
Mentari menyingsing semakin tinggi kian
menyengat menjadi saksi kepenatan kota Makassar dengan beragam pandangan dari
setiap sisinya. Aku mencintai kota ini tempat tinggalku hingga sekarang,
mencintai keluargaku dan sahabat-sahabatku, Kota Makassar di sebut sebagai
kotanya para daeng, dan kami bangga sebagai putra-putri Bugis-Makassar.
Sebut saja namaku Ndien Aku asli Bugis dan tinggal di
pinggiran kota Makassar, banyak hal yang memberiku alasan bahwa Aku patut
berbangga hati dengan kehidupanku ini terlebih tuhan memberi ku seorang sahabat
meskipun wajahnya gak karuan namun dialah sih Sari yang sering menghibur dan
membuatku tertawa.
“Halloo?”
“Hallo? Hujan disitu Ndien?”
“Iyalah, kenapakah?” tanyaku.
“Ndaji’ disini juga hujanki”
“Pastimi kah bersebelahanji rumahta Sari” Jawabku
mematikan telfonnya dan bergegas kekamar mandi, ku lihat ibu tengah sibuk
menyiangi sayur untuk makan siang, mau membantunya tapi kuliahku hari ini cukup
padat ia sosok wanita yang terbaik dalam hidupku dan pasti mengerti.
Handphone ku bergetar lagi? Baru saja akan ku angkat sudah
mati memang nada deringnya tak begitu jelas sejak speakernya rusak, niatnya sih
mau minta di belikan sama bapak entahlah dia bisa atau tidak menuruti
permintaanku kali ini?
“Pak?” sapaku sembari membawakan secangkir kopi
hitam.
“Hmm?”
“Pak belikanka Iphone kodong?”
“Apa itukah? Kayak bagaimana nak?
“Hp pak, ada gambar apelnya dibelakang, 2jutaanji
itu” Jelasku.
“Adddd mahalnya itu nak? Kalau begitu yang gambar
coppeng saja dulu kau cari murah itu mungkin nak?”
Kalau mendengar penjelasan bapak, sepertinya ia tak punya
uang sebanyak itu? Ku pendam saja keinginanku ini dan berlalu meninggalkan
rumah, tak lupa untuk singgah dirumah Sari, kami memang sering berangkat
bersama ke kampus.
Aku dan Sari sudah bersahabat sangat lama, sejak kami masih
duduk dibangku SMP, demikian pula aku dan keluarganya sudah ku anggap
keluargaku sendiri begitulah sebaliknya. Ibu Sari menyuruhku masuk dan terus
kekamar Sari rupanya ia masih sibuk mengemasi bukunya, seperti perempuan saja
ia begitu lambat.
“Ehh ada maki? Tunggu saya cari buku tekno ku ini
nah?” sahutnya.
“Iyye’ Sari ada mau ku tanyaki?” jawabku.
“Apa itu?”
“Kalau ada 10 binatang buas kejarko apa kau
bikin?”
“Lari ka iya.. kau iya?”
“Diam-diam jeka, kan kauji yang dikejar” jawab ku
dengan tertawa lepas melihatnya sedikit kesal.
Dengan kesal ia meninggalkanku di kamarnya, ku susul saja
tanpa menghiraukan ocehannya. Ia juga sering menertawaiku, kami sama-sama
menahan angkutan kota yang bertujuan kearah kampus meski harus sedikit berjalan
kaki, dikarenakan lokasi kampus yang sedikit melewati gang kecil terlebih
dahulu.
“Kiriiii kirii pak, berapa pak?” tanya Sari.
“Darimanaki tadi naik dek?”
“Dari pintulah” jawab Sari cuek, ku berikan 2
lembar uang lima ribu rupiah kurasa cukup sebab aku tak ingin terlalu lama
menunggu. Sari tersenyum ramah dengan seorang pria muda, akupun demikian bukan
karena sama-sama menyukai pria tersebut, aku hanya menghormatinya ia seorang
ustadz muda yang tampan dan kebetulan saja siang ini akan ada tabligh akbar di
kampus kami.
Sari menyempatkan waktu menghampiri ustadz muda itu, entah
untuk apa? Aku hanya mengikutinya saja, untung saja hari ini kami datang lebih
awal.
“Assalamu alaikum ustadz?” sapa kami hampir
bersamaan.
“Wa’alaikum salam, tidak masuk kelas?”
“Belum ada kelas ustadz”
Ia
mengangguk tanda mengerti maksud kami, aku dan Sari melempar pandangan ke
beberapa sudut kampus, dan tak menemui tanda-tanda dosen kami sudah datang,
Sari yang tak ingin suasana terus hening, mencoba untuk menarik perhatian
ustadz muda di sebelahnya.
“Ustadz, mau ka bertanya?”
“Iye’ apa mau ki tanyakan?” jawabnya ramah.
“Kalau kita bersedekah bisa ki masuk surga bede?”
“Iye dek itu memang janji allah”
“biar 500 rupiah ji ustadz?”
