Waktu terus berputar, laju
mobilnya semakin cepat dan terus menerobos derasnya hujan malam itu. Niatnya
ingin langsung pulang kerumah karena sang istri dan dua anaknya sudah menanti
untuk makan malam bersama, Namun ia tak mungkin berlalu begitu saja ketika
seorang wanita menahan taxinya untuk berhenti.
Wanita itu masuk dan menunjuk kedepan sebuah isyarat bahwa ia
minta diantar ke tempat tujuan. Tanpa banyak bertanya ia mengikuti saja
permintaan penumpangnya, tak banyak kata dari gadis itu mungkin ia kedinginan
atau tengah sibuk merapikan gaun putihnya yang basah karna hujan.
“Pak tolong berhenti di depan kios cokelat itu”
telunjuk terarah pada satu bangunan megah.
“Di gereja ini mbak?”
Gadis itu sudah berada diluar taxi. Karena kasihan ia ikut keluar
dari taxi dan menawarkan payung, gadis itu hanya tersenyum dan membawanya masuk
ke halaman gereja.
“Pak saya minta tolong antarkan kotak ini ke alamat
ini yah”
Gadis itu mengulurkan sebuah kotak merah dan sebuah alamat,
ia terus mengamati kotak tersebut dan tanpa sadar gadis bergaun pengantin di
hadapannya telah hilang tanpa jejak yang berbekas.
“Bulu kuduk ku jadi merinding begini, apa mungkin ada
hantu di tempat ibadah”
Derasnya hujan disertai angin kencang membuyarkan lamunannya,
ia berlari kecil masuk ke dalam taxi , tatapannya terus tertuju pada dua arah ,
gereja yang di dalam sana dan kotak merah itu.
“Papaaa pulaangg” anak bungsunya menyambut ia dengan
membawakan handuk kering. Setelah usai makan malam ia menceritakan kejadian
tadi pada sang istri , tak banyak komentar dari istrinya, ia hanya di suruh
menyelesaikan amanat dari wanita muda tadi.
Pagi-pagi sekali ia meninggalkan rumah, ia sengaja karena
hendak pergi ke alamat misterius yang di sertakan kotak merah dari wanita
bergaun putih semalam, rasa penasaran membuat jantungnya terus berdetak
kencang, rasa takut membuatnya merinding seolah wanita muda itu tengah
bersamanya sekarang.
“Jalan lilly nomor 22?” ia perhatikan alamat tersebut
sama persis dengan alamat di kertas yang ia genggam di pandangnya lekat-lekat
rumah itu tampak mewah namun tak terurus, “Andai aku yang menempati rumah ini
mungkin tak akan sekumuh ini” gumamnya sembari terus memencet bell.
Berulang kali ia mencoba memanggil tuan rumah tersebut, namun
tak seorangpun yang keluar, dengan langkah yang sedikit meragukan ia mencoba
masuk hingga tepat di teras rumah tersebut,
“Ada keperluan
apa kau di rumah ku?”
Betapa terkejutnya iya mendengar suara parau yang tiba-tiba
muncul di belakangnya. Setelah di persilahkan duduk oleh kakek tua tersebut ia
langsung saja menceritakan perihal kotak dan wanita tersebut.
“Darra” Ucapan itu dingin keluar terbata-bata dari
mulut kakek tua tersebut, ia menangis dan menggenggam erat kotak merah itu,
mungkin usianya sekitar 78 tahun namun apa hubungannya dengan wanita tersebut?
“Darra itu nama dia, dia pujaan hati saya, namun
orang tuanya tak suka akan hubungan kami karna perbedaan suku”
Penjelasan dari Kakek tua tersebut membuatnya terkejut,
darahnya kini kram ia tak dapat mengeluarkan sepatah kata dari bibirnya.
“Waktu itu kami sudah sempat menikah di altar, namun
naas keluarga Darra datang dan memisahkan kami, cincin pernikahan kami berusaha
di keluarkan dari jarinya, namun tak bisa, lalu..”
Kakek tua tersebut terus menangis, ia tak sanggup mengingat
kejadian tersebut namun harus ia ceritakan untuk menenangkan arwah Darra di
alam sana.
“Lalu kenapa kek? Tanyanya penasaran.
“Salah satu keluarganya yang marah memutuskan untuk
memotong jari Darra, cincin itu bergelinding entah kemana? Sementara jarinya
pun tersentak entah kemana? Keadaan menjadi panic karna pendarahan membuatnya
sesak, keadaan semakin parah ketika Darra merebut pisau itu dari kakaknya, dan seketika menusuk dadanya sendiri, ia melakukan itu karna tak terima cincin pernikahan kami lepas dari jemarinya.”
Mereka memutuskan untuk kembali ke gereja tersebut mungkin
ini petunjuk bahwa arwah tersebut ingin anggota tubuhnya lengkap, kakek tua itu
terus memandangi cincin emas dalam kotak merahnya.
Setiba mereka di dalam, kakek tersebut bisa merasakan
kehadiran Darra di sekitarnya, dan hanya berdiri di altar tepat di posisi nya
yang dulu sewaktu pemberkatan semua masalalu itu terekam ulang dalam
dimensinya, hingga tanpa mencari lebih lama ia menemukan tengkorak jari manis
istrinya di sudut pendopo kecil tempat persembahan ibadah.
Air matanya menetes, senyum ia sunggingkan keluar gereja
seolah tengah tersenyum dengan seseorang, meski hanya ia yang dapat melihat.







