jatuh cinta
padanya? Atau apakah ini hanya perbuatanku belaka? Semakin lama Jamie tidur,
semakin aku merasakan kehadirannya di dekatku, namun jawaban atas
pertanyaan-pertanyaanku ini masih juga belum jelas seperti sebelumnya.
Di luar, hujan
yang turun sejak pagi sudah mulai mereda. Memang hari ini mendung, tapi
sekarang, menjelang sore, sinar matahari mulai tampak menerobos gumpalan awan.
Dalam kesejukan suasana musim semi aku melihat tanda-tanda awal kehidupan alam.
Pohon-pohon di luar mulai mengeluarkan tunas, daun-daun sedang menanti saat
yang tepat untuk keluar dan tumbuh menyambut musim panas lagi.
Di atas meja
kecil di samping tempat tidurnya aku melihat koleksi benda-benda yang berarti
bagi Jamie. Ada foto ayahnya, menggandeng tangan Jamie yang ketika itu masih
kanak-kanak dan berdiri di luar gedung sekolah pada hari pertamanya di taman
kanak-kanak, ada pula setumpuk kartu yang dikirim oleh anak-anak panti asuhan.
Sambil menghela napas, aku meraih kartu-kartu itu dan membuka kartu paling
atas.
Ditulis dengan krayon, bunyinya:
Cepatlah sembuh. Aku kangen.
Kartu itu
ditandatangani oleh Lydia, si gadis kecil yang tertidur di pangkuan Jamie pada
Malam Natal. Kartu kedua mengekspresikan pesan yang sama, namun yang
sungguh-sungguh menarik perhatianku adalah gambar yang dibuat oleh si bocah,
Roger. Ia telah menggambar seekor burung yang terbang tinggi di atas pelangi.
Dengan terharu aku menutup kartu
itu. Aku tidak tahan melihat yang lain, dan saat aku mengembalikan tumpukan itu
di tempatnya semula, aku melihat kliping koran, persis di dekat gelas minum
Jamie. Aku meraih potongan kertas itu dan melihat bahwa itu adalah liputan
mengenai pementasan kami, yang diterbitkan dalam koran hari Minggu persis
sehari setelah pementasan kami yang terakhir. Dalam foto di atas teks itu, aku
melihat satu-satunya foto kami berdua.
Semua itu
sepertinya sudah lama berlalu. Aku melihat artikel itu lebih dekat. Saat
mengamatinya, aku teringat pada perasaanku ketika melihat dirinya malam itu.
Aku memperhatikan gambarnya, dan mencoba mencari suatu tanda yang membuktikan
bahwa ia sudah merasakan apa yang akan terjadi. Aku tahu bahwa ia sudah
merasakannya, namun ekspresinya pada malam itu sama sekali tidak mengungkapkan
apa-apa. Malah yang kulihat hanyalah luapan rasa bahagianya. Aku lalu menghela
napas dan menyisihkan kliping itu.
Alkitab itu masih tergeletak dalam keadaan terbuka di tempat aku
meninggalkannya sebelumnya, dan meskipun Jamie sedang tidur, aku merasa butuh
untuk membaca sedikit lagi. Akhirnya aku sampai di suatu ayat lain. Begini
bunyinya:
Aku mengatakan hal itu bukan
sebagai perintah, melainkan, dengan menunjukkan usaha orang-orang lain untuk
membantu, aku mau menguji keikhlasan kasih kamu.
Kata-kata itu membuatku merasa
terharu lagi, dan pada saat air mataku akan mengalir turun, aku tiba-tiba
mengerti artinya dengan jelas.
Tuhan akhirnya memberikan
jawaban-Nya kepadaku, dan tiba-tiba aku tahu apa yang harus kulakukan.
Aku tidak akan
bisa sampai di gereja dengan lebih cepat, bahkan seandainya aku naik mobil
sekalipun. Aku memotong jalan sebisa mungkin, melintasi halaman belakang rumah
seseorang, melompati pagar-pagar, dan sekali menerobos masuk melalui garasi
seseorang dan keluar lagi melalui pintu sampingnya. Semua yang kupelajari
mengenai kota itu di saat aku dibesarkan langsung kupraktekkan. Meskipun aku
bukan atlet yang berprestasi, pada hari ini semangatku menggebu-gebu, didorong
oleh apa yang harus kulakukan.
Aku tidak peduli bagaimana
penampilanku ketika aku tiba karena kurasa Hegbert pun tidak peduli. Sewaktu
aku akhirnya memasuki gereja, aku memperlambat langkah-langkahku, sambil
mencoba mengatur napasku saat menuju ruang belakang, ke ruang kerja Hegbert.
Hegbert mendongakkan kepalanya saat
melihatku, dan aku tahu mengapa ia sedang berada di situ. Ia tidak mengundangku
masuk, melainkan hanya mengalihkan pandangannya, ke arah jendela lagi. Di rumah
ia menghadapi penyakit anaknya dengan membersihkan seluruh rumahnya nyaris
seperti orang kerasukan. Tapi di sini, kertas-kertasnya berserakan di atas
seluruh permukaan mejanya, dan buku-bukunya tersebar di seluruh ruangan seakan
tak ada seorang pun yang membereskannya selama berminggu-minggu. Aku tahu di
sinilah tempatnya memikirkan Jamie, tempat yang didatangi Hegbert untuk
menangis.
“Pendeta?”
sapaku dengan hati-hati.
Ia tidak menjawab, namun aku tetap
melangkah masuk.
“Aku
ingin sendirian,” ujarnya dalam suara parau.
Ia tampak tua dan kalah, seperti
orang-orang Israel yang dikisahkan oleh Daud dalam ayat-ayat Mazmur. Wajahnya
pucat, dan rambutnya kelihatan lebih tipis lagi sejak bulan Desember. Mungkin
ia harus berusaha untuk mempertahankan semangatnya di sekitar Jamie, lebih
daripada yang kulakukan, dan tekanan yang dirasakannya selama itu ternyata amat
melelahkannya.
Aku langsung menuju meja tulisnya,
dan ia melirik ke arahku sebelum berpaling ke jendela lagi.
“Aku
mohon,” ujarnya kepadaku. Nadanya tidak berdaya, seakan tidak memiliki kekuatan
lagi bahkan untuk menghadapiku.
“Aku
ingin berbicara dengan Anda,” kataku tegas. “Aku tidak akan memintanya kecuali
kalau ini memang penting sekali.”
Hegbert menghela napas, dan aku
duduk di kursi yang pernah kududuki sebelumnya, ketika aku menanyakan padanya
apakah ia mengizinkanku mengajak Jamie pergi keluar pada Malam Tahun Baru.
Ia mendengarkan saat aku
memberitahu apa yang ada di dalam benakku. Ketika aku selesai bicara, Hegbert
berpaling ke arahku. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam pikirannya, tapi aku
merasa bersyukur ia tidak mengatakan tidak. Malah ia mengusap matanya dengan
jemarinya dan berpaling ke arah jendela.
Bahkan Hegbert, merasa sangat
terkejut ketika itu hingga tidak bisa bicara.
Sekali lagi aku lari, aku tidak
lelah, niatku memberikan kekuatan yang kubutuhkan untuk terus melaju. Begitu
aku sampai di rumah Jamie, aku langsung masuk tanpa mengetuk, dan si perawat
yang sedang berada di dalam kamarnya keluar untuk melihat apa yang terjadi.
Sebelum ia mengatakan sesuatu, aku lebih dulu bicara.
“Apakah
Jamie sudah bangun?” tanyaku, antusias dan cemas pada waktu yang bersamaan.
“Sudah,”
jawab si perawat dalam nada waswas. “Begitu bangun, ia menanyakan di mana kau
berada.”
Aku meminta maaf
atas penampilanku yang tidak keruan dan mengucapkan terima kasih padanya,
setelah itu aku bertanya apakah ia tidak keberatan meninggalkan kami berdua
selama beberapa waktu. Aku melangkah masuk ke kamar Jamie, menutup pintunya
sebagian di belakangku. Ia tampak pucat, pucat sekali, namun senyumannya
memberitahuku bahwa ia masih mau berjuang.
“Halo,
Landon,” tegurnya, suaranya lemah, “terima kasih mau datang kembali.”
Aku menarik sebuah kursi dan duduk
di dekatnya, sambil menggenggam tangannya. Melihatnya terbaring di sana
membuatku merasa tidak nyaman, membuatku nyaris ingin menangis.
“Aku
sudah kemari tadi, tapi kau sedang tidur,” ujarku.
“Aku
tahu… maafkan aku. Sepertinya aku tidak bisa menahan kantukku lagi.”
“Tak
apa-apa, sungguh.”
Ia mengangkat tangannya sedikit,
dan aku menciumnya, kemudian mencodongkan tubuhku ke depan untuk mencium
pipinya.
“Kau
mencintaiku?” tanyaku padanya.
Ia tersenyum. “Ya.”
“Kau
mau membuatku bahagia?” Saat aku menanyakan pertanyaan ini padanya, aku merasa
jantungku mulai berdebar-debar.
“Tentu
saja aku mau.”
“Kalau
begitu, kau mau melakukan sesuatu untukku?”
Ia memalingkan wajahnya, kesedihan
membayang di sana. “Aku tidak yakin apakah aku masih bisa melakukannya,” sahut
Jamie.
“Tapi
kalau kau bisa, kau mau, kan?”
Aku tidak dapat
menggambarkan dengan tepat bagaimana persisnya perasaanku ketika itu. Cinta,
amarah, kesedihan, harapan, dan ketakutan berbaur menjadi satu, diperuncing
kecemasan yang sedang kurasakan. Jamie menatapku dengan heran, dan irama
napasku menjadi lebih cepat. Tiba-tiba aku tahu bahwa perasaanku terhadap
seseorang tidak pernah sekuat yang kurasakan saat itu. Saat membalas
tatapannya, kenyataan sederhana itu membuatku berharap untuk kesekian kalinya
aku dapat membuat semua kepedihan ini hilang. Seandainya itu memang mungkin,
aku bersedia bertukar tempat dengannya. Aku ingin sekali mengungkapkan apa yang
ada di dalam pikiranku padanya, namun suaranya tiba-tiba menenangkan emosi yang
sedang bergejolak di dalam diriku.
“Ya,” kata Jamie
akhirnya, suaranya lemah namun tetap penuh dengan janji. “Aku mau.” Akhirnya aku menciumnya lagi setelah dapat
mengendalikan diriku kembali, kemudian aku mendekatkan tanganku ke wajahnya.
Aku menikmati kehalusan kulitnya, kelembutan yang terpancar dari matanya.
Bahkan pada saat itu ia begitu sempurna.
Tenggorokanku kembali tercekat,
tapi seperti yang kukatakan sebelumnya, aku tahu sekarang apa yang harus
kulakukan. Mengingat aku harus menerima kenyataan bahwa aku tidak mungkin dapat
menyembuhkannya, yang ingin kulakukan adalah memberikan kepadanya sesuatu yang
memang dari dulu ia inginkan.
Itulah yang dikatakan oleh hatiku
selama ini.
Jamie, setahuku saat itu, telah
memberikan kepadaku jawaban yang selama ini kucari, jawaban yang dibutuhkan
oleh hatiku. Ia telah memberikan jawabannya padaku saat kami duduk berdua di
luar ruang kerja Mr. Jenkins pada malam kami menanyakan pendapatnya mengenai
pementasan drama itu.
Aku tersenyum
lembut, dan ia membalas pernyataan sayangku dengan meremas pelan tanganku,
seakan ia percaya pada apa yang akan kulakukan. Dengan perasaan lebih mantap,
aku mencondongkan tubuhku lebih dekat dan menarik napas dalam-dalam. Saat
mengeluarkan napas, aku mengucapkannya seiring dengan aliran napasku.
“Maukah
kau menikah denganku?”
BAB 13
SEWAKTU aku
berusia 17 tahun, hidupku berubah untuk selamanya.
Saat aku menyusuri jalan-jalan kota
Beaufort sekitar empat puluh tahun kemudian, sambil mengenang kembali tahun itu
dalam kehidupanku, aku mengingat segalanya dengan jelas. Seakan semua itu baru
saja terjadi di hadapanku.
Aku ingat Jamie
menjawab ya menanggapi pertanyaanku yang emosional dan bagaimana kami berdua
mulai menangis bersama. Aku ingat saat berbicara dengan Hegbert dan kedua
orangtuaku, dan menjelaskan pada mereka apa yang perlu kulakukan. Mereka
mengira aku melakukannya semata-mata hanya untuk Jamie, dan mereka bertiga
berusaha mempengaruhiku agar mau mengubah pikiranku, terutama setelah mereka
menyadari bahwa Jamie telah menerima lamaranku. Mereka tidak menyadari, dan aku
terpaksa menjelaskannya kepada mereka, bahwa aku harus melakukannya demi diriku
sendiri.
Aku sedang jatuh cinta pada Jamie,
cintaku begitu dalam baginya sehingga aku tidak peduli apakah ia sedang dalam
keadaan sakit. Aku tidak peduli jika kami tidak punya waktu lama. Semua itu
tidak penting bagiku. Saat ini aku hanya ingin melakukan apa menurut hatiku
merupakan hal yang benar untuk dilakukan. Seingatku pada saat itulah Tuhan
untuk pertama kalinya berbicara secara langsung kepadaku, dan aku yakin bahwa
aku harus mematuhi-Nya.
Aku tahu ada di
antara kalian yang mungkin bertanya-tanya apakah aku melakukannya karena rasa
iba. Mereka yang lebih sinis mungkin bahkan bertanya-tanya apakah aku
melakukannya karena Jamie sebentar lagi akan meninggal sehingga aku tidak perlu
terlalu lama berkomitmen. Jawaban untuk kedua pertanyaan itu adalah tidak. Aku
tetap akan menikahi Jamie Sullivan apa pun yang akan terjadi. Aku tetap akan
menikahi Jamie Sullivan seandainya doaku untuk meminta mukjizat ternyata
tiba-tiba dikabulkan. Aku yakin saat aku meminangnya, dan aku masih yakin
hingga hari ini.
Jamie memang lebih daripada sekadar
gadis yang kucintai. Tahun itu Jamie membantuku menjadi diriku yang sekarang.
Dengan bimbingannya ia menunjukkan padaku betapa pentingnya membantu orang lain.
Dengan kesabaran dan kelembutannya ia menunjukkan padaku apa arti hidup ini
yang sebenarnya. Sikap gembira dan optimisnya, bahkan di saat-saat sakitnya,
merupakan hal paling menakjubkan yang pernah kusaksikan.
Kami dinikahkan
oleh Hegbert di gereja Baptis, ayahku berdiri di sampingku sebagai pendamping
mempelai pria. Itu satu hal lagi yang telah dilakukan Jamie. Di daerah Selatan
berlaku tradisi bahwa ayah mempelai pria yang akan menjadi pendamping dalam
pernikahan, tapi bagiku tradisi itu tidak banyak berarti sebelum Jamie memasuki
hidupku. Jamie telah mempersatukan aku dan ayahku kembali, dan entah bagaimana
caranya ia juga telah berhasil mengobati sebagian luka di antara keluarga kami.
Setelah apa yang dilakukan oleh ayahku untuk aku dan untuk Jamie, aku tahu pada
akhirnya bahwa ayahku adalah seseorang yang selalu dapat kuandalkan. Hubungan
aku dan ayahku semakin membaik seiring dengan berlalunya wkatu sampai ayahku
akhirnya meninggal dunia.
Jamie juga mengajarkanku makna pemberian maaf dan kekuatan perubahan
dari maaf itu. Aku menyadari hal ini ketika Eric dan Margaret datang berkunjung
ke rumahnya. Jamie tidak menaruh dendam. Jamie menjalankan hidupnya sesuai
dengan ajaran Alkitab.
Jamie memang bukan hanya malaikat
yang pernah menyelamatkan Tom Thornton, tapi ia juga malaikat yang telah
menyelamatkan kami semua.
Persis seperti
yang pernah ia angankan, gereja penuh sesak. Lebih dari dua ratus tamu duduk di
dalam, dan lebih banyak dari itu menunggu di luar pintu gereja saat kami
menikah pada tanggal 12 Maret 1959. Karena kami menikah terburu-buru, tidak ada
cukup waktu untuk melakukan berbagai persiapan, dan orang-orang berdatangan
dari berbagai tempat untuk menjadikan hari itu seistimewa mungkin, meskipun
mereka cuma datang untuk memberikan dukungan pada kami.
Aku melihat semua orang yang
kukenal—Miss Garber, Eric, Margaret, Eddie, Sally, Carey, Angela, bahkan Lew
dan neneknya—dan tidak ada mata yang tetap kering di dalam gereja itu saat
musik mulai dilantunkan. Meskipun Jamie amat lemah dan sudah dua minggu tidak
turun dari tempat tidur, ia bersikeras untuk berjalan dari pintu gereja menuju
altar agar ayahnya dapat menyerahkannya kepadaku. “Ini sangat berarti bagiku,
Landon,” ujarnya ketika itu. “Ini bagian dari mimpiku, kau ingat?” Meskipun aku
merasa khawatir bahwa itu tidak mungkin, aku hanya dapat mengangguk. Mau tidak
mau aku mengagumi keyakinannya.
Aku tahu ia berencana untuk memakai
gaun yang ia kenakan di Playhouse pada malam pementasan itu. Memang hanya gaun
putih itulah yang ada dalam waktu sesingkat itu, meskipun aku tahu bahwa gaun
itu akan lebih longgar daripada sebelumnya. Sementara aku bertanya-tanya
bagaimana penampilan Jamie dalam gaun itu, ayahku meletakkan tangannya di atas
pundakku saat kami berdiri di hadapan banyak orang.
“Aku
bangga padamu, Nak.”
Aku mengangguk. “Aku juga bangga
padamu, Dad.”
Baru pertama kali itulah aku
mengucapkan kata-kata itu padanya.
Ibuku duduk di bangku baris depan,
mengusap matanya dengan sapu tangan ketika lagu Wedding March mulai
dilantunkan. Pintu-pintu dibuka dan aku melihat Jamie, duduk di kursi rodanya,
seorang perawat di sampingnya. Dengan seluruh kekuatan yang masih dimilikinya,
Jamie berdiri dengan goyah sementara Hegbert menyangga tubuhnya. Kemudian Jamie
dan Hegbert perlahan-lahan melangkah menuju altar, sementara semua orang di
dalam gereja itu duduk diam dengan perasaan takjub. Di tengah jalan, Jamie
tiba-tiba tampak kelelahan, dan mereka berhenti sebentar sementara ia mengatur
napasnya. Matanya terpejam, dan untuk sesaat aku mengira Jamie tidak dapat
melanjutkan langkahnya. Aku tahu tidak lebih dari sepuluh sampai dua belas
detik berlalu, tapi rasanya jauh lebih lama, dan akhirnya Jamie mengangguk.
Setelah itu, Jamie dan Hegbert mulai bergerak lagi, dan aku merasa hatiku
dipenuhi rasa bangga.
Aku ingat yang
terlintas dalam benakku saat itu adalah langkah paling sulit yang pernah
dilakukan oleh seseorang.
Langkah yang akan kukenang selalu.
Si perawat telah mendorong kursi
rodanya ke depan sementara Jamie dan ayahnya melangkah ke arahku. Ketika Jamie
akhirnya sampai di sampingku, terdengar suara orang-orang menghela napas lega
dan semua secara spontan mulai bertepuk tangan. Si perawat mendorong kursi
rodanya ke tempat semestinya, dan Jamie duduk kembali, kehabisan tenaga. Sambil
tersenyum aku berlutut agar aku bisa sejajar dengannya. Ayahku kemudian
melakukan hal yang sama.
Hegbert, setelah mencium pipi Jamie, meraih Alkitab untuk memulai
upacara itu. Siap untuk melakukan tugasnya sekarang, ia tampak seperti telah
menanggalkan perannya sebagai ayah Jamie untuk menjadi orang lain, di mana ia
dapat lebih menguasai emosinya. Namun aku bisa melihat bahwa Hegbert berjuang
keras saat berdiri di hadapan kami. Ia mengenakan kaca matanya dan membuka
Alkitab, kemudian ia menatap aku dan Jamie. Ternyata Hegbert menjadi jauh lebih
tinggi daripada kami, dan aku bisa melihat bahwa ia tidak menyangka bahwa kami
berada dalam posisi serendah itu. Untuk sesaat ia berdiri di hadapan kami,
nyaris kehabisan akal, kemudian tiba-tiba ia memutuskan untuk ikut berlutut.
Jamie tersenyum dan meraih tangan ayahnya, setelah itu ia meraih tanganku,
untuk dipersatukan.
Hegbert memulai upacara itu secara
tradisional, setelah itu ia membaca ayat di dalam Alkitab yang pernah
ditunjukkan Jamie kepadaku. Mengetahui bahwa Jamie sangat lemah, aku mengira
Hegbert akan menyuruh kami untuk langsung mengucapkan janji pernikahan, namun
sekali lagi Hegbert memberikan kejutan padaku. Ia menatapku dan Jamie, lalu
melayangkan pandangannya ke arah jemaatnya, lalu kembali kepada kami, seakan
sedang berusaha mencari kata-kata yang tepat.
Ia menelan ludahnya, dan volume
suaranya naik sehingga semua bisa mendengarnya. Inilah yang ia katakan:
“Sebagai seorang
ayah, aku diharapkan untuk menyerahkan putriku pada saat pernikahan, namun aku
tidak yakin aku bisa melakukannya.”
Semua terdiam, dan Hegbert
mengangguk ke arahku, seakan memohon agar aku bersabar. Jamie meremas tanganku.
“Aku tidak bisa
menyerahkan Jamie sama seperti aku tidak bisa menyerahkan hatiku. Tapi yang
dapat kulakukan adalah membiarkan seseorang ikut menikmati kebahagiaan yang
selalu diberikan Jamie kepadaku. Semoga berkat Tuhan bersama kalian berdua.”
Baru pada saat itulah Hegbert
menyisihkan Alkitab-nya. Ia mengulurkan tangannya ke arahku, dan aku
menyambutnya, untuk melengkapi lingkaran itu.
Setelah ia membimbing kami untuk
mengucapkan janji pernikahan. Ayahku menyerahkan cincin yang kupilih dengan
bantuan ibuku, dan Jamie juga memberikan cincin kepadaku. Kami menyelipkan
cincin-cincin itu di jari-jari kami. Hegbert mengawasi saat kami melakukannya,
dan setelah kami selesai, ia menyatakan kami sebagai pasangan suami-istri. Aku
mencium Jamie dengan lembut sementara ibuku mulai menangis, kemudian aku
menggenggam tangan Jamie. Di hadapan Tuhan dan semua orang aku menjanjikan
cinta dan kesetiaanku padanya, dalam sakit dan dalam keadaan sehat. Aku belum
pernah merasa begitu yakin dan benar mengenai apa pun kecuali pada saat itu.
Sepanjang ingatanku, saat itu
merupakan saat yang terindah dalam hidupku.
Kini sudah empat puluh tahun
berlalu, dan aku masih bisa mengingat semua tentang hari itu. Aku mungkin lebih
tua dan lebih bijaksana, aku mungkin telah menjalani kehidupan yang lain sejak
saat itu, namun aku tahu bila waktuku akhirnya tiba, kenangan akan hari itu
merupakan bayangan terakhir yang akan terlintas dalam ingatanku. Aku masih
mencintainya, dan aku tidak pernah melepaskan cincinku. Selama sekian tahu aku
tidak pernah punya keinginan untuk melakukannya.
Aku menarik napas dalam-dalam,
menghirup udara musim semi yang segar. Meskipun kota Beaufort sudah berubah dan
aku sudah berubah, udaranya masih tetap sama. Masih udara yang sama dari masa
kecilku, masih udara yang sama seperti ketika aku berusia tujuh belas tahun,
dan
ketika aku akhirnya
mengembuskan napas, aku berusia lima puluh tujuh tahun kembali. Tapi tidak
apa-apa. Aku tersenyum, sambil menatap langit, karena masih ada satu hal yang
belum kuberitahukan. Sekarang aku percaya bahwa mukjizat itu bisa saja terjadi.