“Iye, tapi didekkernya ji itu”
Sari tersenyum manyun, sementara aku tak dapat menahan tawa
ku yang terlepas seiring mendengar jawaban sang ustadz, ternyata ia juga suka
bercanda dan membuat kami tidak merasa canggung berhadapan dengannya.
Sebelum kembali ke kelas, aku dan Sari nongkrong dulu di
kantin, yah sudah kebiasaan kami seperti itu setiap pagi anggaplah sarapan dulu
apalagi dosen yang akan masuk sebentar termasuk dosen killer dan dimana
mahasiswanya harus benar-benar kuat mental.
“Bu indomie rasa kari ayam ta berapa?” tanya Sari.
“Saya rasa coto Makassar bu” pesanku.
“Coto Makassar Rp.3.500, yang rasa kari ayam
Rp.4.000 dek” jelas ibu kantin.
“Eddd kenapa mahal sekali bu?” protes Sari.
“Adaji yang murah, kalau mauki?” lanjut bu kantin.
“Iye’ itu saja bu, rasa apa itu?” tanya Sari.
“Rasa tai ayam?” jelas bu kantin sembari
membawakan pesanan kami.
Aku tertawa geli dan mencoba berhenti tertawa untuk
menyantap makanan ku, sementara Sari nampak kesal dengan guyonan yang di
terimanya, dia juga sih di jaman begini masih saja cari yang murah hehe.
“Bu beli ka teh kotak ta?” ucapku.
“Tidak ada dek”
“Itu sana ada ji bu” sahut ku lagi.
“memang teh kotak itu dek, tapi tidak berbentuk
kotak mi, gimpe’mi bawahnya.” Jelasnya.
Kali ini Sari yang menertawaiku, ibu kantin kami memang
sedikit pilon, ekstra sabarlah belanja di tempatnya, setelah selesai makan aku
dan Sari menuju kelas dan kami fikir masih belum ada dosen ternyata justru kami
yang terlambat dan harus berurusan dengan dosen killer ini.
“Kalian tidak usah masuk, karna sudah terlambat
mengikuti mata kuliah saya” tegur dosen kami.
“Tapi pak dulu guru SD ku bilang tidak ada kata
terlambat untuk belajar?” jelas Sari.
“Oh iya saya lupa itu, masuk mi cepat.”
Untung saja kali ini kami lolos dari hukuman, mata kuliah
kami pagi ini mengenai teknologi informasi.
“Ndien, siapa penemunya telefon?” tanya dosenku.
“Graham bell pak” jawabku singkat.
“Kau, Sari siapa penemunya BlackBerry?”
“Tidak tau pak? Blackberry ku saja hilang.”
Aku tersenyum menunduk menahan tawa, setelah detik detik
menegangkan telah rampung dan melewatkan waktu dua jam dalam satu ruangan
bersama dosen killer, aku menghempaskan nafas lega. Sari memutuskan keluar
kelas sementara aku tetap di tempatku membaca buku.
“Oiii Uding, mau kemana?” teriak salah satu teman
Sari.
“Edd kalau siang panggilka Sari, jangan ki Uding.”
Pintanya.
“Hahaha kau itu, manami pacarmu? Masa jomblo
terus? Mauki saya carikan? Pacar seperti apa kau mau kah?”
“Pacar makan tanaman haha”
Sari tertawa terbahak-bahak dan berlalu meninggalkan
teman-temannya. Aku menyusul ingin mengajaknya ke toko sepatu seusai jam kuliah
kami nanti.
“Ooohh maaakkkkk….!!” Teriak Sari membuka pintu
rumahnya.
“Assalamu alaikum”Sahutku menyusul.
“Wa’alaikum salam.. Kenapako Saripudding?” Sahut
ibunya.
“Mak, jadi jeki kasih kawin ka kalau selesai
kuliahku toh?”
“Iyo adami calonmu kah?”
“Tidak adapi mak”
“Edd inimo dulu sabun ko pakai latihan-latihan
dulu”
Rasanya aku begitu jahat tertawa terbahak-bahak sementara
temanku itu membutuhkan bantuan untuk merasakan indahnya jatuh cinta, bagaimana
tidak? Hingga detik ini ia belum pernah pacaran, wajar saja kelakuannya yang
agak kemayu membuatnya susah mendapatkan pacar. Hanya aku wanita yang dekat
dengannya.
“Ayo pigi nonton deh” ajak Sari.
Aku menoleh ke jam dinding menunjukkan pukul 15.45
sepertinya tiket sudah habis.
“Sold out mi kayaknya” Jawabku
“Biarmi baku pangku-pangku mki”
“Hehh ko kira pete-pete Saripudding” Jawabku
ketus.
Aku bergegas pamit, takut kesorean dicari bapak. Setelah
berpamitan dengan kedua orang tua Sari, aku kembali ke kamarnya mengambil tasku
dan sepatu yang tadi ku beli. Setiap harinya waktu kami habiskan berdua seperti
ini, lagi dan lagi hanya berdua, inilah keutuhan persahabatan yang kurasa,
saling mengisi dan menutupi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar