“Indo..”
Gumam
Markus sembari menikmati pa’piong yang dihidangkan. Ia teringat setahun lalu
saat menemani indo mencari daun mayana guna melengkapi kekhasan pa’piong.
Sudah setahun lebih ia menemani indo di dalam pembaringannya
menunggu rambu solo’ untuknya. Rambu solo’ akan dilaksanakan apabila semua
anaknya telah kembali ke kampung halaman.
“Ambe.. apakah rambu solo’ indo akan dilaksanakan?”
“Ya harus ! dan kita harus menunggu kakakmu, hanya dia
yang mampu membelikan imdo mu tedong bonga.”
“Tedong bonga harganya ratusan juta apa 1 ekor cukup ambe?”
“Tidaklah nak ! indo mu bukan orang biasa, rambu solo’
indo mu akan dilaksanakan bila tedong bonga telah di ternak sebanyak mungkin.”
Di temani kopinya Markus duduk dalam keheningan malam, tangannya
tak henti membersihkan peti tempat indo di baringkan.
“Dimana kami mengumpulkan persyaratan untuk rambu solo’
mu indo ?!” Batinnya menangis.
Rasanya ia baru terlelap, tidurnya terganggu dengan suara
gurauan yang di satu sisi pun terdengar isak tangis.
“Kapan kau datang? Tak kau dengar kah berita kematian
indo terhempas?”
“Aku berlayar jauh di negeri seberang ! Libanon bukan
tetangga Indonesia yang dekat !”
“Sudah setahun lebih indo di lakkean, jalannya ke nirwana
terhambat karena rambu solo’ hanya mimpi.”
Indo beranakan tiga, Markus yang bungsu, kedua kakaknya tinggal
jauh dari tana toraja dan hidup dalam perantauan di daerah orang.
Yang sulung harus berlayar dan pulangnya pun 6 tahun sekali,
sementara Helena yang kedua jauh di jayapura ikut suaminya.
Hanya kedua kakaknya yang mampu memeberi tedong bonga sebagai
persyaratan rambu solo’ ? dan beberapa sumbangan dari keluarga. Mereka sudah
setahun lebih menyiapkan persyaratan agar dapat menurunkan indo nya dari
lakkean dan melaksanakan upacara rambu solo’.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar